‘Tidak……………..aku tidak tega dengan semuannya ini, Tuhan mengapa Engkau begitu kejam terhadapku. Biarkan aku yang pergi bukan mereka. Aku benci….teganya Engkau memanggil dia’. Aku terlarut dalam pikiranku teringat peristiwa yang begitu penting dalam kehidupan anak semata wayangku. Sembari teringat kembali kenangan indah ketika kami masih bersama dalam keluarga.
Almarum suamiku seorang tukang becak yang penghasilannya tiap hari cukup untuk kehidupan kami bertiga. Kehidupan keluarga kami cukup harmonis meskipun hidup dalam kesederhanaan. Namun, ternyata keharmonisan itu, tidak lama kami nikmati bersama ketika suamiku meninnggal karena kecelakaan saat dia pulang sore itu. Peristiwa yang nas…dan memilukan. Becak suamiku ditambrak mobil tronton besar. Dia meningggal dan becaknnya hancur.
Aku sangat terpukul dengan peristiwa itu…..seakaan dunia runtuh. Kehidupanku semakin hancur. Aku harus memelihara anak semata wayangku. Jalan hidupku sangat berubah selepas kepergian suamiku. Aku menjadi bapak sekaligus ibu bagi anak yang tersayang. “ Bu, aku ke sekolah dulu ya…… “,ujar Yanto sebelum pergi sekolah. Aku terharu dan menangis ketika setiap hari dia berpamitan denganku. Dalam hati aku selalu berdoa supaya kelak Yanto menjadi anak yang berguna dan sukses.
Selepas kepergian almarum bapaknya, tumpuhan ekonomi beralih ke pundakku. Aku melanjutkan pekerjaan suami sebagai tukang becak. Setiap kali aku mendayung sepeda, dalam benakku ada keinginan untuk membahagiakan Yanto. Penghasilanku setiap hari cukup untuk makan dan sedikit ditabung untuk pendidikan Yanto. Hari-hari hidupku bersimpa keringat mengantar ibu-ibu yang pulang belanja dari pasar.
Kadang aku iri dengan mereka, yang setiap hari membeli keperluan harian untuk keluarganya. Dalam hati aku berpikir anak dan suami mereka pasti bahagia. Dan hal itu yang membuat aku menangis. Aku merasa bersalah karena aku tidak membahagiakan Yanto.
“ Bu, ini ongkosnya” ujar ibu Yani membuatku kaget. Aku membuka plastik untuk mengembalikaan uang 5000perak.
“ Tidak usah bu, biar kembaliannnya untuk ibu aja”, lanjutnya.
“Makasih, bu” balaskku sambil memberikan senyuman termanis untuknya. Ibu Yani adalah langggananku. Hampir tiap hari dia menggunaakan becakku untuk membawa belanjaannya dari pasar. Dia sangat baik. Dia selalu tidak mau menerima uang kembalian, bahkan sesekali memberi ongkos lebih.
Ketika yanto sudah duduk di kelas II SMA Negeri 34, aku mulai kebingungan karena biaya sekolahnya semakin tinggi dan tenagaku semakin lemah untuk mendayung pedal becak. Rupanya umurku sudah semakin tua, tenagaku semakin lemah. Aku hanya mampu narik becak sampai tengah hari selajutnnya aku istirahat di rumah. Tentunya situasi seperti ini mempenggaruhi pendapatanku tiap hari. Rupanya yanto juga merasakan hal ini.
“ Bu, aku lebih baik ga usa sekolah biar membantu ibu” ujarnya.
“ Tidak nak, kamu harus sekolah, kamu harus belajar supaya nanti masa depanmu lebih baik dari almarum bapamu dan aku”, balasku sambil mengusap rambutnya. Sebenarnya dalam hari aku juga senang jika dia membantuku untuk bekerja menghidupi keluarga, tetapi aku masih merasa kuat untuk bekerja dan dia harus tetap sekolah.
Rupannya dia merasakan penderitan dan kepedihan yang aku alami.
Dia memutuskan untuk bekerja setelah pulang sekolah. Dan ibu Yanilah yang membantu keluarga dengan memberikan Yanto pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah. Dia bekerja dari tengah hari sampai sebelum magrib. Sedang aku seperti biasa bekerja dari pagi sampai tengah hari. Ternyata pendapatan Yanto cukup membantu dan menambah pendapatan harian kami.
***
Lama hidup bersama Yanto, membuat aku semakin menyadari bahwa dia sungguh sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga. Selepas dari sekolah menengah umum, Yanto harus membantu saya untuk menghidupi keluarga. Bulan-bulan pertama pekerjaanku semakin ringan karena sudah bisa bekerja sepanjang hari. Kehidupan keluarga kami pun semakin membaik. Aku tidak lagi menarik becak karena tumpuhan hidup keluarga sudah ditangannya.
Estela hampir setahun kami bersama, kepedihan akhirnya mulai melanda hidupku.
“Bu, aku ke Jakarta ya…disana ada pekerjaan yang lebih bagus, aku pasti akan mendapat uang yang lebih banyak lagi” kata Yanto sore itu. Aku hanya diam mendengar permintaan anakku
“ Tapi, nak tega nian kau meninggalkan ibu yng sudah tua ini sendirian di rumah” balasku dengan deraian air mata yang berlahan membasai pipiku.
“Tapi bu, aku merantau untuk membahagiakan ibu, biar nanti setiap bulan kukirimkan surat untuk ibu untuk menepis segala kerinduan”, balasnya.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena kulihat ia begitu bersemangat untuk pergi merantau. Di memang anak yan memiliki jiwa petualangan. Dia diwarisi oleh almarum ayahnya semangat untuk mencari yang baru dalam hidup. Aku tidak tega ditinggalkan lagi. Dulu suamiku pergi sekarang anakku pergi. Ini merupakan rasa kehilangan kedua dalam hidupku. Tuhan tega nian engkau mentakdirkan ini semua pada diriku.
***
‘Bu hanya ini yang dapat kukirimkan saat ini, semoga dapat membantu ibu. Tolong jaga kesehatan ya dan jangan lupa doakan saya supaya sukses dalam pekerjaan”. Ini merupakan penggalan surat Yanto yang pertama. Dia mengirimkan sedikit uang. Aku amat terharu dan tak terasa deraian airmata membasai pipiku. Aku bangga dengan anak semata wayangku itu.
Tak terasa sepuluh tahun telah berlalu. Usiaku semakin tua. Dan sudah beberapa tahun Yanto tidak memberikan kabar. Aku sangat merindukannya. Setiap hari aku selalu mengharapkan menerima surat darinya. Sehari-hari aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku, tenagaku tidak kuat lagi untuk mendayun becak yang biasa kulakukan hanya mencuci pakaian sibuk tetangga.
Dalam kesepian dan kerinduan yang mendalam, aku dikagetkan dengan kedatangan sebuah surat yang tidak lain dari Yanto. Dia memintaku datang ke Jakarta untuk menghadiri sebuah acara besar dalam hidupnya. Aku sangat senang karena aku segera mendapatkan cucu dan mantu. Berhari-hari lamanya aku mempersiapan diri untuk ke Jakarta.
***
“ Bu maafkan aku, mungkin ibu kaget dengan pilihan hidupku ini. Maafkan aku kalau tidak bisa menjadi anak yang seperti ibu harapkan. Semoga ibu menerima keputusanku ini” ujar Yanto sambil berlutut dihadapkanku. Aku tercengang karena yanto mengambil keputusan seperti ini. Aku menangis sepertinya menolak keputusan yang diambil anakku. Tuhan mengapa Engkau tega mengambil orang yang aku cintai? Gumanku dalam hati. Aku menyadari ini mungkin memang jalan hidupnya. Aku tidak biasa memaksanya untuk mengambil keputusan yang lain.
“Nak meskipun ibu tidak rela dengan keputusanmu, tetapi ibu tidak bisa menolak rencana Tuhan yang begitu besar terhadapamu. Ibu hanya bisa berdoa semoga engkau menjadi gembala yang baik yang bisa membawa doba-domba kepada-Nya.( Bastian Gaguk, OFM)
Udah dimuat di salah majalah bagian sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar