Custom Search

Jumat, 16 Januari 2009

Bangsa Kontroversial

Bangsa dilanda bencana! Bangsa Indonesia akhir-akhir ini dihantui oleh berbagai masalah yang cukup serius. Beberapa bulan lalu, pemerintah mengeluarkan PP No.2 Tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Peraturan pemerintah ini mendapat kecaman dari berbagai kalangan terutama lembaga-lembaga peduli lingkungan hidup
Masalah kembali berlanjut, 1 Mei 2008 merupakan hari buruh Internasional. Para buruh melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menentang UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan sistem kontrak. Kedua isu ini menjadi isu nasional yang cukup serius bagi bangsa Indonesia.

Politik Kebijakan
Dalam menentukan kebijakan umum, masyarakat memiliki wakil sebagai pembawa aspirasi mereka. Dengan demikian seharusnya semua kebijakan yang diambil harus benar-benar demi kepentingan masyarakat. Ironisnya, kebijakan-kebijakan yang diambil selama ini banyak memunculkan masalah. Akibatnya masyarakat melakukan demonstrasi untuk menolak kebijakan para wakil mereka.
Dari dua produk kebijakan di atas, muncullah pertanyaan, mengapa masyarakat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah? Jawaban yang pasti adalah karena pemerintah tidak bijaksana dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Padahal tugas utama Negara seperti tertuang pada alinea keempat UUD 1945 adalah berusaha menyejahterakan masyarakat umum.
Sementara itu, kapitalisme sudah merasuki sistem pemerintahan melalui pemikiran untung rugi dalam menghasilkan satu produk undang-undang. Indikasi permainan kapitalis dalam produk kebijakan pemerintah dapat kita lihat dalam UU No 13 Tahun 2003 yang merupakan bentuk eksploitasi atas buruh yang terlegitimasi lewat peraturan pemerintah (KOMPAS, 30 April 2008). Produk kebijakan ini merupakan usaha kapitalisme global yang melemahkan gerakan buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru dimanfaatkan pengusaha dalam perekrutan tenaga kerja. Penerapan sistem kontrak kerja dan outsourcing dilakukan oleh pengusaha justru merugikan buruh. Selain tidak ada kepastian bekerja, sistem kerja kontrak juga minim perlindungan serta sistem kompensasinya tidak sepadan dengan pekerjaan. Kita bisa ambil contoh lain yang berkaitan dengan masalah buruh yang semakin "mengenaskan". Ketika menghadapi arus neo-liberalisme dengan instrumen pasar bebas dan privatisasi ekonomi, posisi "politis" dan 'sosial" kaum buruh akan semakin tergantung kepada nafsu kekuasaan negara atau modal. Serbuan liberalisasi modal justru akan mematikan perusahaan domestik yang tidak siap bersaing dan pasar kerja domestik ini akan "diserbu" oleh tenaga kerja dengan kompetensi ahli dari negara-negara maju. Demikian akhirnya banyak buruh-buruh di negeri ini yang akan kehilangan lapangan kerja atau tersingkir oleh kompetisi pasar kerja yang dehumanis.
Neo-liberalisme sendiri, akan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi bagi kaum buruh, dengan segelintir pemegang otoritas kuasa atau modal perusahaan MNC atau TNC, yang berkuasa atas kebijakan industrial dan pasar barang produksi. Neo-liberalisme mencipta perangkat "politik", yang menjadikan kaum buruh alat produksi untuk menarik investor. Neoliberalisme menjadikan "negara" (kekuasaan politik) sebagai alat pelindung kekuasaan modal dan pasar, yang memberikan keuntungan progresif bagi para aparaturnya. Neoliberalisme mengabaikan hak subsistentif rakyat (termasuk buruh) yang membuat mereka tidak mendapatkan paket perlindungan sosial dan jaminan hak dasar sebagai pemilik kedaulatan negara.
Realitas sosiologis politik semenjak UU PMA No 1 tahun 1974 dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru dan paket politik perburuhan-industri diterapkan dalam kerangka politik pembangunan/ keamanan, kaum buruh sebagai komponen bangsa yang memiliki hak atas nasib bangsa dilemahkan secara sosial, ekonomi dan politik. Secara sosial-ekonomi, hak kesejahteraan kaum buruh dikerangkeng dalam penjara politik upah murah untuk menarik investor dan modal asing. Secara politik, hak sipil dan politik kaum buruh dipangkas hanya sekadar menjadi massa "mengambang" yang diawasi secara ketat oleh politik opresif negara. Kehidupan kaum buruh dari hari ke hari bak dalam penjara "agung" - panopticon -ideologi pembangunan pemerintahan masa lalu.
Kedua kebijakan di atas merupakan bentuk penyelewengan pemerintah dalam melaksanakan tugas. Kebijakan pemerintah sebenarnya harus berpihak pada masyarakat bukan pada kaum kapitalis. Sebagai sebuah kebijakan umum, produk undang-undang harus membantu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

Kebijakan Pemerintah menuju Good Governmance
Kebijakan yang terkait dengan UU No. 13 tahun 2003 dan PP No. 2 Tahun 2008 dinilai sangat kontroversial. Mengapa? Ada beberapa alasan, Pertama, masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan itu menolak karena dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Kedua, masyarakat berusaha melakukan pemberontakan melalui aksi-aksi yang mereka lakukan karena besar dugaan bahwa kebijakan itu hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Ketiga, efek dari dua kebijakan ini erat terkait dengan kehidupan masyarakat terutama yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan mata pencarian mereka.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang memerintah berdasarkan aspirasi dan kehendak masyarakat demi menjamin kepentingan umum. Ada beberapa konsep yang merupakan indikasi syarat penyelenggaraan pemerintah yang baik. Pertama, tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis). Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas dan disertai dengan strategi implementasi yang tepat sasaran. Kedua, tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan). Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat. Masyarakat harus ikut serta dalam proses perumusan dan atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Keempat, tata pemerintahan yang bertanggung jawab (Ankuntabel). Instansi pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kelima, tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum. Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM dan hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.
Keenam, tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus. Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. Ketujuh, tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi. Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kedelapan, tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif). Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi, mengakomodasi aspirasi masyarakat dan mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Kesembilan, tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif. Pemerintah pusat dan daerah harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya secara efisien dan efektif. Kesepuluh, tata pemerintahan yang terdesentralisasi. Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan mensukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
Ini merupakan potret bangsa kita sekarang. Potret yang penuh kontroversial. Apakah situasi seperti ini akan terus berlanjut? Kita bisa memastikan bahwa kita selalu memiliki peluang dengan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa mempedulikan kepentingan masyarakat. Ini hanya akan terjadi kalau pemerintah memiliki hati untuk rakyatnya. ( Bastian Gaguk, OFM)
Sudah dimuat di Majalah Gita Sang Surya edisi Mei-Juni 2008

Tidak ada komentar: