I. Pengantar
No peace among the nations
Without peace among religions.
No peace among religions
Without dialogue between the religions
No peace among the nations
Without investigation of the foundation of the religions.
(Hans Kung).
Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog Liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen. Secara sosiologi kita sekarang ini sudah berada dalam lingkungan globalisme dan pluralisme etnis dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima. Kenyataan antropologis inilah barangkali yang ikut mengatar lahirnya sebuah klausal dalam konsili Vatikan II bahwa di luar tradisi dan iman kristiani juga terdapat keselamatan karena kasih Tuhan mengatasi batas-batas doktrin teologis .
Mengingat pluralitas agama di Indonesia adalah fakta historis-sosiologis serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, maka salah satu agenda penting yang muncul adalah bagaimana usaha kita supaya pluralistas menjadi aset bangsa? Dan hal ini jangan sampai malah menjadi sumber konflik dan friksi sosial-politis yang menggerogoti persatuan dan kemajuan bangsa.
Dialog kontemporer antar-antar agama ditengah masyarakat dewasa ini memang berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama. Pluralisme menjadi konteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada gilirannya akan memberikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar-agama di masa lalu. Corak pertemuan antar-agama yang baru akan dipengaruhi oleh tantangan yang baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus oleh kesadaran yang baru tentang pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kiprah agama-agama di masyarakat.
Paper ini mencoba melihat perkembangan dialog antar-agama di Indonesia maupun di negara-negara yang lain dalam konteks penelitihan teks. Teks-teks yang dipakai adalah beberapa surat kabar dan majalah selama bulan Agustus 2004.
II. Uraian Kliping
Politik
Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia . Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama digunakan untuk mengalih perhatian atau membakar persoalan yang baru .
Campur tangan pemerintah dalam urusan hidup umat beragama kembali dipertanyakan kembali oelh sejumlah tokoh agama. Hal ini berkaitan dengan Penpres No1/1965 tentang pencegahan penodaan Agama. Dalam pandangan para tokoh agama, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan masing-masing . Penpres ini tidak relevan lagi karena saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya.
Dampak kebijakan politik negara dengan munculnya berbagai macam peraturan membuat negara terlalu ikutcampur dalam persoalan agama. Persoalan yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi terhadap agama tertentu. Misalanya, pada Penpres No 1/1965 ayat 1 yang berbunyi, ” ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu” . Dan beberapa aliran dilarang oleh pemerintah. Di sini jelas-jelas memuat peranan politik, karena sebenarnya negara Indonesia mengakui keberadaan agama dan keyakinan seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Namun dibalik permasalah campur tangan negara dalam kehidupan beragama, Indonesia masih memiliki Pancasila. Pancasila oleh bangsa Indonesia telah diterima sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yan terbuka dan inklusif memungkinkan masyarakat yang majemuk untuk bersatu padu.
Semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” digunakan dengan pengandaian adanya kerukunan nasional yan inheren. Munculnya semboyan itu bukan hanya menggambarkan apa yanag telah ada, tetapi terlebih-lebih mengingat bahwa ada suatu kerja keras yang harus dilakukan untuk memeliharanya, karena kerukunan dalam kemajemukan bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kemantapan kerukunan agama-agama dalam hidup bernegara adalah prasyarat keberhasilan baik untuk mengatasi krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan nasional. Umat beragama justru perlu memberikan sumbangannya secara positif dan bukan sebaliknya mencuatkan perbedaan sempit yang dapat memicu konflik, yang mempersulit keadaan serta mengancam persatuan bangsa.
Moral
Tokoh dari lintas agama melakukan pertemuan dengan calon presiden dari PDI-P, Megawati Sukarnoputri dan dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menyodorkan Kerangkat Kebersamaan Minimal(KKM) yang disebut SBY sebagai kontrak moral .
Kepedulian para tokoh agama terhadap kehidupan moral masyarakat merupakan bentuk kesadaran semua agama akan penting nilai-nilai moral. Mereka meminta para calon presiden untuk membuat komitmen minimal. Komitmen minimal ini berkaitan dengan kehidupan moral para pemimpin.
Kehidupan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai terpaan badai krisis multidimensional. Mengapa? Perilaku moral para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah sistem yang selalu ada dan akan terus ada dalam pemerintahan.
Implementasi kontrak moral bukan untuk para pemimpin bangsa tetapi juga untuk masyarakat seluruhnya . Kehidupan moral masyarakat Indonesia semakin hari semakin suram. Banayak contoh yang bisa diambil seperti; pornografi dan pornoaksi. Menghadapi fenomena ini perlu pemikiran yang matang dari para pemimpin. Fenomena pronografi dan pornoaksi yang sangat terbuka dapat melunturkan nilai-nilai dan norma dalam hidup masyarakat Indonesia. Di sini para tokoh agama dalam kontrak moralnya mengharapakan agar pemerintah membuat sebuah regulasi yang mampu menjawab keresahan-keresahan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kehidupan moral para penerus bangsa.
Pendidikan Agama Multikultural
Pendidiakn agama di sekolah-sekolah umum sering mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Pendidikan agama dipandang tidak berhasil dalam membentuk perilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan imtak( iman dan takwa), juga dipandang kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaan-perbedaan diantara umat beragama.
Dikalangan umat Islam sendiri terdapat banyak perbedaan dalam hal-hal keagamaan, khususnya menyangkut masalah cabang bukan hal-hal pokok . Meski demikian, pertikaian dan konflik bisa muncul jika perbedaan-perbedaan itu tidak disikapi umat secara bijaksana. Kebijaksanaan dan kearifan untuk secra toleran melihat perbedaan dan keragaman, tidak bisa datang dan tumbuh sendiri, melainkan harus ditanamkan dan dikembangkan. Di sini peran sekolah dan lemabaga pendidikan lainnya menjadi sangat krusial.
Karena itulah pendidikan agama tetap dibutuhkan, tentu dengan orientasi baru . Pertama, dengan menekan perspektif multikulturalisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakan umat beragama manapun. Kedua, memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikultural tersebut, dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada afektif dan psikomotorik. Ketiga, peningkatan kualitas guru baik dari sudut pemahaman atas agamanya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikultural yang tepat.
Wacana tentang pendidikan agama dalam perspektif multikulturalis merupakan sesuatu yang baru. Gagasan dan pembahasan tentang pendidikan agama multikultural, bahkan dalam segi-segi tertentu bisa dikatakan masih cukup sensitif, khususnya mengingat terjadi kontroversi sangat tajam menjelang penetapan UU No.20 tentang Sisdiknas 2003 lalu.
III. Analisis dari Beberapa Sudut Pandang
Gambaran kenyataan situasi tidak mengenakan dalam hubungan antar umat beragama yang dikemukakan di atas, kiranya perlu mendapat analisa dari beberapa sudut pandang. Pada pokok ini penulis berusaha memaparkannya, dengan harapan dapat memperjelas peran dialog antar agama khususnya di Indonesia.
Politik
Pembicaraan tentang politik tentu tidak jauh kaitannya dengan tata pemerintahan, dan kekuasaan . Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, kiranya kita perlu melihat lagi isi dari pasal 29 UUD 1945 (ayat 1 dan 2), yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa negara kita tidak didasarkan atas agama tertentu tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengannya. Kebijaksanaan ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari hidupnya beberapa ajaran agama di Indonesia. Dalam tatanan ini jelas bahwa kebebasan memeluk agama (atau bahkan untuk tidak beragama ?) merupakan hak asasi manusia yang bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menghadapkan konsep ini dengan pelbagai kenyataan yang terjadi di Indonesia, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Di mana peran negara dalam menjalankan kuasanya menjamin kebebasan beragama ? atau, justru karena berusaha melanggengkan kekuasaan negara atau berbagai pihak lain menggunakan agama sebagai alatnya ? atau gejala lain yang dapat disebutkan adalah gejolak politik masyarakat yang sebenarnya sudah tidak puas dan tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sedang berlangsung. Ini berarti agama tidak lagi berada dalam ruang privat sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945. Agama telah masuk dalam ruang publik di mana tidak ada lagi rasa aman dalam memeluk atau bahkan menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya. Kejadian yang sama yang berlangsung terus menerus di beberapa daerah di Indonesia menandakan secara institusi agama sudah ditunggangi maksud-maksud kotor politik. Hal ini juga berarti agama atau umat beragama sendiri tidak lagi mampu mengaktualisasikan ke- agama-annya dalam berbagai bidang kehidupan.
Sosiologi
Secara sosiologis agama sebenarnya lebih dipandang dari sisi institusi, ia merupakan kelompok orang yang terorganisasi dan secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama tertentu . Dalam sosiologi agama yang mengamati dan mempelajari hubungan antara lembaga agama dengan lembaga sosial lainnya sebenarnya tampak bahwa agama tidak sama seperti kebanyakan lembaga sosial. Ia lebih didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supra natural atau Yang Transenden. Maka, kekuatan mengikatnya lebih kuat dibanding lembaga sosial biasa. Melihat hal ini dalam sosiologi diakui juga bahwa adanya banyak agama yang berbeda-beda cenderung mengakibatkan konflik (disamping dapat juga mengalami kecenderungan yang lain yaitu kerja sama). Salah satu kenyataan yang dapat kita lihat adalah di Indonesia, meski sekali lagi mesti diklarifikasi apakah itu betul konflik antar agama.
Dari sudut pandang sosiologis, sebenarnya dimungkinkan juga bahwa dalam konflik antar agama biasanya tidak secara langsung berhubungan dengan doktrin atau ajaran agama tertentu, melainkan merupakan permainan politik memperebutkan kekuasaan. Dalam tatanan ini kiranya agama menjadi alat atau sasaran empuk permainan politik, dengan sedikit mengutak-atik rasa fanatisme. Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang berbau agama kiranya memunculkan gejala yang sama. Kebanyakan orang tidak tahu secara persis apa permasalahannya sehingga ikut membakar masjid atau gereja dan sebagainya. Dalam hal ini agama telah menjadi sebuah institusi yang kekuatannya begitu dahsyat untuk menghancurkan kelompok lain.
Antropologi
Bicara tentang kajian antropologis, kita tidak dapat meninggalkan unsur kultural atau budaya. Kajian Antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya masyarakat dan kebudayaannya . Dalam kajian ini jelas kita akan melihat begitu banyak perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bahkan, mungkin perbedaan itu nampak meski dua orang manusia berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama. Dalam kaitannya dengan berbagai macam kasus kekerasan yang melanda Tanah Air, Antropologi hampir dapat memastikan bahwa kolektivitas yang kuat sehingga membentuk kebudayaan yang menyimpang kiranya dapat diamati dalam berbagai macam kasus tersebut. Budaya kekerasan yang tampil merupakan produk spontan dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam perkembangan antropologisnya manusia yang satu mengalami berbagai macam tekanan dan suasana ketidakpastian yang membuat mereka tidak puas dengan produk budaya yang birokratis dan lamban. Gerakan “revolusioner” dalam arti tertentu lebih mendapat perhatian, apalagi dalam suasana kemajemukan di mana kepentingan setiap orang berbeda-beda dan selalu dapat bersinggungan satu sama lain.
Filosofi
Sebuah pertanyaan yang sering terlontar berkaitan dengan berbagai kerusuhan antar agama yang terjadi di tanah air adalah, “Apakah benar ini konflik agama ?”. Dalam arti tertentu pertanyaan ini merupakan awal pengupasan masalah dari sudut pandang filosofis. Apakah mungkin sesama Bangsa Indonesia, sanak saudara, saling bunuh hanya karena ia berbeda agama dengan kita. Banyak yang mengatakan tidak mungkin, tapi itu yang menjadi kenyataan. Dipandang dari sisi filsafat manusia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah hakekat manusia itu sendiri. Salah satu gambaran manusia dapat dilihat bahwa manusia selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi kongkrit . Manusia adalah bagian dari sejarah dan dalam arti tertentu ikut menentukan sejarah. Dalam usahnya itu ia berusaha bergerak secara dinamis dan berusaha memperoleh pengertian tentang kebenaran. Agama menjadi salah satu usaha pencarian manusia dalam mencapai kebenaran, maka tentu ia akan tetap berpegang teguh pada apa yang dianggapnya akan membawanya pada kebenaran, dan dengan sigap berusaha mempertahankannya dari serangan pihak luar.
IV. Dokumen Gereja tentang Dialog
“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra dan kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.” (Nostra Aetate art. 5). Pernyataan ini kiranya bukan dikonsepsikan secara sembarangan. Dari sini sebenarnya tampak sekali bahwa Gereja sungguh menyadari “locus”nya. Gereja sadar betul tempatnya berpijak adalah dunia, sebuah tempat baginya dan umat lainnya berziarah menuju Kebenaran Abadi. Dalam perjalanan peziarahannya itu Gereja membuka mata dalam hubungannya dengan umat lain, yang juga berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini. Berhubungan dengan mereka, Gereja mengambil sikap mulia sesuai dengan ajaran Yesus Sang Guru Utama, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu, dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti seperti dirimu sendiri” (Mat 22 : 37- 38), dan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Hubungan cinta menjadi sesuatu yang dapat mengalahkan segalanya. Dan, hanya orang yang mampu mencintai yang kiranya berhak disebut sebagai Anak-anak Allah (1 Yoh 4 - 8).
Berangkat dari berbagai pemahaman mulia dan menengok beberapa kasus konflik yang terjadi di Tanah Air, Gereja Katolik Indonesia baik dalam skala nasional maupun lokal, banyak kali mengeluarkan seruan (entah lewat surat gembala atau dalam bentuk lain), untuk terus mengusahakan kasih lewat dialog antar agama dan lintas iman. Dalam surat gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta tahun 1999, misalnya. Persaudaraan sejati menjadi menjadi salah satu pokok penting yang dibicarakan. Sekali lagi dengan bersandar pada semangat kasih dan tidak melupakan unsur manusiawi (humanitas), Gereja hendaknya terus mengusahakan pembangunan persaudaraan sejati dengan dialog.
Bahkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, 2000 lalu, dialog antar agama mendapat perhatian yang cukup. Harapan yang sempat dicatat oleh seorang teolog Indonesia, Banawiratma adalah sebagai berikut, “Dalam komunitas basis lintas iman, penghayatan iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama berusaha mencari dan menemukan rahasia dari yang menghendaki dan menentukan hidup serta mengikutiNya. Pada tingkat ini terjadi suatu interreligious dialogue, dimana seseorang memasuki pengalaman iman lain dan mengalami transformasi internal. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman lain akan saling memperkaya untuk memasuki rahasia iman itu sendiri (Symbiosis Synergy)
V. Pendirian Semifinal(Hipotesis) Pluralitas Diterima, Dialog Diusahakan
Mencermati seluruh paparan dan analisis panjang lebar di atas, agaknya ada satu hal yang harus kita akui bersama sebagai kenyatan yang tidak dapat kita hindari dalam realita kehidupan beragama. Hal tersebut adalah pluralitas agama. Ada berbagai macam agama hidup dan berkembang di Tanah Air, dan kiranya ini menjadi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak dapat dihindari. Sebuah konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, mau atau tidak mau kita yang hidup bersama di Bumi Indonesia ini, harus menjalin hubungan dengan mereka yang tidak se-agama dengan kita. Ini merupakan hal yang wajar dan mesti terjadi. Memang ada banyak kendala dan halangan dalam berhubungan namun, bukan berarti itu tidak perlu atau tidak dapat diusahakan. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi begitu penting ketika kita umat Kristen Katolik mau menjalin hubungan dengan pihak lain yang tidak sealiran. Maka, kiranya kita tidak dapat mengatakan tidak, pada dialog sebagai salah satu solusi pluralitas. Dialog terutama antar agama, di satu pihak menjadi tantangan di tengah berbagai macam suasana chaos negeri ini. Keberanian umat Katolik menyebarkan kasih dalam hal ini mendapatkan ujiannya karena “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16). Namun, di lain pihak dialog antar agama merupakan peluang yang harus terus dicari dan dimanfaatkan untuk menjadikan suasana negeri ini menjadi lebih baik.
Sebuah rekomendasi pastoral yang kiranya perlu diungkapkan di sini adalah pembentukan wadah atau komisi khusus dalam tiap paroki untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan dialog antar agama. Kebutuhan semacam ini kiranya menjadi penting karena sekali lagi kita berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Maka tidak cukup sebenarnya jika paroki hanya sekedar mengadakan sarasehan, seminar, workshop atau kegiatan lain yang sifatnya hanya aksidental. Umat dalam paroki Gereja Katolik kiranya harus juga mulai membentuk wadah atau komisi khusus dalam dewan paroki yang memperhatikan khusus masalah dialog antar agama. Dari sini sebenarnya dapat dengan mudah difasilitasi berbagai macam kegiatan yang akan diadakan, baik inisiatif dari umat anggota paroki yang bersangkutan atau kelompok umat beragama lain yang diajak dialog. Sebagai umat Katolik, kiranya kita perlu juga membuka diri, berani berinisiatif, dan dengan hati tulus bermaksud mewujudkan persaudaraan sejati dengan mulai berdialog dengan agama lain. Menjadi orang Katolik bukan sekedar ikut perayaan ekaristi atau berbagai macam kegiatan lain yang sifatnya altar-sentris, tetapi juga berani “terjun ke pasar”, berani membawa kasih kepada semua orang yang membutuhkan.
Akhirnya harus dikatakan sekali lagi bahwa perbedaan (pluralitas) kiranya dapat menjadikan dunia lebih indah, jika disusun sedemikian rupa dan menghasilkan harmoni. Perbedaan tidak perlu ditonjolkan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perpecahan, namun baiklah kalau kita lebih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mempersatukan dan menguatkan. Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita refleksikan sebuah pernyataan Hans Küng dalam pengantar karya Paul Knitter, One Earth Many Religions:
“Agama-agama dunia dari pada membuat garis pemisah satu sama lain,
lebih baik mengakui tangung jawab mereka untuk bekerja sama,
demi terciptanya keadilan yang menyeluruh, damai yang lebih mendalam,
dan sebuah hubungan yang lebih dapat dipertahankan dengan keseluruhan hidup.”
Paper mata kuliah Dialog Antaragama: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Sumber Utama
CSIS. 2004. Toleransi Kehidupan Beragama( Kliping). Jakarta.
Kompas Bulan Agustus 2004
TEMPO, Bulan Agustus 2004.
Sumber tambahan
Banawiratma, J.B., Komunitas Basis Gerejani, Komisi Kateketik KWI, 2000
Drijarkara, N.J., Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, 2003
Hardawiryana, SJ.,R.(terjemahan), Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan, Dokumentasi dan Penerangan KWI dan Penerbit Obor, 1993.
Hunt, Chester L., dan Horton, Paul B., Sosiologi, Penerbit Erlangga 1991.
Knitter, Paul F., One Earth Many Religion: Multifaith Dialog and Global Responsibility, Orbis Book, New York, 1996.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia jilid 1 dan 5, Penerbit A.N. B.I. K.I Ichtiar Baru- Van Holve, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar