Siang, malam, pagi merebak menungguh senja kehidupan yang akan berakhir. Gegap gempita dunia akan berakhir. Dunia yang begitu indah akan ditinggalkan dengan sebuah kenangan yang tidak akan pernah dilupakan. Seluruh sendi kehidupn akan berakhir dalam kekakuan.
Siang 10 desember 2008, saudaraku Ujang mengalami drop besar kesehatan. Oksigen pun dipasang. Ini merupakan puncak penderitannya selama kurang lebih 6 tahun. Rumah singgah menjadi rumah abadi baginya sampai suadari maut badani menjeputnya. Tempat tidur dan kursi roda menjadi bagian dari hidup. Saudaraku menahan penderiaan dalam kekakuan, tanpa kata dan hanya bisa membuka untuk makan, minum air dan obat. Hanya ada senyuman yang selalu terpancar dalam penderitaannya.
Sore 10 Desenber 2008, dokter Mariana memvonisnya tidak ada harapan untuk terus berjuang dalam hidup. Hanya ada satu jalan untuk mengakhiri penderitaannya, yaitu kematian. Suster Mei, Ibu Theres dan saudara Andre sudah pasrah dengan situsi ini.
Malam ini aku harus ke rumah singgah untuk bersama saudaraku menanti saudari Maut. Saya, Thomas, Suster Mei, Ibu Vero dan beberapa pasien di rumah singgah berjaga bersama menyongsong saudari maut bagi saudaraku. Saya takut, cemas dan gelisah ditengah situsi seperti ini. Pukul 19.00, oksigen yang membantunya untuk tetap bertahan habis. Tidak kata lain selain pasrah. Kami tidak bisa melakukan tindakan medis apapun karena segala usaha telah dilakukan. Ya......tinggal menungga waktu yang tepat untuknya.
Di ruang tengah, kami yang berjaga terus menungguh sambil bercerita dan menonton televisi, sesekali kami bergiliran melihat saudaraku yang berbaring emas di bilik belakang.
Pukul 12.00 saya mulai mengantuk, akupun pergi ke kamr untuk tidur. Ternyata saudara Thomas juga sudah mengatuk. Yang bertahan untuk berjaga hanya Suster Mei dan Ibu Vero.
01.00 Suster mei dan ibu Vero membangunkan kami berdua, karena Ujang kelihatan mulai lemas. Nafasnya sudah tidak terartur, apalagi hidungnya sudah penuh dengan busa. Saya sendiri sangat takut dalam situasi seperti ini, mungkin ini merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya melihat hal seperti ini. Suster Mei pun menelpon dokter Mariana untuk melaporkan kondisi Ujang. Dari dokter Mariana kami mendengar kabar bahwa Oma Maria sudah meninggal 15 menit yang lalu. Oma Maria adalah salah seorang pasien yang beberapa hari yang lalu di pindahkan oleh pihak keluarga ke KKIT.
02.00 kami terhanyut dalam pembicaran mengenai oma Maria. Berkisah tentang pengalaman hidup bersama di rumah Singgah selama beberapa minggu sampai dia dipindahkan. Dan ketika Ibu Vero pergi melihat Ujang, ternyata dia sudah pergi. Dia sudah dijemput oleh saudara maut. Tanpa terasa aku mengelurkan air mata.
Aku tak sanggup melihat mukanya lagi, karena mukanya seolah-olah berubah. Saudara Thomas, Suster Mei dan Ibu Vero pergi membersihkan busa-busa dimulutnya, sedangkan saya menelpon saudara-saudara yang lain di biara. Untunglah saudara Wiwin cepat mengangkat telpon dan memberitahu saudara Andre bahwa Ujang meninggal. Dan di Biara Padua, Saudara Bovan memiliki firasat yang kurang baik, sehinngga tidak bisa tidur.
Sekitar pukul 03.00, saudara Andre dan Latief tiba kemudian disusul oleh Saudara Theo dan Bovan. Saya dan Suster Mei ke rumah ibu Rt untuk memberitahuan kematian ini. Karena saudara Ujang uslim, maka dia harus dimakankan dengan tata cara agama Islam. Sedangkan saudara Andre mengurus keuangan untuk semua keperluan dan saudara-saudara yang lain mengatur ruangan dan mempersiapkan segala sesuatu di rumah singgah.
04.00. Suster Mei dan saudara Theo, pergi membeli kain putih untuk membungkus Ujang. Dan kami yang lain membereskan berbagai hal di rumah singgah. Pagi harinya para saudara mulai berdatangan untuk bersama-sama mendoakans saudara Ujang kecuali beberapa saudara yang harus mengikuti ujian akhir semestre.
Tidak ketinggalan juga para saudara yang bertugas di kantor JPIC-OFM hadir, sampai-sampai mereka harus menundah rapat kerja untuk beberapa jam hanyak untuk melayat ujang. Rm Cristo, selaku wakil dari pihak keluarga pun menyampaikan beberapa pesan kepada saudara Ujang yang pada intinya adalah semoga ia beristirahat dalam damai.
Saudara Ujang pun diistirahatkan di Pemakaman umum Kawi-Kawi. Selamat jalan saudara, semoga engkau beristirahat dalam damai.( Sdr. Bastian Gaguk, OFM)

Custom Search
Jumat, 03 April 2009
KEADILAN : UNSUR HAKIKI PEWARTAAN INJIL Menurut Iustitia in Mundo (Menyoroti Persoalan Tolak Tambang Masyarakat Lembata
Pengantar
Dokumen Iustitia in Mundo merefleksikan misi dan peranan Gereja dalam memajukan keadilan di dunia, sebab keadilan adalah ungkapan hakiki cinta kasih kristiani (amanat Injil). Dengan peka melihat “tanda-tanda zaman” (art.2), Gereja perlu bersaksi demi keadilan lewat gaya dan cara hidupnya yang khas: menciptakan dan memelihara keadilan. Gereja perlu berpartisipasi dalam pengubahan dunia, turut memerdekakan “pribadi manusia” dari setiap situasi tertekan dan tertindas (art. 5).
Dengan bertitik tolak dari refleksi di atas, maka, kami mencoba melihat konteks dan kekhasan dokumen ini. Kemudian, kami mencoba mengembangkan tesis “Keadilan Sebagai Unsur Hakiki Pewartaan Injil”. Selanjutnya melihat relevansi dokumen ini dalam perjuangan masyarakat Lembata untuk menolak tambang. Sebagai penutup, akan disampaikan kesimpulan umum sebagai hasil pembacaan dan analisa sederhana dari dokumen ini.
Iustitia in Mundo Selayang Pandang
Iustitia in Mundo merupakan salah satuhasil Sinode II Para Uskup sedunia . Sinode tersebut diusulkan oleh Paus Paulus VI agar Gereja memiliki semacam pedoman untuk mengusahakan keadilan global. Sinode ini dihadiri lebih dari 170 uskup dan para ahli awam yang menjadi anggota komisi kepausan Iustitia et Pax . Para uskup yang hadir dalam sinode tersebut memiliki latar sosial, ekonomi,budaya dan konteks politik yang berbeda. Lebih dari separuh uskup peserta sinode berasal dari negara-negara dunia ketiga, sehingga mereka dengan baik membahasakan masalah-masalah (keadilan) di negara-negara dunia ketiga .
Tema keadilan dalam dunia diperkenalkan melalui laporan Mgr. Albertoy Valderrama, Ketua Konferensi Uskup-uskup Filipina . Keprihatinan muncul dalam situasi masyarakat Amerika Utara dan Eropa Barat yang mengalami perkembangan ekonomi industri, namun menelan dampak negatif. Selama dekade 70-an ada sebuah kejutan yaitu bom petrolium(1973). Gejolak revolusioner muncul dengan simbolisasi Che Guevara, menteri perdagangan yang mendukung gerakan gerilya dan dibunuh pada tahun 1967.
Dengan melakukan sinode dan mengeluarkan dokumen Iustitia in Mundo, Gereja diharapkan mampu mengambil sikap atas berbagai macam tindak ketidakadilan yang terjadi. Dokumen ini bukan hanya menjadi sebuah pernyataan tetapi sungguh menjadi sebuah “panggilan untuk bertindak” . Sasaran dari dokumen ini kiranya bukan hanya sesuatu yang berada “di luar” Gereja, namun terlebih dialamatkan bagi Gereja sendiri. Yang penting dalam Iustitia in Mundo adalah prinsip “keadilan dengan partisipasi, partisipasi dengan pembebasan” mesti diterapkan juga pada situasi dalam Gereja . Dokumen ini kiranya menjadi “penelitian batin” bagi para uskup. Pemahaman akan keadilan ke dalam Gereja sendiri akan semakin meyakinkan bahwa keadilan itu sungguh menjadi unsur hakiki dalam pewartaan Injil.
Keadilan sebagai Dimensi Konstitutif Pewartaan Injil
Ada beberapa alasan mengapa keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pertama, usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Kedua, antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Ketiga, Kegiatan demi kadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar sukacita. Maksudnya, kegiatan itu satudan hanya satudimensi dari pewartaan” . Keempat, tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata merupakan deduksi etis dari iman, melainkan juga syarat mutlak bagi kebenaran iman, sebagai mana yang diungkap Peter Vicent Cusmao, .
Kami menilai bahwa sinode mengangkat keadilan sebagai unsur hakiki atau konstitutif pewartaan Injil karena dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan: pertama, keadilan sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih. Dalam Perjanjian Lama, Allah mewahyukan diri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin (Art.30). Tindakan cinta kasih Allah itu mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus, lewat ajaran dan tindakan-Nya. Dalam tindakan-Nya, Yesus selalu mengutamakan orang-orang kecil, seperti orang sakit, orang berdosa, dan juga orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan (Luk 6:21-30). Ajaran Yesus tentang hukum cinta kasih sebagai hukum terutama memperlihatkan perhatian-Nya pada arti pentingnya cinta kasih.
Cinta kasih Allah adalah dasar hidup sekaligus inspirasi perjuangan demi keadilan. Cinta kasih ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mengangkat harkat dan martabat manusia. Cinta kasih menuntut keadilan yaitu kesadaran akan martabat dan hak sesama manusia. Dalam hal ini keadilan adalah tuntutan pertama dan utama bagi cinta kasih . Hal serupa ditegaskan oleh sinode yang mengutip pandangan Santo Paulus:”Seluruh hidup Kristiani dirangkum dalam iman yang membuahkan cinta kasih dan pengabdian terhadap sesama dan itu mencakup pemenuhan tuntutan-tuntutan keadilan” (Art.33).
Kedua, Keadilan memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sinode melihat sistem-sistem dan struktur-struktur ketidakadilan yang menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap hak dan martabat manusia . Akumulasi modal dan alat-alat industri pada orang-orang tertentu menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, tinggal dalam gubuk-gubuk yang tidak layak guna dan buta huruf(Art.10). Dengan kata lain, ketidakadilan terjadi ketika sentralisasi dilakukan di segala bidang kehidupan. Sumber-sumber daya alam banyak diambil oleh negara-negara kaya ketimbang negara-negara dunia ketiga (Art.11). Dan yang lebih parah lagi, kerusakan lingkungan hidup seluruh umat manusia terjadi akibat limbah pabrik dari negara-negara industri.
Melalui uraian tadi kita diajak untuk melihat bahwa ketidakadilan merupakan tindakan yang tidak berpihak pada hal dan martabat manusia. Sebaliknya, keadilan menjadi sebuah tindakan perjuangan hak dan martabat manusia. Persis di titik ini ajaran Kristiani tentang saling mengasihi sesama manusia mendapat tempatnya (Yoh 13:31-35).
Ketiga, keadilan membawa situasi pembebasan bagi manusia. Sikap Yesus dalam pewartaan-Nya dengan jelas memperlihatkan bahwa Ia menaruh perhatian begitu besar pada mereka yang menderita, tersisihkan dan terpinggirkan akibat dari belenggu praktik-praktik ketidakadilan. Pewartaan-Nya memang nyata dalam tindakan dan perbuatan-Nya: membuat mukjizat, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati dan mengusir roh-roh jahat. Semua karya-Nya itu hanya mau mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan dan membebaskan “orang-orang kecil” dari belenggu ketidakadilan. Gereja dalam hal ini harus melaksanakan fungsi kenabiannya, kritis dan peka terhadap situasi yang ada di sekitarnya dan seharusnya tidak boleh mentolerir setiap tindak ketidakadilan sebab praktik ketidakadilan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap hakekat Gereja .
Keadilan: Perjuangan Masyarakat Lembata
Berdasarkan agenda pembangunan IV, Pemerintah Daerah Lembata melalui surat Keputusan Bupati Lembata nomor 37 tahun 2005 tanggal 9 Mei 2005 dan Keputusan Bupati Lembata nomor 111 tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005, memberikan ijin kegiatan penyelidikan umum Pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya kepada PT. Pukuafu Indah, salah satuanak perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation . Untuk menindaklanjuti surat keputusan bupati Lembata no. 37 tahun 2005 dan nomor 111 tahun 2005, maka Pemerintah Daerah Lembata menandatangani sebuah nota kesepahaman (memorandum of Understanding) dengan Perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation, sabtu, 12 Nopember 2005 di Jakarta .
Dalam kasus rencana pertambangan Lembata, ada beberapa hal yang merupakan bentuk ketidakadilan. Pertama, partisipasi masyarakat. Rencana pembangunan dan program pertambangan yang dirancang pemerintah dan pengusaha dilakukan secara tertutup. Hal ini menjadi jangkal karena pemerintah daerah merancang program masyarakat tanpa sepengetahuan masyarakat. Akses informasi rencana pertambangan ditutup oleh pemerintah. Masyarakat sebenarnya harus menerima sosialisasi dari pemerintah karena rencana itu untuk kesejateraan masyarakat. Proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan proses pembodohan. Hal ini dapat dilihat dari materi sosialisai yang mengatakan bahwa limbah pertambangan itu bukan racun karena dapat diolah kembali untuk memneuhi kebutuhan air minum masyarakat .
Kedua, rakyat sebagai subjek pembangunan. Pemerintah merupakan fasilitator pembangunan dan masyarakat merupakan pelakunya. Tugas pemerintah adalah mempermudah, membantu, mendorong dan memotivasi supaya masyarakat mengembangkan sumber-sumber yang ada untuk kesejahteraan. Namun, pemerintah Lembata melihat masyarakat sebagai objek pembangunan. Peran masyarakat diambilalih oleh para pemegang modal yang tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat .
Ketiga, keadilan antar-generasi. Masyarakat Lembata sangat menjujung nilai adat-istiadat yang telah diwariskan leluhur, sehingga mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk generasi berikutnya. Latar belakang mata pencaharian masyarakat Lembata adalah pertanian dan nelayan. Orang tua menyediakan tanah dan aset kepada anak cucu untuk diolah sesuai dengan tradisi sehingga warisan leluhur tetap ada. Masyarakat Lembata akan melanggar keadilan antar-generasi, jika mereka menyerahkan tanah Lembata untuk membangun industri pertambangan . Keempat, keadilan ekologi. Perusahan pertambangan merupakan salah satu pelaku utama dalam masalah kerusakan ekologi . Bahaya industri pertambangan yang menghasilkan banyak limbah berbahaya menghacurkan keadaan ekologis.
Gereja: Harapan dan Embun Segar Bagi Masyarakat Lembata.
Gereja dan negara adalah dua lembaga yang masing-masing berkarakter otonom. Namun, keduanya tidak boleh mati-matian dengan otonomitas yang ada. Gereja dan negara mempunyai otonomitas korelatif, khususnya dalam keprihatinan terhadap martabat manusia, keadilan sosial dan kehidupan bermasyarakat . Otonomitas korelatif itu harus terjadi dalam relasi timbal balik yang bisa berfaedah bagi keduanya, demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang semakin damai dan bahagia.
Tindakan demi keadilan serta keterlibatan dalam pengubahan dunia tampak bagi kami sebagai dimensi konstitutif pewartaan kabar gembira. Dengan kata lain merupakan pengutusan Gereja demi penebusan umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi tertekan dan tertindas ( IM 6). Kasus Ketikdakdilan yang dialami oleh masyarakat Lembata merupakan salah satu contoh kasus yang hadapi warga Gereja.
Masyarakat Lembata sangat mendambakan suapaya Gereja berpihak pada mereka. Masyarakat merasa bahwa Gereja memiliki kekuatan (dalam konteks kehidupan masyarakat di Flores) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dokumen Iustitia in Mundo menjadi dasar pijak Gereja untuk membela masyarakat Lambata.
Usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Karena antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Karena keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan, maka Gereja lokal harus berada di pihak masyarakat Lembata. Kami melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Gereja setempat. Pertama, Gereja setempat seharusnya mensosialisasikan hal-hal baik dan buruk dari industri pertambangan kepada masyarakat. Mengingat Gereja kurang berkompeten berkaitan dengan dunia pertambangan, maka Gereja perlu bekerja sama dengan kelompok atau LSM untuk memberiak informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang pertambangan. Gereja setempat diharapkan menyebarkan permasalahan ini ke luar(lingkungan yang lebih besar) sehingga masalah ini menjadi keprihatinan bersama. Kedua, dalam memperjuangkan keadilan yang berkaitan dengan industri pertambangan di Lembata, Gereja setempat perlu memberikan sebuah solusi alternatif untuk mencegah adanya industri pertambangan. Misalnya; menawarkan pengembangan di bidang kelauatan dan pariwisata.
Pentutup
Dari pembacaan serta analisa sederhana atas Iustitia in Mundo, kami sepakat bahwa dokumen ini sungguh memberikan terobosan baru terutama dalam memandang kegiatan pewartaan Injil. Dokumen ini secara tegas dan jelas telah mengamanatkan pada Gereja (ke dalam dan ke luar) untuk segera bertindak, mengintegrasikan keadilan dalam diri karena keadilan sungguh dinilai sebagai unsur hakiki dari pewartaan Injil. Dengan tindakan keadilan yang selalu harus diusahakan, para pengikut Kristus akan sungguh menjadi pewarta kabar sukacita-Nya. Dengan demikian, harapan yang dikemukakan dalam dokumen ini akan sungguh menjadi kenyataan. Orang-orang Kristiani akan menemukan Kerajaan Allah sebagai buah panggilan mereka dan usaha mereka; Allah sekarang sedang mempersiapkan kerajaan-Nya .
Paper Ajaran Sosial Gereja: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan; Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Aman, Peter. ”Ditepi Sungai Babel Kami Duduk dan Menangis”. Makalah Diskusi panel ”Membongkar Mitos kesejahteraan Di Balik Usaha-usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata. NTT
Eddy Kristiyanto, A.. Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XII, Malang: Dioma. 2003
Jordan , Melanius. Paper UAS ASG, STF Driyarkara. 2004
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Dokpen KWI: Jakarta, 1999
Kieser, B.. Solidaritas. 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1992
Regus, Max . Sketsa Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2005
Schultheis, Michael J., DeBerri, Ed.P., Henriot, Peter. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja.Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Tim JPIC-OFM. Kertas Posisi “Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Pertambangan Emas Di Kabupaten Lembata, NTT. Jakarta, 2007
.
Dokumen Iustitia in Mundo merefleksikan misi dan peranan Gereja dalam memajukan keadilan di dunia, sebab keadilan adalah ungkapan hakiki cinta kasih kristiani (amanat Injil). Dengan peka melihat “tanda-tanda zaman” (art.2), Gereja perlu bersaksi demi keadilan lewat gaya dan cara hidupnya yang khas: menciptakan dan memelihara keadilan. Gereja perlu berpartisipasi dalam pengubahan dunia, turut memerdekakan “pribadi manusia” dari setiap situasi tertekan dan tertindas (art. 5).
Dengan bertitik tolak dari refleksi di atas, maka, kami mencoba melihat konteks dan kekhasan dokumen ini. Kemudian, kami mencoba mengembangkan tesis “Keadilan Sebagai Unsur Hakiki Pewartaan Injil”. Selanjutnya melihat relevansi dokumen ini dalam perjuangan masyarakat Lembata untuk menolak tambang. Sebagai penutup, akan disampaikan kesimpulan umum sebagai hasil pembacaan dan analisa sederhana dari dokumen ini.
Iustitia in Mundo Selayang Pandang
Iustitia in Mundo merupakan salah satuhasil Sinode II Para Uskup sedunia . Sinode tersebut diusulkan oleh Paus Paulus VI agar Gereja memiliki semacam pedoman untuk mengusahakan keadilan global. Sinode ini dihadiri lebih dari 170 uskup dan para ahli awam yang menjadi anggota komisi kepausan Iustitia et Pax . Para uskup yang hadir dalam sinode tersebut memiliki latar sosial, ekonomi,budaya dan konteks politik yang berbeda. Lebih dari separuh uskup peserta sinode berasal dari negara-negara dunia ketiga, sehingga mereka dengan baik membahasakan masalah-masalah (keadilan) di negara-negara dunia ketiga .
Tema keadilan dalam dunia diperkenalkan melalui laporan Mgr. Albertoy Valderrama, Ketua Konferensi Uskup-uskup Filipina . Keprihatinan muncul dalam situasi masyarakat Amerika Utara dan Eropa Barat yang mengalami perkembangan ekonomi industri, namun menelan dampak negatif. Selama dekade 70-an ada sebuah kejutan yaitu bom petrolium(1973). Gejolak revolusioner muncul dengan simbolisasi Che Guevara, menteri perdagangan yang mendukung gerakan gerilya dan dibunuh pada tahun 1967.
Dengan melakukan sinode dan mengeluarkan dokumen Iustitia in Mundo, Gereja diharapkan mampu mengambil sikap atas berbagai macam tindak ketidakadilan yang terjadi. Dokumen ini bukan hanya menjadi sebuah pernyataan tetapi sungguh menjadi sebuah “panggilan untuk bertindak” . Sasaran dari dokumen ini kiranya bukan hanya sesuatu yang berada “di luar” Gereja, namun terlebih dialamatkan bagi Gereja sendiri. Yang penting dalam Iustitia in Mundo adalah prinsip “keadilan dengan partisipasi, partisipasi dengan pembebasan” mesti diterapkan juga pada situasi dalam Gereja . Dokumen ini kiranya menjadi “penelitian batin” bagi para uskup. Pemahaman akan keadilan ke dalam Gereja sendiri akan semakin meyakinkan bahwa keadilan itu sungguh menjadi unsur hakiki dalam pewartaan Injil.
Keadilan sebagai Dimensi Konstitutif Pewartaan Injil
Ada beberapa alasan mengapa keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pertama, usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Kedua, antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Ketiga, Kegiatan demi kadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar sukacita. Maksudnya, kegiatan itu satudan hanya satudimensi dari pewartaan” . Keempat, tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata merupakan deduksi etis dari iman, melainkan juga syarat mutlak bagi kebenaran iman, sebagai mana yang diungkap Peter Vicent Cusmao, .
Kami menilai bahwa sinode mengangkat keadilan sebagai unsur hakiki atau konstitutif pewartaan Injil karena dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan: pertama, keadilan sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih. Dalam Perjanjian Lama, Allah mewahyukan diri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin (Art.30). Tindakan cinta kasih Allah itu mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus, lewat ajaran dan tindakan-Nya. Dalam tindakan-Nya, Yesus selalu mengutamakan orang-orang kecil, seperti orang sakit, orang berdosa, dan juga orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan (Luk 6:21-30). Ajaran Yesus tentang hukum cinta kasih sebagai hukum terutama memperlihatkan perhatian-Nya pada arti pentingnya cinta kasih.
Cinta kasih Allah adalah dasar hidup sekaligus inspirasi perjuangan demi keadilan. Cinta kasih ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mengangkat harkat dan martabat manusia. Cinta kasih menuntut keadilan yaitu kesadaran akan martabat dan hak sesama manusia. Dalam hal ini keadilan adalah tuntutan pertama dan utama bagi cinta kasih . Hal serupa ditegaskan oleh sinode yang mengutip pandangan Santo Paulus:”Seluruh hidup Kristiani dirangkum dalam iman yang membuahkan cinta kasih dan pengabdian terhadap sesama dan itu mencakup pemenuhan tuntutan-tuntutan keadilan” (Art.33).
Kedua, Keadilan memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sinode melihat sistem-sistem dan struktur-struktur ketidakadilan yang menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap hak dan martabat manusia . Akumulasi modal dan alat-alat industri pada orang-orang tertentu menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, tinggal dalam gubuk-gubuk yang tidak layak guna dan buta huruf(Art.10). Dengan kata lain, ketidakadilan terjadi ketika sentralisasi dilakukan di segala bidang kehidupan. Sumber-sumber daya alam banyak diambil oleh negara-negara kaya ketimbang negara-negara dunia ketiga (Art.11). Dan yang lebih parah lagi, kerusakan lingkungan hidup seluruh umat manusia terjadi akibat limbah pabrik dari negara-negara industri.
Melalui uraian tadi kita diajak untuk melihat bahwa ketidakadilan merupakan tindakan yang tidak berpihak pada hal dan martabat manusia. Sebaliknya, keadilan menjadi sebuah tindakan perjuangan hak dan martabat manusia. Persis di titik ini ajaran Kristiani tentang saling mengasihi sesama manusia mendapat tempatnya (Yoh 13:31-35).
Ketiga, keadilan membawa situasi pembebasan bagi manusia. Sikap Yesus dalam pewartaan-Nya dengan jelas memperlihatkan bahwa Ia menaruh perhatian begitu besar pada mereka yang menderita, tersisihkan dan terpinggirkan akibat dari belenggu praktik-praktik ketidakadilan. Pewartaan-Nya memang nyata dalam tindakan dan perbuatan-Nya: membuat mukjizat, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati dan mengusir roh-roh jahat. Semua karya-Nya itu hanya mau mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan dan membebaskan “orang-orang kecil” dari belenggu ketidakadilan. Gereja dalam hal ini harus melaksanakan fungsi kenabiannya, kritis dan peka terhadap situasi yang ada di sekitarnya dan seharusnya tidak boleh mentolerir setiap tindak ketidakadilan sebab praktik ketidakadilan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap hakekat Gereja .
Keadilan: Perjuangan Masyarakat Lembata
Berdasarkan agenda pembangunan IV, Pemerintah Daerah Lembata melalui surat Keputusan Bupati Lembata nomor 37 tahun 2005 tanggal 9 Mei 2005 dan Keputusan Bupati Lembata nomor 111 tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005, memberikan ijin kegiatan penyelidikan umum Pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya kepada PT. Pukuafu Indah, salah satuanak perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation . Untuk menindaklanjuti surat keputusan bupati Lembata no. 37 tahun 2005 dan nomor 111 tahun 2005, maka Pemerintah Daerah Lembata menandatangani sebuah nota kesepahaman (memorandum of Understanding) dengan Perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation, sabtu, 12 Nopember 2005 di Jakarta .
Dalam kasus rencana pertambangan Lembata, ada beberapa hal yang merupakan bentuk ketidakadilan. Pertama, partisipasi masyarakat. Rencana pembangunan dan program pertambangan yang dirancang pemerintah dan pengusaha dilakukan secara tertutup. Hal ini menjadi jangkal karena pemerintah daerah merancang program masyarakat tanpa sepengetahuan masyarakat. Akses informasi rencana pertambangan ditutup oleh pemerintah. Masyarakat sebenarnya harus menerima sosialisasi dari pemerintah karena rencana itu untuk kesejateraan masyarakat. Proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan proses pembodohan. Hal ini dapat dilihat dari materi sosialisai yang mengatakan bahwa limbah pertambangan itu bukan racun karena dapat diolah kembali untuk memneuhi kebutuhan air minum masyarakat .
Kedua, rakyat sebagai subjek pembangunan. Pemerintah merupakan fasilitator pembangunan dan masyarakat merupakan pelakunya. Tugas pemerintah adalah mempermudah, membantu, mendorong dan memotivasi supaya masyarakat mengembangkan sumber-sumber yang ada untuk kesejahteraan. Namun, pemerintah Lembata melihat masyarakat sebagai objek pembangunan. Peran masyarakat diambilalih oleh para pemegang modal yang tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat .
Ketiga, keadilan antar-generasi. Masyarakat Lembata sangat menjujung nilai adat-istiadat yang telah diwariskan leluhur, sehingga mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk generasi berikutnya. Latar belakang mata pencaharian masyarakat Lembata adalah pertanian dan nelayan. Orang tua menyediakan tanah dan aset kepada anak cucu untuk diolah sesuai dengan tradisi sehingga warisan leluhur tetap ada. Masyarakat Lembata akan melanggar keadilan antar-generasi, jika mereka menyerahkan tanah Lembata untuk membangun industri pertambangan . Keempat, keadilan ekologi. Perusahan pertambangan merupakan salah satu pelaku utama dalam masalah kerusakan ekologi . Bahaya industri pertambangan yang menghasilkan banyak limbah berbahaya menghacurkan keadaan ekologis.
Gereja: Harapan dan Embun Segar Bagi Masyarakat Lembata.
Gereja dan negara adalah dua lembaga yang masing-masing berkarakter otonom. Namun, keduanya tidak boleh mati-matian dengan otonomitas yang ada. Gereja dan negara mempunyai otonomitas korelatif, khususnya dalam keprihatinan terhadap martabat manusia, keadilan sosial dan kehidupan bermasyarakat . Otonomitas korelatif itu harus terjadi dalam relasi timbal balik yang bisa berfaedah bagi keduanya, demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang semakin damai dan bahagia.
Tindakan demi keadilan serta keterlibatan dalam pengubahan dunia tampak bagi kami sebagai dimensi konstitutif pewartaan kabar gembira. Dengan kata lain merupakan pengutusan Gereja demi penebusan umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi tertekan dan tertindas ( IM 6). Kasus Ketikdakdilan yang dialami oleh masyarakat Lembata merupakan salah satu contoh kasus yang hadapi warga Gereja.
Masyarakat Lembata sangat mendambakan suapaya Gereja berpihak pada mereka. Masyarakat merasa bahwa Gereja memiliki kekuatan (dalam konteks kehidupan masyarakat di Flores) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dokumen Iustitia in Mundo menjadi dasar pijak Gereja untuk membela masyarakat Lambata.
Usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Karena antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Karena keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan, maka Gereja lokal harus berada di pihak masyarakat Lembata. Kami melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Gereja setempat. Pertama, Gereja setempat seharusnya mensosialisasikan hal-hal baik dan buruk dari industri pertambangan kepada masyarakat. Mengingat Gereja kurang berkompeten berkaitan dengan dunia pertambangan, maka Gereja perlu bekerja sama dengan kelompok atau LSM untuk memberiak informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang pertambangan. Gereja setempat diharapkan menyebarkan permasalahan ini ke luar(lingkungan yang lebih besar) sehingga masalah ini menjadi keprihatinan bersama. Kedua, dalam memperjuangkan keadilan yang berkaitan dengan industri pertambangan di Lembata, Gereja setempat perlu memberikan sebuah solusi alternatif untuk mencegah adanya industri pertambangan. Misalnya; menawarkan pengembangan di bidang kelauatan dan pariwisata.
Pentutup
Dari pembacaan serta analisa sederhana atas Iustitia in Mundo, kami sepakat bahwa dokumen ini sungguh memberikan terobosan baru terutama dalam memandang kegiatan pewartaan Injil. Dokumen ini secara tegas dan jelas telah mengamanatkan pada Gereja (ke dalam dan ke luar) untuk segera bertindak, mengintegrasikan keadilan dalam diri karena keadilan sungguh dinilai sebagai unsur hakiki dari pewartaan Injil. Dengan tindakan keadilan yang selalu harus diusahakan, para pengikut Kristus akan sungguh menjadi pewarta kabar sukacita-Nya. Dengan demikian, harapan yang dikemukakan dalam dokumen ini akan sungguh menjadi kenyataan. Orang-orang Kristiani akan menemukan Kerajaan Allah sebagai buah panggilan mereka dan usaha mereka; Allah sekarang sedang mempersiapkan kerajaan-Nya .
Paper Ajaran Sosial Gereja: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan; Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Aman, Peter. ”Ditepi Sungai Babel Kami Duduk dan Menangis”. Makalah Diskusi panel ”Membongkar Mitos kesejahteraan Di Balik Usaha-usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata. NTT
Eddy Kristiyanto, A.. Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XII, Malang: Dioma. 2003
Jordan , Melanius. Paper UAS ASG, STF Driyarkara. 2004
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Dokpen KWI: Jakarta, 1999
Kieser, B.. Solidaritas. 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1992
Regus, Max . Sketsa Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2005
Schultheis, Michael J., DeBerri, Ed.P., Henriot, Peter. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja.Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Tim JPIC-OFM. Kertas Posisi “Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Pertambangan Emas Di Kabupaten Lembata, NTT. Jakarta, 2007
.
Dialog Agama dan Situasi Sosial
I. Pengantar
No peace among the nations
Without peace among religions.
No peace among religions
Without dialogue between the religions
No peace among the nations
Without investigation of the foundation of the religions.
(Hans Kung).
Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog Liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen. Secara sosiologi kita sekarang ini sudah berada dalam lingkungan globalisme dan pluralisme etnis dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima. Kenyataan antropologis inilah barangkali yang ikut mengatar lahirnya sebuah klausal dalam konsili Vatikan II bahwa di luar tradisi dan iman kristiani juga terdapat keselamatan karena kasih Tuhan mengatasi batas-batas doktrin teologis .
Mengingat pluralitas agama di Indonesia adalah fakta historis-sosiologis serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, maka salah satu agenda penting yang muncul adalah bagaimana usaha kita supaya pluralistas menjadi aset bangsa? Dan hal ini jangan sampai malah menjadi sumber konflik dan friksi sosial-politis yang menggerogoti persatuan dan kemajuan bangsa.
Dialog kontemporer antar-antar agama ditengah masyarakat dewasa ini memang berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama. Pluralisme menjadi konteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada gilirannya akan memberikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar-agama di masa lalu. Corak pertemuan antar-agama yang baru akan dipengaruhi oleh tantangan yang baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus oleh kesadaran yang baru tentang pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kiprah agama-agama di masyarakat.
Paper ini mencoba melihat perkembangan dialog antar-agama di Indonesia maupun di negara-negara yang lain dalam konteks penelitihan teks. Teks-teks yang dipakai adalah beberapa surat kabar dan majalah selama bulan Agustus 2004.
II. Uraian Kliping
Politik
Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia . Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama digunakan untuk mengalih perhatian atau membakar persoalan yang baru .
Campur tangan pemerintah dalam urusan hidup umat beragama kembali dipertanyakan kembali oelh sejumlah tokoh agama. Hal ini berkaitan dengan Penpres No1/1965 tentang pencegahan penodaan Agama. Dalam pandangan para tokoh agama, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan masing-masing . Penpres ini tidak relevan lagi karena saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya.
Dampak kebijakan politik negara dengan munculnya berbagai macam peraturan membuat negara terlalu ikutcampur dalam persoalan agama. Persoalan yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi terhadap agama tertentu. Misalanya, pada Penpres No 1/1965 ayat 1 yang berbunyi, ” ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu” . Dan beberapa aliran dilarang oleh pemerintah. Di sini jelas-jelas memuat peranan politik, karena sebenarnya negara Indonesia mengakui keberadaan agama dan keyakinan seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Namun dibalik permasalah campur tangan negara dalam kehidupan beragama, Indonesia masih memiliki Pancasila. Pancasila oleh bangsa Indonesia telah diterima sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yan terbuka dan inklusif memungkinkan masyarakat yang majemuk untuk bersatu padu.
Semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” digunakan dengan pengandaian adanya kerukunan nasional yan inheren. Munculnya semboyan itu bukan hanya menggambarkan apa yanag telah ada, tetapi terlebih-lebih mengingat bahwa ada suatu kerja keras yang harus dilakukan untuk memeliharanya, karena kerukunan dalam kemajemukan bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kemantapan kerukunan agama-agama dalam hidup bernegara adalah prasyarat keberhasilan baik untuk mengatasi krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan nasional. Umat beragama justru perlu memberikan sumbangannya secara positif dan bukan sebaliknya mencuatkan perbedaan sempit yang dapat memicu konflik, yang mempersulit keadaan serta mengancam persatuan bangsa.
Moral
Tokoh dari lintas agama melakukan pertemuan dengan calon presiden dari PDI-P, Megawati Sukarnoputri dan dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menyodorkan Kerangkat Kebersamaan Minimal(KKM) yang disebut SBY sebagai kontrak moral .
Kepedulian para tokoh agama terhadap kehidupan moral masyarakat merupakan bentuk kesadaran semua agama akan penting nilai-nilai moral. Mereka meminta para calon presiden untuk membuat komitmen minimal. Komitmen minimal ini berkaitan dengan kehidupan moral para pemimpin.
Kehidupan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai terpaan badai krisis multidimensional. Mengapa? Perilaku moral para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah sistem yang selalu ada dan akan terus ada dalam pemerintahan.
Implementasi kontrak moral bukan untuk para pemimpin bangsa tetapi juga untuk masyarakat seluruhnya . Kehidupan moral masyarakat Indonesia semakin hari semakin suram. Banayak contoh yang bisa diambil seperti; pornografi dan pornoaksi. Menghadapi fenomena ini perlu pemikiran yang matang dari para pemimpin. Fenomena pronografi dan pornoaksi yang sangat terbuka dapat melunturkan nilai-nilai dan norma dalam hidup masyarakat Indonesia. Di sini para tokoh agama dalam kontrak moralnya mengharapakan agar pemerintah membuat sebuah regulasi yang mampu menjawab keresahan-keresahan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kehidupan moral para penerus bangsa.
Pendidikan Agama Multikultural
Pendidiakn agama di sekolah-sekolah umum sering mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Pendidikan agama dipandang tidak berhasil dalam membentuk perilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan imtak( iman dan takwa), juga dipandang kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaan-perbedaan diantara umat beragama.
Dikalangan umat Islam sendiri terdapat banyak perbedaan dalam hal-hal keagamaan, khususnya menyangkut masalah cabang bukan hal-hal pokok . Meski demikian, pertikaian dan konflik bisa muncul jika perbedaan-perbedaan itu tidak disikapi umat secara bijaksana. Kebijaksanaan dan kearifan untuk secra toleran melihat perbedaan dan keragaman, tidak bisa datang dan tumbuh sendiri, melainkan harus ditanamkan dan dikembangkan. Di sini peran sekolah dan lemabaga pendidikan lainnya menjadi sangat krusial.
Karena itulah pendidikan agama tetap dibutuhkan, tentu dengan orientasi baru . Pertama, dengan menekan perspektif multikulturalisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakan umat beragama manapun. Kedua, memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikultural tersebut, dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada afektif dan psikomotorik. Ketiga, peningkatan kualitas guru baik dari sudut pemahaman atas agamanya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikultural yang tepat.
Wacana tentang pendidikan agama dalam perspektif multikulturalis merupakan sesuatu yang baru. Gagasan dan pembahasan tentang pendidikan agama multikultural, bahkan dalam segi-segi tertentu bisa dikatakan masih cukup sensitif, khususnya mengingat terjadi kontroversi sangat tajam menjelang penetapan UU No.20 tentang Sisdiknas 2003 lalu.
III. Analisis dari Beberapa Sudut Pandang
Gambaran kenyataan situasi tidak mengenakan dalam hubungan antar umat beragama yang dikemukakan di atas, kiranya perlu mendapat analisa dari beberapa sudut pandang. Pada pokok ini penulis berusaha memaparkannya, dengan harapan dapat memperjelas peran dialog antar agama khususnya di Indonesia.
Politik
Pembicaraan tentang politik tentu tidak jauh kaitannya dengan tata pemerintahan, dan kekuasaan . Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, kiranya kita perlu melihat lagi isi dari pasal 29 UUD 1945 (ayat 1 dan 2), yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa negara kita tidak didasarkan atas agama tertentu tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengannya. Kebijaksanaan ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari hidupnya beberapa ajaran agama di Indonesia. Dalam tatanan ini jelas bahwa kebebasan memeluk agama (atau bahkan untuk tidak beragama ?) merupakan hak asasi manusia yang bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menghadapkan konsep ini dengan pelbagai kenyataan yang terjadi di Indonesia, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Di mana peran negara dalam menjalankan kuasanya menjamin kebebasan beragama ? atau, justru karena berusaha melanggengkan kekuasaan negara atau berbagai pihak lain menggunakan agama sebagai alatnya ? atau gejala lain yang dapat disebutkan adalah gejolak politik masyarakat yang sebenarnya sudah tidak puas dan tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sedang berlangsung. Ini berarti agama tidak lagi berada dalam ruang privat sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945. Agama telah masuk dalam ruang publik di mana tidak ada lagi rasa aman dalam memeluk atau bahkan menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya. Kejadian yang sama yang berlangsung terus menerus di beberapa daerah di Indonesia menandakan secara institusi agama sudah ditunggangi maksud-maksud kotor politik. Hal ini juga berarti agama atau umat beragama sendiri tidak lagi mampu mengaktualisasikan ke- agama-annya dalam berbagai bidang kehidupan.
Sosiologi
Secara sosiologis agama sebenarnya lebih dipandang dari sisi institusi, ia merupakan kelompok orang yang terorganisasi dan secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama tertentu . Dalam sosiologi agama yang mengamati dan mempelajari hubungan antara lembaga agama dengan lembaga sosial lainnya sebenarnya tampak bahwa agama tidak sama seperti kebanyakan lembaga sosial. Ia lebih didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supra natural atau Yang Transenden. Maka, kekuatan mengikatnya lebih kuat dibanding lembaga sosial biasa. Melihat hal ini dalam sosiologi diakui juga bahwa adanya banyak agama yang berbeda-beda cenderung mengakibatkan konflik (disamping dapat juga mengalami kecenderungan yang lain yaitu kerja sama). Salah satu kenyataan yang dapat kita lihat adalah di Indonesia, meski sekali lagi mesti diklarifikasi apakah itu betul konflik antar agama.
Dari sudut pandang sosiologis, sebenarnya dimungkinkan juga bahwa dalam konflik antar agama biasanya tidak secara langsung berhubungan dengan doktrin atau ajaran agama tertentu, melainkan merupakan permainan politik memperebutkan kekuasaan. Dalam tatanan ini kiranya agama menjadi alat atau sasaran empuk permainan politik, dengan sedikit mengutak-atik rasa fanatisme. Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang berbau agama kiranya memunculkan gejala yang sama. Kebanyakan orang tidak tahu secara persis apa permasalahannya sehingga ikut membakar masjid atau gereja dan sebagainya. Dalam hal ini agama telah menjadi sebuah institusi yang kekuatannya begitu dahsyat untuk menghancurkan kelompok lain.
Antropologi
Bicara tentang kajian antropologis, kita tidak dapat meninggalkan unsur kultural atau budaya. Kajian Antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya masyarakat dan kebudayaannya . Dalam kajian ini jelas kita akan melihat begitu banyak perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bahkan, mungkin perbedaan itu nampak meski dua orang manusia berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama. Dalam kaitannya dengan berbagai macam kasus kekerasan yang melanda Tanah Air, Antropologi hampir dapat memastikan bahwa kolektivitas yang kuat sehingga membentuk kebudayaan yang menyimpang kiranya dapat diamati dalam berbagai macam kasus tersebut. Budaya kekerasan yang tampil merupakan produk spontan dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam perkembangan antropologisnya manusia yang satu mengalami berbagai macam tekanan dan suasana ketidakpastian yang membuat mereka tidak puas dengan produk budaya yang birokratis dan lamban. Gerakan “revolusioner” dalam arti tertentu lebih mendapat perhatian, apalagi dalam suasana kemajemukan di mana kepentingan setiap orang berbeda-beda dan selalu dapat bersinggungan satu sama lain.
Filosofi
Sebuah pertanyaan yang sering terlontar berkaitan dengan berbagai kerusuhan antar agama yang terjadi di tanah air adalah, “Apakah benar ini konflik agama ?”. Dalam arti tertentu pertanyaan ini merupakan awal pengupasan masalah dari sudut pandang filosofis. Apakah mungkin sesama Bangsa Indonesia, sanak saudara, saling bunuh hanya karena ia berbeda agama dengan kita. Banyak yang mengatakan tidak mungkin, tapi itu yang menjadi kenyataan. Dipandang dari sisi filsafat manusia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah hakekat manusia itu sendiri. Salah satu gambaran manusia dapat dilihat bahwa manusia selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi kongkrit . Manusia adalah bagian dari sejarah dan dalam arti tertentu ikut menentukan sejarah. Dalam usahnya itu ia berusaha bergerak secara dinamis dan berusaha memperoleh pengertian tentang kebenaran. Agama menjadi salah satu usaha pencarian manusia dalam mencapai kebenaran, maka tentu ia akan tetap berpegang teguh pada apa yang dianggapnya akan membawanya pada kebenaran, dan dengan sigap berusaha mempertahankannya dari serangan pihak luar.
IV. Dokumen Gereja tentang Dialog
“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra dan kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.” (Nostra Aetate art. 5). Pernyataan ini kiranya bukan dikonsepsikan secara sembarangan. Dari sini sebenarnya tampak sekali bahwa Gereja sungguh menyadari “locus”nya. Gereja sadar betul tempatnya berpijak adalah dunia, sebuah tempat baginya dan umat lainnya berziarah menuju Kebenaran Abadi. Dalam perjalanan peziarahannya itu Gereja membuka mata dalam hubungannya dengan umat lain, yang juga berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini. Berhubungan dengan mereka, Gereja mengambil sikap mulia sesuai dengan ajaran Yesus Sang Guru Utama, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu, dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti seperti dirimu sendiri” (Mat 22 : 37- 38), dan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Hubungan cinta menjadi sesuatu yang dapat mengalahkan segalanya. Dan, hanya orang yang mampu mencintai yang kiranya berhak disebut sebagai Anak-anak Allah (1 Yoh 4 - 8).
Berangkat dari berbagai pemahaman mulia dan menengok beberapa kasus konflik yang terjadi di Tanah Air, Gereja Katolik Indonesia baik dalam skala nasional maupun lokal, banyak kali mengeluarkan seruan (entah lewat surat gembala atau dalam bentuk lain), untuk terus mengusahakan kasih lewat dialog antar agama dan lintas iman. Dalam surat gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta tahun 1999, misalnya. Persaudaraan sejati menjadi menjadi salah satu pokok penting yang dibicarakan. Sekali lagi dengan bersandar pada semangat kasih dan tidak melupakan unsur manusiawi (humanitas), Gereja hendaknya terus mengusahakan pembangunan persaudaraan sejati dengan dialog.
Bahkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, 2000 lalu, dialog antar agama mendapat perhatian yang cukup. Harapan yang sempat dicatat oleh seorang teolog Indonesia, Banawiratma adalah sebagai berikut, “Dalam komunitas basis lintas iman, penghayatan iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama berusaha mencari dan menemukan rahasia dari yang menghendaki dan menentukan hidup serta mengikutiNya. Pada tingkat ini terjadi suatu interreligious dialogue, dimana seseorang memasuki pengalaman iman lain dan mengalami transformasi internal. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman lain akan saling memperkaya untuk memasuki rahasia iman itu sendiri (Symbiosis Synergy)
V. Pendirian Semifinal(Hipotesis) Pluralitas Diterima, Dialog Diusahakan
Mencermati seluruh paparan dan analisis panjang lebar di atas, agaknya ada satu hal yang harus kita akui bersama sebagai kenyatan yang tidak dapat kita hindari dalam realita kehidupan beragama. Hal tersebut adalah pluralitas agama. Ada berbagai macam agama hidup dan berkembang di Tanah Air, dan kiranya ini menjadi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak dapat dihindari. Sebuah konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, mau atau tidak mau kita yang hidup bersama di Bumi Indonesia ini, harus menjalin hubungan dengan mereka yang tidak se-agama dengan kita. Ini merupakan hal yang wajar dan mesti terjadi. Memang ada banyak kendala dan halangan dalam berhubungan namun, bukan berarti itu tidak perlu atau tidak dapat diusahakan. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi begitu penting ketika kita umat Kristen Katolik mau menjalin hubungan dengan pihak lain yang tidak sealiran. Maka, kiranya kita tidak dapat mengatakan tidak, pada dialog sebagai salah satu solusi pluralitas. Dialog terutama antar agama, di satu pihak menjadi tantangan di tengah berbagai macam suasana chaos negeri ini. Keberanian umat Katolik menyebarkan kasih dalam hal ini mendapatkan ujiannya karena “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16). Namun, di lain pihak dialog antar agama merupakan peluang yang harus terus dicari dan dimanfaatkan untuk menjadikan suasana negeri ini menjadi lebih baik.
Sebuah rekomendasi pastoral yang kiranya perlu diungkapkan di sini adalah pembentukan wadah atau komisi khusus dalam tiap paroki untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan dialog antar agama. Kebutuhan semacam ini kiranya menjadi penting karena sekali lagi kita berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Maka tidak cukup sebenarnya jika paroki hanya sekedar mengadakan sarasehan, seminar, workshop atau kegiatan lain yang sifatnya hanya aksidental. Umat dalam paroki Gereja Katolik kiranya harus juga mulai membentuk wadah atau komisi khusus dalam dewan paroki yang memperhatikan khusus masalah dialog antar agama. Dari sini sebenarnya dapat dengan mudah difasilitasi berbagai macam kegiatan yang akan diadakan, baik inisiatif dari umat anggota paroki yang bersangkutan atau kelompok umat beragama lain yang diajak dialog. Sebagai umat Katolik, kiranya kita perlu juga membuka diri, berani berinisiatif, dan dengan hati tulus bermaksud mewujudkan persaudaraan sejati dengan mulai berdialog dengan agama lain. Menjadi orang Katolik bukan sekedar ikut perayaan ekaristi atau berbagai macam kegiatan lain yang sifatnya altar-sentris, tetapi juga berani “terjun ke pasar”, berani membawa kasih kepada semua orang yang membutuhkan.
Akhirnya harus dikatakan sekali lagi bahwa perbedaan (pluralitas) kiranya dapat menjadikan dunia lebih indah, jika disusun sedemikian rupa dan menghasilkan harmoni. Perbedaan tidak perlu ditonjolkan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perpecahan, namun baiklah kalau kita lebih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mempersatukan dan menguatkan. Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita refleksikan sebuah pernyataan Hans Küng dalam pengantar karya Paul Knitter, One Earth Many Religions:
“Agama-agama dunia dari pada membuat garis pemisah satu sama lain,
lebih baik mengakui tangung jawab mereka untuk bekerja sama,
demi terciptanya keadilan yang menyeluruh, damai yang lebih mendalam,
dan sebuah hubungan yang lebih dapat dipertahankan dengan keseluruhan hidup.”
Paper mata kuliah Dialog Antaragama: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Sumber Utama
CSIS. 2004. Toleransi Kehidupan Beragama( Kliping). Jakarta.
Kompas Bulan Agustus 2004
TEMPO, Bulan Agustus 2004.
Sumber tambahan
Banawiratma, J.B., Komunitas Basis Gerejani, Komisi Kateketik KWI, 2000
Drijarkara, N.J., Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, 2003
Hardawiryana, SJ.,R.(terjemahan), Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan, Dokumentasi dan Penerangan KWI dan Penerbit Obor, 1993.
Hunt, Chester L., dan Horton, Paul B., Sosiologi, Penerbit Erlangga 1991.
Knitter, Paul F., One Earth Many Religion: Multifaith Dialog and Global Responsibility, Orbis Book, New York, 1996.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia jilid 1 dan 5, Penerbit A.N. B.I. K.I Ichtiar Baru- Van Holve, 1984.
No peace among the nations
Without peace among religions.
No peace among religions
Without dialogue between the religions
No peace among the nations
Without investigation of the foundation of the religions.
(Hans Kung).
Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog Liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen. Secara sosiologi kita sekarang ini sudah berada dalam lingkungan globalisme dan pluralisme etnis dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima. Kenyataan antropologis inilah barangkali yang ikut mengatar lahirnya sebuah klausal dalam konsili Vatikan II bahwa di luar tradisi dan iman kristiani juga terdapat keselamatan karena kasih Tuhan mengatasi batas-batas doktrin teologis .
Mengingat pluralitas agama di Indonesia adalah fakta historis-sosiologis serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, maka salah satu agenda penting yang muncul adalah bagaimana usaha kita supaya pluralistas menjadi aset bangsa? Dan hal ini jangan sampai malah menjadi sumber konflik dan friksi sosial-politis yang menggerogoti persatuan dan kemajuan bangsa.
Dialog kontemporer antar-antar agama ditengah masyarakat dewasa ini memang berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama. Pluralisme menjadi konteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada gilirannya akan memberikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar-agama di masa lalu. Corak pertemuan antar-agama yang baru akan dipengaruhi oleh tantangan yang baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus oleh kesadaran yang baru tentang pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kiprah agama-agama di masyarakat.
Paper ini mencoba melihat perkembangan dialog antar-agama di Indonesia maupun di negara-negara yang lain dalam konteks penelitihan teks. Teks-teks yang dipakai adalah beberapa surat kabar dan majalah selama bulan Agustus 2004.
II. Uraian Kliping
Politik
Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia . Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama digunakan untuk mengalih perhatian atau membakar persoalan yang baru .
Campur tangan pemerintah dalam urusan hidup umat beragama kembali dipertanyakan kembali oelh sejumlah tokoh agama. Hal ini berkaitan dengan Penpres No1/1965 tentang pencegahan penodaan Agama. Dalam pandangan para tokoh agama, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan masing-masing . Penpres ini tidak relevan lagi karena saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya.
Dampak kebijakan politik negara dengan munculnya berbagai macam peraturan membuat negara terlalu ikutcampur dalam persoalan agama. Persoalan yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi terhadap agama tertentu. Misalanya, pada Penpres No 1/1965 ayat 1 yang berbunyi, ” ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu” . Dan beberapa aliran dilarang oleh pemerintah. Di sini jelas-jelas memuat peranan politik, karena sebenarnya negara Indonesia mengakui keberadaan agama dan keyakinan seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Namun dibalik permasalah campur tangan negara dalam kehidupan beragama, Indonesia masih memiliki Pancasila. Pancasila oleh bangsa Indonesia telah diterima sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yan terbuka dan inklusif memungkinkan masyarakat yang majemuk untuk bersatu padu.
Semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” digunakan dengan pengandaian adanya kerukunan nasional yan inheren. Munculnya semboyan itu bukan hanya menggambarkan apa yanag telah ada, tetapi terlebih-lebih mengingat bahwa ada suatu kerja keras yang harus dilakukan untuk memeliharanya, karena kerukunan dalam kemajemukan bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kemantapan kerukunan agama-agama dalam hidup bernegara adalah prasyarat keberhasilan baik untuk mengatasi krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan nasional. Umat beragama justru perlu memberikan sumbangannya secara positif dan bukan sebaliknya mencuatkan perbedaan sempit yang dapat memicu konflik, yang mempersulit keadaan serta mengancam persatuan bangsa.
Moral
Tokoh dari lintas agama melakukan pertemuan dengan calon presiden dari PDI-P, Megawati Sukarnoputri dan dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menyodorkan Kerangkat Kebersamaan Minimal(KKM) yang disebut SBY sebagai kontrak moral .
Kepedulian para tokoh agama terhadap kehidupan moral masyarakat merupakan bentuk kesadaran semua agama akan penting nilai-nilai moral. Mereka meminta para calon presiden untuk membuat komitmen minimal. Komitmen minimal ini berkaitan dengan kehidupan moral para pemimpin.
Kehidupan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai terpaan badai krisis multidimensional. Mengapa? Perilaku moral para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah sistem yang selalu ada dan akan terus ada dalam pemerintahan.
Implementasi kontrak moral bukan untuk para pemimpin bangsa tetapi juga untuk masyarakat seluruhnya . Kehidupan moral masyarakat Indonesia semakin hari semakin suram. Banayak contoh yang bisa diambil seperti; pornografi dan pornoaksi. Menghadapi fenomena ini perlu pemikiran yang matang dari para pemimpin. Fenomena pronografi dan pornoaksi yang sangat terbuka dapat melunturkan nilai-nilai dan norma dalam hidup masyarakat Indonesia. Di sini para tokoh agama dalam kontrak moralnya mengharapakan agar pemerintah membuat sebuah regulasi yang mampu menjawab keresahan-keresahan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kehidupan moral para penerus bangsa.
Pendidikan Agama Multikultural
Pendidiakn agama di sekolah-sekolah umum sering mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Pendidikan agama dipandang tidak berhasil dalam membentuk perilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan imtak( iman dan takwa), juga dipandang kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaan-perbedaan diantara umat beragama.
Dikalangan umat Islam sendiri terdapat banyak perbedaan dalam hal-hal keagamaan, khususnya menyangkut masalah cabang bukan hal-hal pokok . Meski demikian, pertikaian dan konflik bisa muncul jika perbedaan-perbedaan itu tidak disikapi umat secara bijaksana. Kebijaksanaan dan kearifan untuk secra toleran melihat perbedaan dan keragaman, tidak bisa datang dan tumbuh sendiri, melainkan harus ditanamkan dan dikembangkan. Di sini peran sekolah dan lemabaga pendidikan lainnya menjadi sangat krusial.
Karena itulah pendidikan agama tetap dibutuhkan, tentu dengan orientasi baru . Pertama, dengan menekan perspektif multikulturalisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakan umat beragama manapun. Kedua, memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikultural tersebut, dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada afektif dan psikomotorik. Ketiga, peningkatan kualitas guru baik dari sudut pemahaman atas agamanya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikultural yang tepat.
Wacana tentang pendidikan agama dalam perspektif multikulturalis merupakan sesuatu yang baru. Gagasan dan pembahasan tentang pendidikan agama multikultural, bahkan dalam segi-segi tertentu bisa dikatakan masih cukup sensitif, khususnya mengingat terjadi kontroversi sangat tajam menjelang penetapan UU No.20 tentang Sisdiknas 2003 lalu.
III. Analisis dari Beberapa Sudut Pandang
Gambaran kenyataan situasi tidak mengenakan dalam hubungan antar umat beragama yang dikemukakan di atas, kiranya perlu mendapat analisa dari beberapa sudut pandang. Pada pokok ini penulis berusaha memaparkannya, dengan harapan dapat memperjelas peran dialog antar agama khususnya di Indonesia.
Politik
Pembicaraan tentang politik tentu tidak jauh kaitannya dengan tata pemerintahan, dan kekuasaan . Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, kiranya kita perlu melihat lagi isi dari pasal 29 UUD 1945 (ayat 1 dan 2), yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa negara kita tidak didasarkan atas agama tertentu tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengannya. Kebijaksanaan ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari hidupnya beberapa ajaran agama di Indonesia. Dalam tatanan ini jelas bahwa kebebasan memeluk agama (atau bahkan untuk tidak beragama ?) merupakan hak asasi manusia yang bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menghadapkan konsep ini dengan pelbagai kenyataan yang terjadi di Indonesia, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Di mana peran negara dalam menjalankan kuasanya menjamin kebebasan beragama ? atau, justru karena berusaha melanggengkan kekuasaan negara atau berbagai pihak lain menggunakan agama sebagai alatnya ? atau gejala lain yang dapat disebutkan adalah gejolak politik masyarakat yang sebenarnya sudah tidak puas dan tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sedang berlangsung. Ini berarti agama tidak lagi berada dalam ruang privat sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945. Agama telah masuk dalam ruang publik di mana tidak ada lagi rasa aman dalam memeluk atau bahkan menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya. Kejadian yang sama yang berlangsung terus menerus di beberapa daerah di Indonesia menandakan secara institusi agama sudah ditunggangi maksud-maksud kotor politik. Hal ini juga berarti agama atau umat beragama sendiri tidak lagi mampu mengaktualisasikan ke- agama-annya dalam berbagai bidang kehidupan.
Sosiologi
Secara sosiologis agama sebenarnya lebih dipandang dari sisi institusi, ia merupakan kelompok orang yang terorganisasi dan secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama tertentu . Dalam sosiologi agama yang mengamati dan mempelajari hubungan antara lembaga agama dengan lembaga sosial lainnya sebenarnya tampak bahwa agama tidak sama seperti kebanyakan lembaga sosial. Ia lebih didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supra natural atau Yang Transenden. Maka, kekuatan mengikatnya lebih kuat dibanding lembaga sosial biasa. Melihat hal ini dalam sosiologi diakui juga bahwa adanya banyak agama yang berbeda-beda cenderung mengakibatkan konflik (disamping dapat juga mengalami kecenderungan yang lain yaitu kerja sama). Salah satu kenyataan yang dapat kita lihat adalah di Indonesia, meski sekali lagi mesti diklarifikasi apakah itu betul konflik antar agama.
Dari sudut pandang sosiologis, sebenarnya dimungkinkan juga bahwa dalam konflik antar agama biasanya tidak secara langsung berhubungan dengan doktrin atau ajaran agama tertentu, melainkan merupakan permainan politik memperebutkan kekuasaan. Dalam tatanan ini kiranya agama menjadi alat atau sasaran empuk permainan politik, dengan sedikit mengutak-atik rasa fanatisme. Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang berbau agama kiranya memunculkan gejala yang sama. Kebanyakan orang tidak tahu secara persis apa permasalahannya sehingga ikut membakar masjid atau gereja dan sebagainya. Dalam hal ini agama telah menjadi sebuah institusi yang kekuatannya begitu dahsyat untuk menghancurkan kelompok lain.
Antropologi
Bicara tentang kajian antropologis, kita tidak dapat meninggalkan unsur kultural atau budaya. Kajian Antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya masyarakat dan kebudayaannya . Dalam kajian ini jelas kita akan melihat begitu banyak perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bahkan, mungkin perbedaan itu nampak meski dua orang manusia berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama. Dalam kaitannya dengan berbagai macam kasus kekerasan yang melanda Tanah Air, Antropologi hampir dapat memastikan bahwa kolektivitas yang kuat sehingga membentuk kebudayaan yang menyimpang kiranya dapat diamati dalam berbagai macam kasus tersebut. Budaya kekerasan yang tampil merupakan produk spontan dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam perkembangan antropologisnya manusia yang satu mengalami berbagai macam tekanan dan suasana ketidakpastian yang membuat mereka tidak puas dengan produk budaya yang birokratis dan lamban. Gerakan “revolusioner” dalam arti tertentu lebih mendapat perhatian, apalagi dalam suasana kemajemukan di mana kepentingan setiap orang berbeda-beda dan selalu dapat bersinggungan satu sama lain.
Filosofi
Sebuah pertanyaan yang sering terlontar berkaitan dengan berbagai kerusuhan antar agama yang terjadi di tanah air adalah, “Apakah benar ini konflik agama ?”. Dalam arti tertentu pertanyaan ini merupakan awal pengupasan masalah dari sudut pandang filosofis. Apakah mungkin sesama Bangsa Indonesia, sanak saudara, saling bunuh hanya karena ia berbeda agama dengan kita. Banyak yang mengatakan tidak mungkin, tapi itu yang menjadi kenyataan. Dipandang dari sisi filsafat manusia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah hakekat manusia itu sendiri. Salah satu gambaran manusia dapat dilihat bahwa manusia selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi kongkrit . Manusia adalah bagian dari sejarah dan dalam arti tertentu ikut menentukan sejarah. Dalam usahnya itu ia berusaha bergerak secara dinamis dan berusaha memperoleh pengertian tentang kebenaran. Agama menjadi salah satu usaha pencarian manusia dalam mencapai kebenaran, maka tentu ia akan tetap berpegang teguh pada apa yang dianggapnya akan membawanya pada kebenaran, dan dengan sigap berusaha mempertahankannya dari serangan pihak luar.
IV. Dokumen Gereja tentang Dialog
“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra dan kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.” (Nostra Aetate art. 5). Pernyataan ini kiranya bukan dikonsepsikan secara sembarangan. Dari sini sebenarnya tampak sekali bahwa Gereja sungguh menyadari “locus”nya. Gereja sadar betul tempatnya berpijak adalah dunia, sebuah tempat baginya dan umat lainnya berziarah menuju Kebenaran Abadi. Dalam perjalanan peziarahannya itu Gereja membuka mata dalam hubungannya dengan umat lain, yang juga berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini. Berhubungan dengan mereka, Gereja mengambil sikap mulia sesuai dengan ajaran Yesus Sang Guru Utama, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu, dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti seperti dirimu sendiri” (Mat 22 : 37- 38), dan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Hubungan cinta menjadi sesuatu yang dapat mengalahkan segalanya. Dan, hanya orang yang mampu mencintai yang kiranya berhak disebut sebagai Anak-anak Allah (1 Yoh 4 - 8).
Berangkat dari berbagai pemahaman mulia dan menengok beberapa kasus konflik yang terjadi di Tanah Air, Gereja Katolik Indonesia baik dalam skala nasional maupun lokal, banyak kali mengeluarkan seruan (entah lewat surat gembala atau dalam bentuk lain), untuk terus mengusahakan kasih lewat dialog antar agama dan lintas iman. Dalam surat gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta tahun 1999, misalnya. Persaudaraan sejati menjadi menjadi salah satu pokok penting yang dibicarakan. Sekali lagi dengan bersandar pada semangat kasih dan tidak melupakan unsur manusiawi (humanitas), Gereja hendaknya terus mengusahakan pembangunan persaudaraan sejati dengan dialog.
Bahkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, 2000 lalu, dialog antar agama mendapat perhatian yang cukup. Harapan yang sempat dicatat oleh seorang teolog Indonesia, Banawiratma adalah sebagai berikut, “Dalam komunitas basis lintas iman, penghayatan iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama berusaha mencari dan menemukan rahasia dari yang menghendaki dan menentukan hidup serta mengikutiNya. Pada tingkat ini terjadi suatu interreligious dialogue, dimana seseorang memasuki pengalaman iman lain dan mengalami transformasi internal. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman lain akan saling memperkaya untuk memasuki rahasia iman itu sendiri (Symbiosis Synergy)
V. Pendirian Semifinal(Hipotesis) Pluralitas Diterima, Dialog Diusahakan
Mencermati seluruh paparan dan analisis panjang lebar di atas, agaknya ada satu hal yang harus kita akui bersama sebagai kenyatan yang tidak dapat kita hindari dalam realita kehidupan beragama. Hal tersebut adalah pluralitas agama. Ada berbagai macam agama hidup dan berkembang di Tanah Air, dan kiranya ini menjadi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak dapat dihindari. Sebuah konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, mau atau tidak mau kita yang hidup bersama di Bumi Indonesia ini, harus menjalin hubungan dengan mereka yang tidak se-agama dengan kita. Ini merupakan hal yang wajar dan mesti terjadi. Memang ada banyak kendala dan halangan dalam berhubungan namun, bukan berarti itu tidak perlu atau tidak dapat diusahakan. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi begitu penting ketika kita umat Kristen Katolik mau menjalin hubungan dengan pihak lain yang tidak sealiran. Maka, kiranya kita tidak dapat mengatakan tidak, pada dialog sebagai salah satu solusi pluralitas. Dialog terutama antar agama, di satu pihak menjadi tantangan di tengah berbagai macam suasana chaos negeri ini. Keberanian umat Katolik menyebarkan kasih dalam hal ini mendapatkan ujiannya karena “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16). Namun, di lain pihak dialog antar agama merupakan peluang yang harus terus dicari dan dimanfaatkan untuk menjadikan suasana negeri ini menjadi lebih baik.
Sebuah rekomendasi pastoral yang kiranya perlu diungkapkan di sini adalah pembentukan wadah atau komisi khusus dalam tiap paroki untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan dialog antar agama. Kebutuhan semacam ini kiranya menjadi penting karena sekali lagi kita berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Maka tidak cukup sebenarnya jika paroki hanya sekedar mengadakan sarasehan, seminar, workshop atau kegiatan lain yang sifatnya hanya aksidental. Umat dalam paroki Gereja Katolik kiranya harus juga mulai membentuk wadah atau komisi khusus dalam dewan paroki yang memperhatikan khusus masalah dialog antar agama. Dari sini sebenarnya dapat dengan mudah difasilitasi berbagai macam kegiatan yang akan diadakan, baik inisiatif dari umat anggota paroki yang bersangkutan atau kelompok umat beragama lain yang diajak dialog. Sebagai umat Katolik, kiranya kita perlu juga membuka diri, berani berinisiatif, dan dengan hati tulus bermaksud mewujudkan persaudaraan sejati dengan mulai berdialog dengan agama lain. Menjadi orang Katolik bukan sekedar ikut perayaan ekaristi atau berbagai macam kegiatan lain yang sifatnya altar-sentris, tetapi juga berani “terjun ke pasar”, berani membawa kasih kepada semua orang yang membutuhkan.
Akhirnya harus dikatakan sekali lagi bahwa perbedaan (pluralitas) kiranya dapat menjadikan dunia lebih indah, jika disusun sedemikian rupa dan menghasilkan harmoni. Perbedaan tidak perlu ditonjolkan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perpecahan, namun baiklah kalau kita lebih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mempersatukan dan menguatkan. Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita refleksikan sebuah pernyataan Hans Küng dalam pengantar karya Paul Knitter, One Earth Many Religions:
“Agama-agama dunia dari pada membuat garis pemisah satu sama lain,
lebih baik mengakui tangung jawab mereka untuk bekerja sama,
demi terciptanya keadilan yang menyeluruh, damai yang lebih mendalam,
dan sebuah hubungan yang lebih dapat dipertahankan dengan keseluruhan hidup.”
Paper mata kuliah Dialog Antaragama: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Sumber Utama
CSIS. 2004. Toleransi Kehidupan Beragama( Kliping). Jakarta.
Kompas Bulan Agustus 2004
TEMPO, Bulan Agustus 2004.
Sumber tambahan
Banawiratma, J.B., Komunitas Basis Gerejani, Komisi Kateketik KWI, 2000
Drijarkara, N.J., Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, 2003
Hardawiryana, SJ.,R.(terjemahan), Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan, Dokumentasi dan Penerangan KWI dan Penerbit Obor, 1993.
Hunt, Chester L., dan Horton, Paul B., Sosiologi, Penerbit Erlangga 1991.
Knitter, Paul F., One Earth Many Religion: Multifaith Dialog and Global Responsibility, Orbis Book, New York, 1996.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia jilid 1 dan 5, Penerbit A.N. B.I. K.I Ichtiar Baru- Van Holve, 1984.
Selasa, 17 Februari 2009
Buku: "Aktualisasi Spiritualitas Fransiskan"
MEMAKNAI KEMBALI NILAI-NILAI SPIRITUALITAS FRANSISKAN
Santo Fransiskus Asisi, seorang sosok yang dikenal sebagai tokoh pembaru dalam gereja. Dia memulai cara hidupnya dengan meninggalkan kehidupan yang mapan dan menjadi seorang yang paling miskin. Dia membangun ordo dalam sebuah spirutalitas yang bagi kebanyakan orang sangat bertentangan dengan kemapanan kehidupan Gereja pada zaman itu. Spiritualitas Fransiskus kini menjadi dasar dan model berbagai macam tarekat di belahan dunia.
Santo Fransiskus tidak seperti Obama atau tokoh-tokoh lain yang mengedepankan perubahan yang besar dalam masyarakat. Dia menghayati nilai-nilai injili dan memulai sebuah spiritualitas yang diikuti oleh banyak orang. Nilai-nilai yang terkandung dalam spiritualitasnya membawa pengaruh pada pribadi-pribadi, sehingga mereka pun menghayati spiriritulitas itu dalam hidupnya sendiri maupun dalam kelompok.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa spiritualitas fransiskan begitu menarik banyak orang dan masih relevankan spritualitas Fransikan itu? Togar Nainggolan, dan kawan-kawan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan memberikan gambaran yang sangat luas bagaimana spiritualitas fransiskan itu diaktualisasikan pada zaman sekarang.
Michael Manurung menyoroti mengenai seni hidup berkomunitas. Terinspirasi oleh hidup Yesus dan Murid-murid-Nya, Fransiskus memulai hidup persaudaraan dengan sahabat-sahabatnya yang pertama. Aktualisasi makna hidup komunitas ini mengalami transformasi dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks yang dilalui. Lalu, bagaiamana dengan kehadiran generasi baru yang sering disebut Generesi Indie dalam komunitas? Itu membutuhkan suatu seni.
Doa merupakan salah satu inti dari spiritualitas fransiskan. Manusia pada hakekatnya adalah homo orans sehingga tanpa doa manusia tidak sampai pada kebenaran bahkan tidak mampu menemukan dirinya sendiri. St Fransiskus mencapai puncak dalam pengalaman doa sebab dia bukan lagi hanya seorang manusia pendoa tetapi sudah menjadi doa itu sendiri. Dalam kehidupan kita sehari-hari mungkin tidak seperti Fransiskus, tetapi bagaimana kita berusaha untuk semakin mencintai doa. Mananggar Marpaung membahas secara rinci keutamaan doa yang harus dipegang oleh siapa saja yang memegang spiritualitas Fransiskan.
Togar Nainggolan menganalisa dua doa-Nyanyian Saudara Matahari dan Tonggo Harbue- sebagai contoh untuk menunjukkan sikap hidup seorang Fransiskus dan orang Batak terhadap ekologi. Kenyataan bahwa alam sudah rusak akibat ulah manusia membuat kita merefleksikan kembali penghayatan kefransiskanan kita terhadap ekologi.
Marianus Sinaullang menyoroti sakramen tobat yang seringkali tidak diperhatikan. Bagaimana kita mengangkat kembali semangat para saudara pertama yang menyebutkan diri sebagai pentobat-pentobat dari Asisi? Tidak dapat disangkal bahwa sakramen tobat merupakan bagian yang penting dalam kehidupan seorang fransiskan. Diawal ketika masuk kita mengenakan jubah pertobatan. Lalu, bagaimana kita mempromosikan semangat tobat ini kepada dunia sekarang ini?
Franciscus Cahyo Widiyanto mengulas secara mendalam bagaiamana merevitalsiasi semangat misioner fransiskan kita pada zaman sekarang? Semangat bermisi merupakan kewajiban ordo karena merupakan kharisma khas fransiskan. Bentuk dan metode misi untuk sekarang memang harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan zaman sekarang. Dulu misi terutama untuk menobatkan orang yang belum kristen dan sekarang bagaimana kita bermisi di tengah gereja-gereja yang sudah mulai mapan? Memang menjadi misionaris untuk zaman sekarang tidaklah mudah, karena bersedia diutus ke mana saja, kepada siapa saja, harus sanggup menjadi teladan bagi sesama, setia melaksanakan tugas dan harus berani memanggul salib bersama Yesus dalam kemartiran.
Ada beberapa pokok penting yang merupakan inti dari spiritualis fransiakn yang menjadi kebutuhan dan harus dijalankan oleh seorang fransiskan. Pertama, spiritualitas persaudaraan, kedua, spiritualitas doa, ketiga spiritualitas misioner, keempat spiritualitas cinta akan keutuhan ciptaan dan kelima, spiritualitas tobat.(BASTIAN GAGUK, OFM)
Judul buku : Aktualisasi Spiritualitas Fransiskan
Penulis : Dr. Togar Nainggolan dan Serpulus T. Simaora Lic.S.S( Editor)
Penerbit : Bina Media Perintis( Medan)
Tahun :2007
Tebal : 259 halaman
TELAH DIPUBLIKASIKAN DI MAJALAH GITA SANG SURYA EDISI JANUARI-FEBRUARI 2009
Jumat, 16 Januari 2009
Profil orang.........
MEMBELA KEHIDUPAN, MEMBANGUN KEMANDIRIAN MANUSIA
Kalau kita Membela kehidupan manusia, kita juga harus membela kemandirian manusia. Sebab, setiap orang mempunyai hak untuk belajar dan memperoleh fasilitas untuk mandiri. Hanya saja, selama ini banyak orang mendapatkannya karena berbagai alasan.
Berawal dari sebuah keprihatinan
“Saya datang ke Indonesia pada 13 Mei 1973 untuk bekerja di Papua” demikian Suster Andre, FCJM menuturkan hal ihwal kedatangannya di Indonesia. Suster kelahiran Ilpemdam, Belanda 6 Juli 1943 ini lebih lanjut berkisah, “Selama dua bulan saya tinggal di Biara Susteran CB di Carolus untuk mempelajari bahasa dan mengenal Indonesia. Bersama Sr. Rina Ratho, BKK dan Bpk. Wilbert, mantan Fransikan, saya mulai terlibat merawat orang-orang sakit di tempat-tempat sampah, rel kereta”.
Setelah beberapa bulan di Jakarta, ia pun terbang ke Papua untuk menjalakan tugas perutusannya. Sakit malaria membuat dia harus keluar dari tanah Papua setelah bekerja selama 4 tahun. Tentu saja ini menimbulkan pergulatan besar dalam hidupnya, harus meninggalkan tanah misi yang dicitak-citakannya. Akan tetapi, semangat bermisinya tumbuh kembali ketika Sr. Rina Ratho, BKK mengajaknya untuk bersama-sama membantu orang sakit. Pada Thun 1977, dia dan Sr. Rina mulai berkarya di Cengkareng dengan Yayasan Usada Mulia dan bekerja sama dengan Ibu Nasution untuk menampung orang-orang sakit yang baru keluar dari RSCM. Dan tempat ini biasa di Sebut rumah sakit orang Gelangdangan.
Perjalanan karya terus berlanjut, dia dan Sr. Rina pindah ke Pejompongan dan bekerja sama dengan Yayasan Usaha Mulia. Mereka mengontrak rumah untuk penampungan dan poli klinik. Pasien semakin hari semakin bertambah, tempat penampungan mulai sempit. Sr. Rina pun pindah ke Pamulang untuk membantu orang-orang sakit khususnya yang TBC. Sedangkan di Pejompongan, suster tamatan perawat ini, melaksanakan program misi dengan mengadakan kegiatan posyandu dan program gizi bagi anak-anak.
Setelah 10 tahun di Pejompongan Sr. Andre, FCJM, pun pindah untuk melayani orang-orang dipinggiran kali Ciliwung, Manggarai. Dia bersama dengan Dr. Warno dan Santi membentuk Yayasan Driwansi. Di sana mulai melayani masyarakat kecil dengan program posyandu, poliklinik dan membangun play group. Pelayanan ini juga berkembang ke Sunter, dibelakang Susteran Ursulin. Di sana juga membentuk program posyandu yang berkeja sama dengan ibu-ibu PKK di RW V. Kelompok binaan ii terdiri dari kelompok dari RT-RT untuk pelayanan gizi dasar dan membangun playgroup. Karya Manggarai dan Sunter masih terus berjalan sampai sekarang.
Sebuah Pelayanan Baru
Dari pengalaman pelayanan yang banyak itu, muncul sebuah keprihanian baru yaitu nasib orang-orang cacat yang tidak tertolong. Pasien yang pertama datang di Manggarai adalah pasien bibir sumbing. Setelah dia dioperasi di RSCM, semakin banyak orang cacat yang datang dan banyak pula yang tertolong.
Pelayanan ini semakin dibutuhkan, maka Sr. Andre membutuhkan tenaga baru. Dia meminta bantuan kepada Pronvinsi FCJM Indonesia untuk mengirimkan suster untuk memantunya. Dengan demikian, Sr. Andre, FCJM, Ibu Lukman dan Sr. Sisilia Siringoringgo, FCJM mengontrak sebuha rumah di jalan kelinci, Kemayoran. Di sana mulai sebuah pelayanan baru untuk orang-orang cacat.
Karya pelayanan ini semakin besar, dimana tempat untuk penampungan untuk orang-orang cacat mulai sesak. Sr. Andre, FCJM pun menghadap MGR. Leo Sukoto untuk berbicara mengenai karya ini. Dan Bapa Uskup pun berjanji akan menyediakan tempat untuk karya pelayanan ini. Di Desa Jati Kramat- Jatibening, dibangunlah tempat untuk pusat rehabilitas orang-orang cacat dan susteran
Yayasan Sinar Pelangi berkembang dari hari ke hari. Bukan hanya yang cacat bibir sumbing yang datang tetapi juga dari berbagai jenis penyakit yang lain. Pembangunan pun dilakukan tahap demi tahap karena semakin banyaknya orang yang datang. Sampai sekarang pasien yang mendapat perawatan sebanyak 300 orang pertahun, yang berasal dari berbagai latar balakang, jenis penyakit, agama dan ras yang berbeda.
Pada tahun 2000an, semakin banyak orang yang datang untuk meminta bantuan. “Meskipun pintu ditutup rapat, tetapi dibukakan juga” ujar Sr. Andre, FCJM dengan penuh semangat. Karya baru pun di buka. Menampung anak-anak yang tidak dikehendaki, cacat, terbuang, broken home. 6 juni 2003 Panti Asuhan, Wisma Pius dibuka dan sampai sekarang jumlah anak yang ada di Wisma Pius berjumlah 37 orang anak. Ditampung pula anak-anak remaja yang hamil diluar nikah, tetapi setelah melahirkan ada yang anaknya dibawa tetapi banyak juga yang ditinggalkan di Wisma Pius.
Untuk masalah ini, pihak Yayasan tidak memberi izin kepada orang-orang yang mau mengadopsi. Tetapi berusaha untuk mencari keluarga mereka dengan membuat riwayat hidup yang jelas, sehingga mengenal keluarganya. “Seorang anak akan bertumbuh dan harus tahu siapa keluarganya, sehingga ia tidak merasa diri sendirian”, ujar Sr. Andre, FCjM dengan jelas.
Ketika ditanya tantangan yang dihadapi dalam melakukan berbagai karya pelayanan, suster yang bernama lengkap Theodora Antonia Maria mengatakan dalam setiap karya pasti banyak tantangan. Tantaangan yang besar berkaitan dengan kehidupan di lingkungan sekitar. Hidup di antara orang muslim yang cukup fundamental. Masyarakat sekitar kebanyakan keras kepala yang tidak mau melihat perbedaan yang ada. Mereka susah dia atur. Masuknya orang katolik tidak mudah. Daerah yang biasa di sebut Mekkah kedua, banyak pesantren yang kurang menghargai perbedaan.
Ada iri hati dan keceburuan social. Ini bukan semata-mata kesalahan mereka, tetapi kita orang katolik juga perlu refleksi diri, bagaimana kehadiran kita berguna atau mengacam kehidupan mereka. Memang terlalu cepat membuat misi di tengah orang-orang mayoritas, dengan menghadirkan berbagai karya misi yang banyak yang dapat menimbulkan kecurigaan mengacam kehidupan dan keyakinan mereka. Tantang dibutuhkan untuk berpikir jernih. Jangan memakai jalan singkat untuk melakukan sesuatu. Kadang lupa ada orang lain disekitarnya.Tidak gampang untuk hidup dalam perbedaan, tetapi mereka membuat kita berpikir jernih.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dibalik semua tantangan itu, ada kekuatan yang membuat karya ini terus berjalan. Kekuatan itu bukan dari diri sendiri tetapi dari yang di atas dan semangat yang diteladankan oleh muder pendiri yaitu muder Klara Fender. Spiritualitas fransiskan –perjuang untuk hidup manusia. Juga Rasul Andreas yang dipanggil oleh Yesus bukan menjadi penjala ikan tetapi menjadi penjala manusia. Di sini kita belajar untuk membangun hidup, dan mengerti bagaimana hidup bersaudara dan satu keluarga. Dia sangat menikmati semuanya ini, tetapi bukan berarti di sini membuat manusia beragama seperti kita, tetapi melihat dan mengerti bagaimana hidup bersaudara. Karena di sini tidak ada perbedaan, tetapi hidup sebagai satu keluarga.
Untuk ke depan dia mengharapkan banyak hal. Pertama, memikirkan regenerasi, supaya karya ini terus berlanjut. Kedua, pembangunan poliklinik, sehingga pelayanan menjadi lebih lengkap. “Biaya ruah sakit sekarang sudah ulai mahal, sehingga diharapkan dari polklinik ini adalah mengurangi penggunaan biaya untuk rumah sakit”, komentarnya. Selain itu, yang ketiga ada impian untuk membangun rumah jompoh. Mengapa harus rumah jompoh? Karena kebutuhan manusia sekarang . Perjalanan manusia dari waktu ke waktu, kadang pada akhirnya mereka merasa diri tidak berguna. Sehingga tempat itu nanti membantu mereka untuk mengisi hari tua. Membuat mereka merasa masih bergunakan dalam hidup. Anak-anak panti mendapat opa-oma, dan opa-oma dapat cucu. ( Bastian Gaguk, OFM dan Thomas Mola, OFM)Sudah dimuat dimajalah GSS edisi November-Desember 2008
Kalau kita Membela kehidupan manusia, kita juga harus membela kemandirian manusia. Sebab, setiap orang mempunyai hak untuk belajar dan memperoleh fasilitas untuk mandiri. Hanya saja, selama ini banyak orang mendapatkannya karena berbagai alasan.
Berawal dari sebuah keprihatinan
“Saya datang ke Indonesia pada 13 Mei 1973 untuk bekerja di Papua” demikian Suster Andre, FCJM menuturkan hal ihwal kedatangannya di Indonesia. Suster kelahiran Ilpemdam, Belanda 6 Juli 1943 ini lebih lanjut berkisah, “Selama dua bulan saya tinggal di Biara Susteran CB di Carolus untuk mempelajari bahasa dan mengenal Indonesia. Bersama Sr. Rina Ratho, BKK dan Bpk. Wilbert, mantan Fransikan, saya mulai terlibat merawat orang-orang sakit di tempat-tempat sampah, rel kereta”.
Setelah beberapa bulan di Jakarta, ia pun terbang ke Papua untuk menjalakan tugas perutusannya. Sakit malaria membuat dia harus keluar dari tanah Papua setelah bekerja selama 4 tahun. Tentu saja ini menimbulkan pergulatan besar dalam hidupnya, harus meninggalkan tanah misi yang dicitak-citakannya. Akan tetapi, semangat bermisinya tumbuh kembali ketika Sr. Rina Ratho, BKK mengajaknya untuk bersama-sama membantu orang sakit. Pada Thun 1977, dia dan Sr. Rina mulai berkarya di Cengkareng dengan Yayasan Usada Mulia dan bekerja sama dengan Ibu Nasution untuk menampung orang-orang sakit yang baru keluar dari RSCM. Dan tempat ini biasa di Sebut rumah sakit orang Gelangdangan.
Perjalanan karya terus berlanjut, dia dan Sr. Rina pindah ke Pejompongan dan bekerja sama dengan Yayasan Usaha Mulia. Mereka mengontrak rumah untuk penampungan dan poli klinik. Pasien semakin hari semakin bertambah, tempat penampungan mulai sempit. Sr. Rina pun pindah ke Pamulang untuk membantu orang-orang sakit khususnya yang TBC. Sedangkan di Pejompongan, suster tamatan perawat ini, melaksanakan program misi dengan mengadakan kegiatan posyandu dan program gizi bagi anak-anak.
Setelah 10 tahun di Pejompongan Sr. Andre, FCJM, pun pindah untuk melayani orang-orang dipinggiran kali Ciliwung, Manggarai. Dia bersama dengan Dr. Warno dan Santi membentuk Yayasan Driwansi. Di sana mulai melayani masyarakat kecil dengan program posyandu, poliklinik dan membangun play group. Pelayanan ini juga berkembang ke Sunter, dibelakang Susteran Ursulin. Di sana juga membentuk program posyandu yang berkeja sama dengan ibu-ibu PKK di RW V. Kelompok binaan ii terdiri dari kelompok dari RT-RT untuk pelayanan gizi dasar dan membangun playgroup. Karya Manggarai dan Sunter masih terus berjalan sampai sekarang.
Sebuah Pelayanan Baru
Dari pengalaman pelayanan yang banyak itu, muncul sebuah keprihanian baru yaitu nasib orang-orang cacat yang tidak tertolong. Pasien yang pertama datang di Manggarai adalah pasien bibir sumbing. Setelah dia dioperasi di RSCM, semakin banyak orang cacat yang datang dan banyak pula yang tertolong.
Pelayanan ini semakin dibutuhkan, maka Sr. Andre membutuhkan tenaga baru. Dia meminta bantuan kepada Pronvinsi FCJM Indonesia untuk mengirimkan suster untuk memantunya. Dengan demikian, Sr. Andre, FCJM, Ibu Lukman dan Sr. Sisilia Siringoringgo, FCJM mengontrak sebuha rumah di jalan kelinci, Kemayoran. Di sana mulai sebuah pelayanan baru untuk orang-orang cacat.
Karya pelayanan ini semakin besar, dimana tempat untuk penampungan untuk orang-orang cacat mulai sesak. Sr. Andre, FCJM pun menghadap MGR. Leo Sukoto untuk berbicara mengenai karya ini. Dan Bapa Uskup pun berjanji akan menyediakan tempat untuk karya pelayanan ini. Di Desa Jati Kramat- Jatibening, dibangunlah tempat untuk pusat rehabilitas orang-orang cacat dan susteran
Yayasan Sinar Pelangi berkembang dari hari ke hari. Bukan hanya yang cacat bibir sumbing yang datang tetapi juga dari berbagai jenis penyakit yang lain. Pembangunan pun dilakukan tahap demi tahap karena semakin banyaknya orang yang datang. Sampai sekarang pasien yang mendapat perawatan sebanyak 300 orang pertahun, yang berasal dari berbagai latar balakang, jenis penyakit, agama dan ras yang berbeda.
Pada tahun 2000an, semakin banyak orang yang datang untuk meminta bantuan. “Meskipun pintu ditutup rapat, tetapi dibukakan juga” ujar Sr. Andre, FCJM dengan penuh semangat. Karya baru pun di buka. Menampung anak-anak yang tidak dikehendaki, cacat, terbuang, broken home. 6 juni 2003 Panti Asuhan, Wisma Pius dibuka dan sampai sekarang jumlah anak yang ada di Wisma Pius berjumlah 37 orang anak. Ditampung pula anak-anak remaja yang hamil diluar nikah, tetapi setelah melahirkan ada yang anaknya dibawa tetapi banyak juga yang ditinggalkan di Wisma Pius.
Untuk masalah ini, pihak Yayasan tidak memberi izin kepada orang-orang yang mau mengadopsi. Tetapi berusaha untuk mencari keluarga mereka dengan membuat riwayat hidup yang jelas, sehingga mengenal keluarganya. “Seorang anak akan bertumbuh dan harus tahu siapa keluarganya, sehingga ia tidak merasa diri sendirian”, ujar Sr. Andre, FCjM dengan jelas.
Ketika ditanya tantangan yang dihadapi dalam melakukan berbagai karya pelayanan, suster yang bernama lengkap Theodora Antonia Maria mengatakan dalam setiap karya pasti banyak tantangan. Tantaangan yang besar berkaitan dengan kehidupan di lingkungan sekitar. Hidup di antara orang muslim yang cukup fundamental. Masyarakat sekitar kebanyakan keras kepala yang tidak mau melihat perbedaan yang ada. Mereka susah dia atur. Masuknya orang katolik tidak mudah. Daerah yang biasa di sebut Mekkah kedua, banyak pesantren yang kurang menghargai perbedaan.
Ada iri hati dan keceburuan social. Ini bukan semata-mata kesalahan mereka, tetapi kita orang katolik juga perlu refleksi diri, bagaimana kehadiran kita berguna atau mengacam kehidupan mereka. Memang terlalu cepat membuat misi di tengah orang-orang mayoritas, dengan menghadirkan berbagai karya misi yang banyak yang dapat menimbulkan kecurigaan mengacam kehidupan dan keyakinan mereka. Tantang dibutuhkan untuk berpikir jernih. Jangan memakai jalan singkat untuk melakukan sesuatu. Kadang lupa ada orang lain disekitarnya.Tidak gampang untuk hidup dalam perbedaan, tetapi mereka membuat kita berpikir jernih.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dibalik semua tantangan itu, ada kekuatan yang membuat karya ini terus berjalan. Kekuatan itu bukan dari diri sendiri tetapi dari yang di atas dan semangat yang diteladankan oleh muder pendiri yaitu muder Klara Fender. Spiritualitas fransiskan –perjuang untuk hidup manusia. Juga Rasul Andreas yang dipanggil oleh Yesus bukan menjadi penjala ikan tetapi menjadi penjala manusia. Di sini kita belajar untuk membangun hidup, dan mengerti bagaimana hidup bersaudara dan satu keluarga. Dia sangat menikmati semuanya ini, tetapi bukan berarti di sini membuat manusia beragama seperti kita, tetapi melihat dan mengerti bagaimana hidup bersaudara. Karena di sini tidak ada perbedaan, tetapi hidup sebagai satu keluarga.
Untuk ke depan dia mengharapkan banyak hal. Pertama, memikirkan regenerasi, supaya karya ini terus berlanjut. Kedua, pembangunan poliklinik, sehingga pelayanan menjadi lebih lengkap. “Biaya ruah sakit sekarang sudah ulai mahal, sehingga diharapkan dari polklinik ini adalah mengurangi penggunaan biaya untuk rumah sakit”, komentarnya. Selain itu, yang ketiga ada impian untuk membangun rumah jompoh. Mengapa harus rumah jompoh? Karena kebutuhan manusia sekarang . Perjalanan manusia dari waktu ke waktu, kadang pada akhirnya mereka merasa diri tidak berguna. Sehingga tempat itu nanti membantu mereka untuk mengisi hari tua. Membuat mereka merasa masih bergunakan dalam hidup. Anak-anak panti mendapat opa-oma, dan opa-oma dapat cucu. ( Bastian Gaguk, OFM dan Thomas Mola, OFM)Sudah dimuat dimajalah GSS edisi November-Desember 2008
Bangsa Kontroversial
Bangsa dilanda bencana! Bangsa Indonesia akhir-akhir ini dihantui oleh berbagai masalah yang cukup serius. Beberapa bulan lalu, pemerintah mengeluarkan PP No.2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Peraturan pemerintah ini mendapat kecaman dari berbagai kalangan terutama lembaga-lembaga peduli lingkungan hidup
Masalah kembali berlanjut, 1 Mei 2008 merupakan hari buruh Internasional. Para buruh melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menentang UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan sistem kontrak. Kedua isu ini menjadi isu nasional yang cukup serius bagi bangsa Indonesia.
Politik Kebijakan
Dalam menentukan kebijakan umum, masyarakat memiliki wakil sebagai pembawa aspirasi mereka. Dengan demikian seharusnya semua kebijakan yang diambil harus benar-benar demi kepentingan masyarakat. Ironisnya, kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini banyak memunculkan masalah. Akibatnya masyarakat melakukan demonstrasi untuk menolak kebijakan para wakil mereka.
Dari dua produk kebijakan di atas, muncullah pertanyaan, mengapa masyarakat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah? Jawaban yang pasti adalah karena pemerintah tidak bijaksana dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Padahal tugas utama Negara seperti tertuang pada alinea keempat UUD 1945 adalah berusaha menyejahterakan masyarakat umum.
Sementara itu, kapitalisme sudah merasuki sistem pemerintahan melalui pemikiran untung rugi dalam menghasilkan satu produk undang-undang. Indikasi permainan kapitalis dalam produk kebijakan pemerintah dapat kita lihat dalam UU No 13 Tahun 2003 yang merupakan bentuk eksploitasi atas buruh yang terlegitimasi lewat peraturan pemerintah (KOMPAS, 30 April 2008). Produk kebijakan ini merupakan usaha kapitalisme global yang melemahkan gerakan buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru dimanfaatkan pengusaha dalam perekrutan tenaga kerja. Penerapan sistem kontrak kerja dan outsourcing dilakukan oleh pengusaha justru merugikan buruh. Selain tidak ada kepastian bekerja, sistem kerja kontrak juga minim perlindungan serta sistem kompensasinya tidak sepadan dengan pekerjaan. Kita bisa ambil contoh lain yang berkaitan dengan masalah buruh yang semakin "mengenaskan". Ketika menghadapi arus neo-liberalisme dengan instrumen pasar bebas dan privatisasi ekonomi, posisi "politis" dan 'sosial" kaum buruh akan semakin tergantung kepada nafsu kekuasaan negara atau modal. Serbuan liberalisasi modal justru akan mematikan perusahaan domestik yang tidak siap bersaing dan pasar kerja domestik ini akan "diserbu" oleh tenaga kerja dengan kompetensi ahli dari negara-negara maju. Demikian akhirnya banyak buruh-buruh di negeri ini yang akan kehilangan lapangan kerja atau tersingkir oleh kompetisi pasar kerja yang dehumanis.
Neo-liberalisme sendiri, akan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi bagi kaum buruh, dengan segelintir pemegang otoritas kuasa atau modal perusahaan MNC atau TNC, yang berkuasa atas kebijakan industrial dan pasar barang produksi. Neo-liberalisme mencipta perangkat "politik", yang menjadikan kaum buruh alat produksi untuk menarik investor. Neoliberalisme menjadikan "negara" (kekuasaan politik) sebagai alat pelindung kekuasaan modal dan pasar, yang memberikan keuntungan progresif bagi para aparaturnya. Neoliberalisme mengabaikan hak subsistentif rakyat (termasuk buruh) yang membuat mereka tidak mendapatkan paket perlindungan sosial dan jaminan hak dasar sebagai pemilik kedaulatan negara.
Realitas sosiologis politik semenjak UU PMA No 1 tahun 1974 dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru dan paket politik perburuhan-industri diterapkan dalam kerangka politik pembangunan/ keamanan, kaum buruh sebagai komponen bangsa yang memiliki hak atas nasib bangsa dilemahkan secara sosial, ekonomi dan politik. Secara sosial-ekonomi, hak kesejahteraan kaum buruh dikerangkeng dalam penjara politik upah murah untuk menarik investor dan modal asing. Secara politik, hak sipil dan politik kaum buruh dipangkas hanya sekadar menjadi massa "mengambang" yang diawasi secara ketat oleh politik opresif negara. Kehidupan kaum buruh dari hari ke hari bak dalam penjara "agung" - panopticon -ideologi pembangunan pemerintahan masa lalu.
Kedua kebijakan di atas merupakan bentuk penyelewengan pemerintah dalam melaksanakan tugas. Kebijakan pemerintah sebenarnya harus berpihak pada masyarakat bukan pada kaum kapitalis. Sebagai sebuah kebijakan umum, produk undang-undang harus membantu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Kebijakan Pemerintah menuju Good Governmance
Kebijakan yang terkait dengan UU No. 13 tahun 2003 dan PP No. 2 Tahun 2008 dinilai sangat kontroversial. Mengapa? Ada beberapa alasan, Pertama, masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan itu menolak karena dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Kedua, masyarakat berusaha melakukan pemberontakan melalui aksi-aksi yang mereka lakukan karena besar dugaan bahwa kebijakan itu hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Ketiga, efek dari dua kebijakan ini erat terkait dengan kehidupan masyarakat terutama yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan mata pencarian mereka.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang memerintah berdasarkan aspirasi dan kehendak masyarakat demi menjamin kepentingan umum. Ada beberapa konsep yang merupakan indikasi syarat penyelenggaraan pemerintah yang baik. Pertama, tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis). Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas dan disertai dengan strategi implementasi yang tepat sasaran. Kedua, tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan). Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat harus ikut serta dalam proses perumusan dan atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Keempat, tata pemerintahan yang bertanggung jawab (Ankuntabel). Instansi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kelima, tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM dan hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.
Keenam, tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus. Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. Ketujuh, tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kedelapan, tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif). Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi, mengakomodasi aspirasi masyarakat dan mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Kesembilan, tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif. Pemerintah pusat dan daerah harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya secara efisien dan efektif. Kesepuluh, tata pemerintahan yang terdesentralisasi. Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan mensukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
Ini merupakan potret bangsa kita sekarang. Potret yang penuh kontroversial. Apakah situasi seperti ini akan terus berlanjut? Kita bisa memastikan bahwa kita selalu memiliki peluang dengan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa mempedulikan kepentingan masyarakat. Ini hanya akan terjadi kalau pemerintah memiliki hati untuk rakyatnya. ( Bastian Gaguk, OFM)
Sudah dimuat di Majalah Gita Sang Surya edisi Mei-Juni 2008
Masalah kembali berlanjut, 1 Mei 2008 merupakan hari buruh Internasional. Para buruh melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menentang UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan sistem kontrak. Kedua isu ini menjadi isu nasional yang cukup serius bagi bangsa Indonesia.
Politik Kebijakan
Dalam menentukan kebijakan umum, masyarakat memiliki wakil sebagai pembawa aspirasi mereka. Dengan demikian seharusnya semua kebijakan yang diambil harus benar-benar demi kepentingan masyarakat. Ironisnya, kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini banyak memunculkan masalah. Akibatnya masyarakat melakukan demonstrasi untuk menolak kebijakan para wakil mereka.
Dari dua produk kebijakan di atas, muncullah pertanyaan, mengapa masyarakat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah? Jawaban yang pasti adalah karena pemerintah tidak bijaksana dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Padahal tugas utama Negara seperti tertuang pada alinea keempat UUD 1945 adalah berusaha menyejahterakan masyarakat umum.
Sementara itu, kapitalisme sudah merasuki sistem pemerintahan melalui pemikiran untung rugi dalam menghasilkan satu produk undang-undang. Indikasi permainan kapitalis dalam produk kebijakan pemerintah dapat kita lihat dalam UU No 13 Tahun 2003 yang merupakan bentuk eksploitasi atas buruh yang terlegitimasi lewat peraturan pemerintah (KOMPAS, 30 April 2008). Produk kebijakan ini merupakan usaha kapitalisme global yang melemahkan gerakan buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru dimanfaatkan pengusaha dalam perekrutan tenaga kerja. Penerapan sistem kontrak kerja dan outsourcing dilakukan oleh pengusaha justru merugikan buruh. Selain tidak ada kepastian bekerja, sistem kerja kontrak juga minim perlindungan serta sistem kompensasinya tidak sepadan dengan pekerjaan. Kita bisa ambil contoh lain yang berkaitan dengan masalah buruh yang semakin "mengenaskan". Ketika menghadapi arus neo-liberalisme dengan instrumen pasar bebas dan privatisasi ekonomi, posisi "politis" dan 'sosial" kaum buruh akan semakin tergantung kepada nafsu kekuasaan negara atau modal. Serbuan liberalisasi modal justru akan mematikan perusahaan domestik yang tidak siap bersaing dan pasar kerja domestik ini akan "diserbu" oleh tenaga kerja dengan kompetensi ahli dari negara-negara maju. Demikian akhirnya banyak buruh-buruh di negeri ini yang akan kehilangan lapangan kerja atau tersingkir oleh kompetisi pasar kerja yang dehumanis.
Neo-liberalisme sendiri, akan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi bagi kaum buruh, dengan segelintir pemegang otoritas kuasa atau modal perusahaan MNC atau TNC, yang berkuasa atas kebijakan industrial dan pasar barang produksi. Neo-liberalisme mencipta perangkat "politik", yang menjadikan kaum buruh alat produksi untuk menarik investor. Neoliberalisme menjadikan "negara" (kekuasaan politik) sebagai alat pelindung kekuasaan modal dan pasar, yang memberikan keuntungan progresif bagi para aparaturnya. Neoliberalisme mengabaikan hak subsistentif rakyat (termasuk buruh) yang membuat mereka tidak mendapatkan paket perlindungan sosial dan jaminan hak dasar sebagai pemilik kedaulatan negara.
Realitas sosiologis politik semenjak UU PMA No 1 tahun 1974 dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru dan paket politik perburuhan-industri diterapkan dalam kerangka politik pembangunan/ keamanan, kaum buruh sebagai komponen bangsa yang memiliki hak atas nasib bangsa dilemahkan secara sosial, ekonomi dan politik. Secara sosial-ekonomi, hak kesejahteraan kaum buruh dikerangkeng dalam penjara politik upah murah untuk menarik investor dan modal asing. Secara politik, hak sipil dan politik kaum buruh dipangkas hanya sekadar menjadi massa "mengambang" yang diawasi secara ketat oleh politik opresif negara. Kehidupan kaum buruh dari hari ke hari bak dalam penjara "agung" - panopticon -ideologi pembangunan pemerintahan masa lalu.
Kedua kebijakan di atas merupakan bentuk penyelewengan pemerintah dalam melaksanakan tugas. Kebijakan pemerintah sebenarnya harus berpihak pada masyarakat bukan pada kaum kapitalis. Sebagai sebuah kebijakan umum, produk undang-undang harus membantu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Kebijakan Pemerintah menuju Good Governmance
Kebijakan yang terkait dengan UU No. 13 tahun 2003 dan PP No. 2 Tahun 2008 dinilai sangat kontroversial. Mengapa? Ada beberapa alasan, Pertama, masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan itu menolak karena dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Kedua, masyarakat berusaha melakukan pemberontakan melalui aksi-aksi yang mereka lakukan karena besar dugaan bahwa kebijakan itu hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Ketiga, efek dari dua kebijakan ini erat terkait dengan kehidupan masyarakat terutama yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan mata pencarian mereka.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang memerintah berdasarkan aspirasi dan kehendak masyarakat demi menjamin kepentingan umum. Ada beberapa konsep yang merupakan indikasi syarat penyelenggaraan pemerintah yang baik. Pertama, tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis). Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas dan disertai dengan strategi implementasi yang tepat sasaran. Kedua, tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan). Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat harus ikut serta dalam proses perumusan dan atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Keempat, tata pemerintahan yang bertanggung jawab (Ankuntabel). Instansi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kelima, tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM dan hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.
Keenam, tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus. Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. Ketujuh, tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kedelapan, tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif). Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi, mengakomodasi aspirasi masyarakat dan mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Kesembilan, tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif. Pemerintah pusat dan daerah harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya secara efisien dan efektif. Kesepuluh, tata pemerintahan yang terdesentralisasi. Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan mensukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
Ini merupakan potret bangsa kita sekarang. Potret yang penuh kontroversial. Apakah situasi seperti ini akan terus berlanjut? Kita bisa memastikan bahwa kita selalu memiliki peluang dengan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa mempedulikan kepentingan masyarakat. Ini hanya akan terjadi kalau pemerintah memiliki hati untuk rakyatnya. ( Bastian Gaguk, OFM)
Sudah dimuat di Majalah Gita Sang Surya edisi Mei-Juni 2008
Ah…..Tuhan
‘Tidak……………..aku tidak tega dengan semuannya ini, Tuhan mengapa Engkau begitu kejam terhadapku. Biarkan aku yang pergi bukan mereka. Aku benci….teganya Engkau memanggil dia’. Aku terlarut dalam pikiranku teringat peristiwa yang begitu penting dalam kehidupan anak semata wayangku. Sembari teringat kembali kenangan indah ketika kami masih bersama dalam keluarga.
Almarum suamiku seorang tukang becak yang penghasilannya tiap hari cukup untuk kehidupan kami bertiga. Kehidupan keluarga kami cukup harmonis meskipun hidup dalam kesederhanaan. Namun, ternyata keharmonisan itu, tidak lama kami nikmati bersama ketika suamiku meninnggal karena kecelakaan saat dia pulang sore itu. Peristiwa yang nas…dan memilukan. Becak suamiku ditambrak mobil tronton besar. Dia meningggal dan becaknnya hancur.
Aku sangat terpukul dengan peristiwa itu…..seakaan dunia runtuh. Kehidupanku semakin hancur. Aku harus memelihara anak semata wayangku. Jalan hidupku sangat berubah selepas kepergian suamiku. Aku menjadi bapak sekaligus ibu bagi anak yang tersayang. “ Bu, aku ke sekolah dulu ya…… “,ujar Yanto sebelum pergi sekolah. Aku terharu dan menangis ketika setiap hari dia berpamitan denganku. Dalam hati aku selalu berdoa supaya kelak Yanto menjadi anak yang berguna dan sukses.
Selepas kepergian almarum bapaknya, tumpuhan ekonomi beralih ke pundakku. Aku melanjutkan pekerjaan suami sebagai tukang becak. Setiap kali aku mendayung sepeda, dalam benakku ada keinginan untuk membahagiakan Yanto. Penghasilanku setiap hari cukup untuk makan dan sedikit ditabung untuk pendidikan Yanto. Hari-hari hidupku bersimpa keringat mengantar ibu-ibu yang pulang belanja dari pasar.
Kadang aku iri dengan mereka, yang setiap hari membeli keperluan harian untuk keluarganya. Dalam hati aku berpikir anak dan suami mereka pasti bahagia. Dan hal itu yang membuat aku menangis. Aku merasa bersalah karena aku tidak membahagiakan Yanto.
“ Bu, ini ongkosnya” ujar ibu Yani membuatku kaget. Aku membuka plastik untuk mengembalikaan uang 5000perak.
“ Tidak usah bu, biar kembaliannnya untuk ibu aja”, lanjutnya.
“Makasih, bu” balaskku sambil memberikan senyuman termanis untuknya. Ibu Yani adalah langggananku. Hampir tiap hari dia menggunaakan becakku untuk membawa belanjaannya dari pasar. Dia sangat baik. Dia selalu tidak mau menerima uang kembalian, bahkan sesekali memberi ongkos lebih.
Ketika yanto sudah duduk di kelas II SMA Negeri 34, aku mulai kebingungan karena biaya sekolahnya semakin tinggi dan tenagaku semakin lemah untuk mendayung pedal becak. Rupanya umurku sudah semakin tua, tenagaku semakin lemah. Aku hanya mampu narik becak sampai tengah hari selajutnnya aku istirahat di rumah. Tentunya situasi seperti ini mempenggaruhi pendapatanku tiap hari. Rupanya yanto juga merasakan hal ini.
“ Bu, aku lebih baik ga usa sekolah biar membantu ibu” ujarnya.
“ Tidak nak, kamu harus sekolah, kamu harus belajar supaya nanti masa depanmu lebih baik dari almarum bapamu dan aku”, balasku sambil mengusap rambutnya. Sebenarnya dalam hari aku juga senang jika dia membantuku untuk bekerja menghidupi keluarga, tetapi aku masih merasa kuat untuk bekerja dan dia harus tetap sekolah.
Rupannya dia merasakan penderitan dan kepedihan yang aku alami.
Dia memutuskan untuk bekerja setelah pulang sekolah. Dan ibu Yanilah yang membantu keluarga dengan memberikan Yanto pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah. Dia bekerja dari tengah hari sampai sebelum magrib. Sedang aku seperti biasa bekerja dari pagi sampai tengah hari. Ternyata pendapatan Yanto cukup membantu dan menambah pendapatan harian kami.
***
Lama hidup bersama Yanto, membuat aku semakin menyadari bahwa dia sungguh sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga. Selepas dari sekolah menengah umum, Yanto harus membantu saya untuk menghidupi keluarga. Bulan-bulan pertama pekerjaanku semakin ringan karena sudah bisa bekerja sepanjang hari. Kehidupan keluarga kami pun semakin membaik. Aku tidak lagi menarik becak karena tumpuhan hidup keluarga sudah ditangannya.
Estela hampir setahun kami bersama, kepedihan akhirnya mulai melanda hidupku.
“Bu, aku ke Jakarta ya…disana ada pekerjaan yang lebih bagus, aku pasti akan mendapat uang yang lebih banyak lagi” kata Yanto sore itu. Aku hanya diam mendengar permintaan anakku
“ Tapi, nak tega nian kau meninggalkan ibu yng sudah tua ini sendirian di rumah” balasku dengan deraian air mata yang berlahan membasai pipiku.
“Tapi bu, aku merantau untuk membahagiakan ibu, biar nanti setiap bulan kukirimkan surat untuk ibu untuk menepis segala kerinduan”, balasnya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena kulihat ia begitu bersemangat untuk pergi merantau. Di memang anak yan memiliki jiwa petualangan. Dia diwarisi oleh almarum ayahnya semangat untuk mencari yang baru dalam hidup. Aku tidak tega ditinggalkan lagi. Dulu suamiku pergi sekarang anakku pergi. Ini merupakan rasa kehilangan kedua dalam hidupku. Tuhan tega nian engkau mentakdirkan ini semua pada diriku.
***
‘Bu hanya ini yang dapat kukirimkan saat ini, semoga dapat membantu ibu. Tolong jaga kesehatan ya dan jangan lupa doakan saya supaya sukses dalam pekerjaan”. Ini merupakan penggalan surat Yanto yang pertama. Dia mengirimkan sedikit uang. Aku amat terharu dan tak terasa deraian airmata membasai pipiku. Aku bangga dengan anak semata wayangku itu.
Tak terasa sepuluh tahun telah berlalu. Usiaku semakin tua. Dan sudah beberapa tahun Yanto tidak memberikan kabar. Aku sangat merindukannya. Setiap hari aku selalu mengharapkan menerima surat darinya. Sehari-hari aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku, tenagaku tidak kuat lagi untuk mendayun becak yang biasa kulakukan hanya mencuci pakaian sibuk tetangga.
Dalam kesepian dan kerinduan yang mendalam, aku dikagetkan dengan kedatangan sebuah surat yang tidak lain dari Yanto. Dia memintaku datang ke Jakarta untuk menghadiri sebuah acara besar dalam hidupnya. Aku sangat senang karena aku segera mendapatkan cucu dan mantu. Berhari-hari lamanya aku mempersiapan diri untuk ke Jakarta.
***
“ Bu maafkan aku, mungkin ibu kaget dengan pilihan hidupku ini. Maafkan aku kalau tidak bisa menjadi anak yang seperti ibu harapkan. Semoga ibu menerima keputusanku ini” ujar Yanto sambil berlutut dihadapkanku. Aku tercengang karena yanto mengambil keputusan seperti ini. Aku menangis sepertinya menolak keputusan yang diambil anakku. Tuhan mengapa Engkau tega mengambil orang yang aku cintai? Gumanku dalam hati. Aku menyadari ini mungkin memang jalan hidupnya. Aku tidak biasa memaksanya untuk mengambil keputusan yang lain.
“Nak meskipun ibu tidak rela dengan keputusanmu, tetapi ibu tidak bisa menolak rencana Tuhan yang begitu besar terhadapamu. Ibu hanya bisa berdoa semoga engkau menjadi gembala yang baik yang bisa membawa doba-domba kepada-Nya.( Bastian Gaguk, OFM)
Udah dimuat di salah majalah bagian sastra.
Almarum suamiku seorang tukang becak yang penghasilannya tiap hari cukup untuk kehidupan kami bertiga. Kehidupan keluarga kami cukup harmonis meskipun hidup dalam kesederhanaan. Namun, ternyata keharmonisan itu, tidak lama kami nikmati bersama ketika suamiku meninnggal karena kecelakaan saat dia pulang sore itu. Peristiwa yang nas…dan memilukan. Becak suamiku ditambrak mobil tronton besar. Dia meningggal dan becaknnya hancur.
Aku sangat terpukul dengan peristiwa itu…..seakaan dunia runtuh. Kehidupanku semakin hancur. Aku harus memelihara anak semata wayangku. Jalan hidupku sangat berubah selepas kepergian suamiku. Aku menjadi bapak sekaligus ibu bagi anak yang tersayang. “ Bu, aku ke sekolah dulu ya…… “,ujar Yanto sebelum pergi sekolah. Aku terharu dan menangis ketika setiap hari dia berpamitan denganku. Dalam hati aku selalu berdoa supaya kelak Yanto menjadi anak yang berguna dan sukses.
Selepas kepergian almarum bapaknya, tumpuhan ekonomi beralih ke pundakku. Aku melanjutkan pekerjaan suami sebagai tukang becak. Setiap kali aku mendayung sepeda, dalam benakku ada keinginan untuk membahagiakan Yanto. Penghasilanku setiap hari cukup untuk makan dan sedikit ditabung untuk pendidikan Yanto. Hari-hari hidupku bersimpa keringat mengantar ibu-ibu yang pulang belanja dari pasar.
Kadang aku iri dengan mereka, yang setiap hari membeli keperluan harian untuk keluarganya. Dalam hati aku berpikir anak dan suami mereka pasti bahagia. Dan hal itu yang membuat aku menangis. Aku merasa bersalah karena aku tidak membahagiakan Yanto.
“ Bu, ini ongkosnya” ujar ibu Yani membuatku kaget. Aku membuka plastik untuk mengembalikaan uang 5000perak.
“ Tidak usah bu, biar kembaliannnya untuk ibu aja”, lanjutnya.
“Makasih, bu” balaskku sambil memberikan senyuman termanis untuknya. Ibu Yani adalah langggananku. Hampir tiap hari dia menggunaakan becakku untuk membawa belanjaannya dari pasar. Dia sangat baik. Dia selalu tidak mau menerima uang kembalian, bahkan sesekali memberi ongkos lebih.
Ketika yanto sudah duduk di kelas II SMA Negeri 34, aku mulai kebingungan karena biaya sekolahnya semakin tinggi dan tenagaku semakin lemah untuk mendayung pedal becak. Rupanya umurku sudah semakin tua, tenagaku semakin lemah. Aku hanya mampu narik becak sampai tengah hari selajutnnya aku istirahat di rumah. Tentunya situasi seperti ini mempenggaruhi pendapatanku tiap hari. Rupanya yanto juga merasakan hal ini.
“ Bu, aku lebih baik ga usa sekolah biar membantu ibu” ujarnya.
“ Tidak nak, kamu harus sekolah, kamu harus belajar supaya nanti masa depanmu lebih baik dari almarum bapamu dan aku”, balasku sambil mengusap rambutnya. Sebenarnya dalam hari aku juga senang jika dia membantuku untuk bekerja menghidupi keluarga, tetapi aku masih merasa kuat untuk bekerja dan dia harus tetap sekolah.
Rupannya dia merasakan penderitan dan kepedihan yang aku alami.
Dia memutuskan untuk bekerja setelah pulang sekolah. Dan ibu Yanilah yang membantu keluarga dengan memberikan Yanto pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah. Dia bekerja dari tengah hari sampai sebelum magrib. Sedang aku seperti biasa bekerja dari pagi sampai tengah hari. Ternyata pendapatan Yanto cukup membantu dan menambah pendapatan harian kami.
***
Lama hidup bersama Yanto, membuat aku semakin menyadari bahwa dia sungguh sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga. Selepas dari sekolah menengah umum, Yanto harus membantu saya untuk menghidupi keluarga. Bulan-bulan pertama pekerjaanku semakin ringan karena sudah bisa bekerja sepanjang hari. Kehidupan keluarga kami pun semakin membaik. Aku tidak lagi menarik becak karena tumpuhan hidup keluarga sudah ditangannya.
Estela hampir setahun kami bersama, kepedihan akhirnya mulai melanda hidupku.
“Bu, aku ke Jakarta ya…disana ada pekerjaan yang lebih bagus, aku pasti akan mendapat uang yang lebih banyak lagi” kata Yanto sore itu. Aku hanya diam mendengar permintaan anakku
“ Tapi, nak tega nian kau meninggalkan ibu yng sudah tua ini sendirian di rumah” balasku dengan deraian air mata yang berlahan membasai pipiku.
“Tapi bu, aku merantau untuk membahagiakan ibu, biar nanti setiap bulan kukirimkan surat untuk ibu untuk menepis segala kerinduan”, balasnya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena kulihat ia begitu bersemangat untuk pergi merantau. Di memang anak yan memiliki jiwa petualangan. Dia diwarisi oleh almarum ayahnya semangat untuk mencari yang baru dalam hidup. Aku tidak tega ditinggalkan lagi. Dulu suamiku pergi sekarang anakku pergi. Ini merupakan rasa kehilangan kedua dalam hidupku. Tuhan tega nian engkau mentakdirkan ini semua pada diriku.
***
‘Bu hanya ini yang dapat kukirimkan saat ini, semoga dapat membantu ibu. Tolong jaga kesehatan ya dan jangan lupa doakan saya supaya sukses dalam pekerjaan”. Ini merupakan penggalan surat Yanto yang pertama. Dia mengirimkan sedikit uang. Aku amat terharu dan tak terasa deraian airmata membasai pipiku. Aku bangga dengan anak semata wayangku itu.
Tak terasa sepuluh tahun telah berlalu. Usiaku semakin tua. Dan sudah beberapa tahun Yanto tidak memberikan kabar. Aku sangat merindukannya. Setiap hari aku selalu mengharapkan menerima surat darinya. Sehari-hari aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku, tenagaku tidak kuat lagi untuk mendayun becak yang biasa kulakukan hanya mencuci pakaian sibuk tetangga.
Dalam kesepian dan kerinduan yang mendalam, aku dikagetkan dengan kedatangan sebuah surat yang tidak lain dari Yanto. Dia memintaku datang ke Jakarta untuk menghadiri sebuah acara besar dalam hidupnya. Aku sangat senang karena aku segera mendapatkan cucu dan mantu. Berhari-hari lamanya aku mempersiapan diri untuk ke Jakarta.
***
“ Bu maafkan aku, mungkin ibu kaget dengan pilihan hidupku ini. Maafkan aku kalau tidak bisa menjadi anak yang seperti ibu harapkan. Semoga ibu menerima keputusanku ini” ujar Yanto sambil berlutut dihadapkanku. Aku tercengang karena yanto mengambil keputusan seperti ini. Aku menangis sepertinya menolak keputusan yang diambil anakku. Tuhan mengapa Engkau tega mengambil orang yang aku cintai? Gumanku dalam hati. Aku menyadari ini mungkin memang jalan hidupnya. Aku tidak biasa memaksanya untuk mengambil keputusan yang lain.
“Nak meskipun ibu tidak rela dengan keputusanmu, tetapi ibu tidak bisa menolak rencana Tuhan yang begitu besar terhadapamu. Ibu hanya bisa berdoa semoga engkau menjadi gembala yang baik yang bisa membawa doba-domba kepada-Nya.( Bastian Gaguk, OFM)
Udah dimuat di salah majalah bagian sastra.
Langganan:
Komentar (Atom)