Siang, malam, pagi merebak menungguh senja kehidupan yang akan berakhir. Gegap gempita dunia akan berakhir. Dunia yang begitu indah akan ditinggalkan dengan sebuah kenangan yang tidak akan pernah dilupakan. Seluruh sendi kehidupn akan berakhir dalam kekakuan.
Siang 10 desember 2008, saudaraku Ujang mengalami drop besar kesehatan. Oksigen pun dipasang. Ini merupakan puncak penderitannya selama kurang lebih 6 tahun. Rumah singgah menjadi rumah abadi baginya sampai suadari maut badani menjeputnya. Tempat tidur dan kursi roda menjadi bagian dari hidup. Saudaraku menahan penderiaan dalam kekakuan, tanpa kata dan hanya bisa membuka untuk makan, minum air dan obat. Hanya ada senyuman yang selalu terpancar dalam penderitaannya.
Sore 10 Desenber 2008, dokter Mariana memvonisnya tidak ada harapan untuk terus berjuang dalam hidup. Hanya ada satu jalan untuk mengakhiri penderitaannya, yaitu kematian. Suster Mei, Ibu Theres dan saudara Andre sudah pasrah dengan situsi ini.
Malam ini aku harus ke rumah singgah untuk bersama saudaraku menanti saudari Maut. Saya, Thomas, Suster Mei, Ibu Vero dan beberapa pasien di rumah singgah berjaga bersama menyongsong saudari maut bagi saudaraku. Saya takut, cemas dan gelisah ditengah situsi seperti ini. Pukul 19.00, oksigen yang membantunya untuk tetap bertahan habis. Tidak kata lain selain pasrah. Kami tidak bisa melakukan tindakan medis apapun karena segala usaha telah dilakukan. Ya......tinggal menungga waktu yang tepat untuknya.
Di ruang tengah, kami yang berjaga terus menungguh sambil bercerita dan menonton televisi, sesekali kami bergiliran melihat saudaraku yang berbaring emas di bilik belakang.
Pukul 12.00 saya mulai mengantuk, akupun pergi ke kamr untuk tidur. Ternyata saudara Thomas juga sudah mengatuk. Yang bertahan untuk berjaga hanya Suster Mei dan Ibu Vero.
01.00 Suster mei dan ibu Vero membangunkan kami berdua, karena Ujang kelihatan mulai lemas. Nafasnya sudah tidak terartur, apalagi hidungnya sudah penuh dengan busa. Saya sendiri sangat takut dalam situasi seperti ini, mungkin ini merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya melihat hal seperti ini. Suster Mei pun menelpon dokter Mariana untuk melaporkan kondisi Ujang. Dari dokter Mariana kami mendengar kabar bahwa Oma Maria sudah meninggal 15 menit yang lalu. Oma Maria adalah salah seorang pasien yang beberapa hari yang lalu di pindahkan oleh pihak keluarga ke KKIT.
02.00 kami terhanyut dalam pembicaran mengenai oma Maria. Berkisah tentang pengalaman hidup bersama di rumah Singgah selama beberapa minggu sampai dia dipindahkan. Dan ketika Ibu Vero pergi melihat Ujang, ternyata dia sudah pergi. Dia sudah dijemput oleh saudara maut. Tanpa terasa aku mengelurkan air mata.
Aku tak sanggup melihat mukanya lagi, karena mukanya seolah-olah berubah. Saudara Thomas, Suster Mei dan Ibu Vero pergi membersihkan busa-busa dimulutnya, sedangkan saya menelpon saudara-saudara yang lain di biara. Untunglah saudara Wiwin cepat mengangkat telpon dan memberitahu saudara Andre bahwa Ujang meninggal. Dan di Biara Padua, Saudara Bovan memiliki firasat yang kurang baik, sehinngga tidak bisa tidur.
Sekitar pukul 03.00, saudara Andre dan Latief tiba kemudian disusul oleh Saudara Theo dan Bovan. Saya dan Suster Mei ke rumah ibu Rt untuk memberitahuan kematian ini. Karena saudara Ujang uslim, maka dia harus dimakankan dengan tata cara agama Islam. Sedangkan saudara Andre mengurus keuangan untuk semua keperluan dan saudara-saudara yang lain mengatur ruangan dan mempersiapkan segala sesuatu di rumah singgah.
04.00. Suster Mei dan saudara Theo, pergi membeli kain putih untuk membungkus Ujang. Dan kami yang lain membereskan berbagai hal di rumah singgah. Pagi harinya para saudara mulai berdatangan untuk bersama-sama mendoakans saudara Ujang kecuali beberapa saudara yang harus mengikuti ujian akhir semestre.
Tidak ketinggalan juga para saudara yang bertugas di kantor JPIC-OFM hadir, sampai-sampai mereka harus menundah rapat kerja untuk beberapa jam hanyak untuk melayat ujang. Rm Cristo, selaku wakil dari pihak keluarga pun menyampaikan beberapa pesan kepada saudara Ujang yang pada intinya adalah semoga ia beristirahat dalam damai.
Saudara Ujang pun diistirahatkan di Pemakaman umum Kawi-Kawi. Selamat jalan saudara, semoga engkau beristirahat dalam damai.( Sdr. Bastian Gaguk, OFM)

Custom Search
Jumat, 03 April 2009
KEADILAN : UNSUR HAKIKI PEWARTAAN INJIL Menurut Iustitia in Mundo (Menyoroti Persoalan Tolak Tambang Masyarakat Lembata
Pengantar
Dokumen Iustitia in Mundo merefleksikan misi dan peranan Gereja dalam memajukan keadilan di dunia, sebab keadilan adalah ungkapan hakiki cinta kasih kristiani (amanat Injil). Dengan peka melihat “tanda-tanda zaman” (art.2), Gereja perlu bersaksi demi keadilan lewat gaya dan cara hidupnya yang khas: menciptakan dan memelihara keadilan. Gereja perlu berpartisipasi dalam pengubahan dunia, turut memerdekakan “pribadi manusia” dari setiap situasi tertekan dan tertindas (art. 5).
Dengan bertitik tolak dari refleksi di atas, maka, kami mencoba melihat konteks dan kekhasan dokumen ini. Kemudian, kami mencoba mengembangkan tesis “Keadilan Sebagai Unsur Hakiki Pewartaan Injil”. Selanjutnya melihat relevansi dokumen ini dalam perjuangan masyarakat Lembata untuk menolak tambang. Sebagai penutup, akan disampaikan kesimpulan umum sebagai hasil pembacaan dan analisa sederhana dari dokumen ini.
Iustitia in Mundo Selayang Pandang
Iustitia in Mundo merupakan salah satuhasil Sinode II Para Uskup sedunia . Sinode tersebut diusulkan oleh Paus Paulus VI agar Gereja memiliki semacam pedoman untuk mengusahakan keadilan global. Sinode ini dihadiri lebih dari 170 uskup dan para ahli awam yang menjadi anggota komisi kepausan Iustitia et Pax . Para uskup yang hadir dalam sinode tersebut memiliki latar sosial, ekonomi,budaya dan konteks politik yang berbeda. Lebih dari separuh uskup peserta sinode berasal dari negara-negara dunia ketiga, sehingga mereka dengan baik membahasakan masalah-masalah (keadilan) di negara-negara dunia ketiga .
Tema keadilan dalam dunia diperkenalkan melalui laporan Mgr. Albertoy Valderrama, Ketua Konferensi Uskup-uskup Filipina . Keprihatinan muncul dalam situasi masyarakat Amerika Utara dan Eropa Barat yang mengalami perkembangan ekonomi industri, namun menelan dampak negatif. Selama dekade 70-an ada sebuah kejutan yaitu bom petrolium(1973). Gejolak revolusioner muncul dengan simbolisasi Che Guevara, menteri perdagangan yang mendukung gerakan gerilya dan dibunuh pada tahun 1967.
Dengan melakukan sinode dan mengeluarkan dokumen Iustitia in Mundo, Gereja diharapkan mampu mengambil sikap atas berbagai macam tindak ketidakadilan yang terjadi. Dokumen ini bukan hanya menjadi sebuah pernyataan tetapi sungguh menjadi sebuah “panggilan untuk bertindak” . Sasaran dari dokumen ini kiranya bukan hanya sesuatu yang berada “di luar” Gereja, namun terlebih dialamatkan bagi Gereja sendiri. Yang penting dalam Iustitia in Mundo adalah prinsip “keadilan dengan partisipasi, partisipasi dengan pembebasan” mesti diterapkan juga pada situasi dalam Gereja . Dokumen ini kiranya menjadi “penelitian batin” bagi para uskup. Pemahaman akan keadilan ke dalam Gereja sendiri akan semakin meyakinkan bahwa keadilan itu sungguh menjadi unsur hakiki dalam pewartaan Injil.
Keadilan sebagai Dimensi Konstitutif Pewartaan Injil
Ada beberapa alasan mengapa keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pertama, usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Kedua, antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Ketiga, Kegiatan demi kadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar sukacita. Maksudnya, kegiatan itu satudan hanya satudimensi dari pewartaan” . Keempat, tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata merupakan deduksi etis dari iman, melainkan juga syarat mutlak bagi kebenaran iman, sebagai mana yang diungkap Peter Vicent Cusmao, .
Kami menilai bahwa sinode mengangkat keadilan sebagai unsur hakiki atau konstitutif pewartaan Injil karena dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan: pertama, keadilan sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih. Dalam Perjanjian Lama, Allah mewahyukan diri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin (Art.30). Tindakan cinta kasih Allah itu mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus, lewat ajaran dan tindakan-Nya. Dalam tindakan-Nya, Yesus selalu mengutamakan orang-orang kecil, seperti orang sakit, orang berdosa, dan juga orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan (Luk 6:21-30). Ajaran Yesus tentang hukum cinta kasih sebagai hukum terutama memperlihatkan perhatian-Nya pada arti pentingnya cinta kasih.
Cinta kasih Allah adalah dasar hidup sekaligus inspirasi perjuangan demi keadilan. Cinta kasih ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mengangkat harkat dan martabat manusia. Cinta kasih menuntut keadilan yaitu kesadaran akan martabat dan hak sesama manusia. Dalam hal ini keadilan adalah tuntutan pertama dan utama bagi cinta kasih . Hal serupa ditegaskan oleh sinode yang mengutip pandangan Santo Paulus:”Seluruh hidup Kristiani dirangkum dalam iman yang membuahkan cinta kasih dan pengabdian terhadap sesama dan itu mencakup pemenuhan tuntutan-tuntutan keadilan” (Art.33).
Kedua, Keadilan memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sinode melihat sistem-sistem dan struktur-struktur ketidakadilan yang menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap hak dan martabat manusia . Akumulasi modal dan alat-alat industri pada orang-orang tertentu menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, tinggal dalam gubuk-gubuk yang tidak layak guna dan buta huruf(Art.10). Dengan kata lain, ketidakadilan terjadi ketika sentralisasi dilakukan di segala bidang kehidupan. Sumber-sumber daya alam banyak diambil oleh negara-negara kaya ketimbang negara-negara dunia ketiga (Art.11). Dan yang lebih parah lagi, kerusakan lingkungan hidup seluruh umat manusia terjadi akibat limbah pabrik dari negara-negara industri.
Melalui uraian tadi kita diajak untuk melihat bahwa ketidakadilan merupakan tindakan yang tidak berpihak pada hal dan martabat manusia. Sebaliknya, keadilan menjadi sebuah tindakan perjuangan hak dan martabat manusia. Persis di titik ini ajaran Kristiani tentang saling mengasihi sesama manusia mendapat tempatnya (Yoh 13:31-35).
Ketiga, keadilan membawa situasi pembebasan bagi manusia. Sikap Yesus dalam pewartaan-Nya dengan jelas memperlihatkan bahwa Ia menaruh perhatian begitu besar pada mereka yang menderita, tersisihkan dan terpinggirkan akibat dari belenggu praktik-praktik ketidakadilan. Pewartaan-Nya memang nyata dalam tindakan dan perbuatan-Nya: membuat mukjizat, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati dan mengusir roh-roh jahat. Semua karya-Nya itu hanya mau mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan dan membebaskan “orang-orang kecil” dari belenggu ketidakadilan. Gereja dalam hal ini harus melaksanakan fungsi kenabiannya, kritis dan peka terhadap situasi yang ada di sekitarnya dan seharusnya tidak boleh mentolerir setiap tindak ketidakadilan sebab praktik ketidakadilan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap hakekat Gereja .
Keadilan: Perjuangan Masyarakat Lembata
Berdasarkan agenda pembangunan IV, Pemerintah Daerah Lembata melalui surat Keputusan Bupati Lembata nomor 37 tahun 2005 tanggal 9 Mei 2005 dan Keputusan Bupati Lembata nomor 111 tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005, memberikan ijin kegiatan penyelidikan umum Pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya kepada PT. Pukuafu Indah, salah satuanak perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation . Untuk menindaklanjuti surat keputusan bupati Lembata no. 37 tahun 2005 dan nomor 111 tahun 2005, maka Pemerintah Daerah Lembata menandatangani sebuah nota kesepahaman (memorandum of Understanding) dengan Perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation, sabtu, 12 Nopember 2005 di Jakarta .
Dalam kasus rencana pertambangan Lembata, ada beberapa hal yang merupakan bentuk ketidakadilan. Pertama, partisipasi masyarakat. Rencana pembangunan dan program pertambangan yang dirancang pemerintah dan pengusaha dilakukan secara tertutup. Hal ini menjadi jangkal karena pemerintah daerah merancang program masyarakat tanpa sepengetahuan masyarakat. Akses informasi rencana pertambangan ditutup oleh pemerintah. Masyarakat sebenarnya harus menerima sosialisasi dari pemerintah karena rencana itu untuk kesejateraan masyarakat. Proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan proses pembodohan. Hal ini dapat dilihat dari materi sosialisai yang mengatakan bahwa limbah pertambangan itu bukan racun karena dapat diolah kembali untuk memneuhi kebutuhan air minum masyarakat .
Kedua, rakyat sebagai subjek pembangunan. Pemerintah merupakan fasilitator pembangunan dan masyarakat merupakan pelakunya. Tugas pemerintah adalah mempermudah, membantu, mendorong dan memotivasi supaya masyarakat mengembangkan sumber-sumber yang ada untuk kesejahteraan. Namun, pemerintah Lembata melihat masyarakat sebagai objek pembangunan. Peran masyarakat diambilalih oleh para pemegang modal yang tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat .
Ketiga, keadilan antar-generasi. Masyarakat Lembata sangat menjujung nilai adat-istiadat yang telah diwariskan leluhur, sehingga mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk generasi berikutnya. Latar belakang mata pencaharian masyarakat Lembata adalah pertanian dan nelayan. Orang tua menyediakan tanah dan aset kepada anak cucu untuk diolah sesuai dengan tradisi sehingga warisan leluhur tetap ada. Masyarakat Lembata akan melanggar keadilan antar-generasi, jika mereka menyerahkan tanah Lembata untuk membangun industri pertambangan . Keempat, keadilan ekologi. Perusahan pertambangan merupakan salah satu pelaku utama dalam masalah kerusakan ekologi . Bahaya industri pertambangan yang menghasilkan banyak limbah berbahaya menghacurkan keadaan ekologis.
Gereja: Harapan dan Embun Segar Bagi Masyarakat Lembata.
Gereja dan negara adalah dua lembaga yang masing-masing berkarakter otonom. Namun, keduanya tidak boleh mati-matian dengan otonomitas yang ada. Gereja dan negara mempunyai otonomitas korelatif, khususnya dalam keprihatinan terhadap martabat manusia, keadilan sosial dan kehidupan bermasyarakat . Otonomitas korelatif itu harus terjadi dalam relasi timbal balik yang bisa berfaedah bagi keduanya, demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang semakin damai dan bahagia.
Tindakan demi keadilan serta keterlibatan dalam pengubahan dunia tampak bagi kami sebagai dimensi konstitutif pewartaan kabar gembira. Dengan kata lain merupakan pengutusan Gereja demi penebusan umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi tertekan dan tertindas ( IM 6). Kasus Ketikdakdilan yang dialami oleh masyarakat Lembata merupakan salah satu contoh kasus yang hadapi warga Gereja.
Masyarakat Lembata sangat mendambakan suapaya Gereja berpihak pada mereka. Masyarakat merasa bahwa Gereja memiliki kekuatan (dalam konteks kehidupan masyarakat di Flores) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dokumen Iustitia in Mundo menjadi dasar pijak Gereja untuk membela masyarakat Lambata.
Usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Karena antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Karena keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan, maka Gereja lokal harus berada di pihak masyarakat Lembata. Kami melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Gereja setempat. Pertama, Gereja setempat seharusnya mensosialisasikan hal-hal baik dan buruk dari industri pertambangan kepada masyarakat. Mengingat Gereja kurang berkompeten berkaitan dengan dunia pertambangan, maka Gereja perlu bekerja sama dengan kelompok atau LSM untuk memberiak informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang pertambangan. Gereja setempat diharapkan menyebarkan permasalahan ini ke luar(lingkungan yang lebih besar) sehingga masalah ini menjadi keprihatinan bersama. Kedua, dalam memperjuangkan keadilan yang berkaitan dengan industri pertambangan di Lembata, Gereja setempat perlu memberikan sebuah solusi alternatif untuk mencegah adanya industri pertambangan. Misalnya; menawarkan pengembangan di bidang kelauatan dan pariwisata.
Pentutup
Dari pembacaan serta analisa sederhana atas Iustitia in Mundo, kami sepakat bahwa dokumen ini sungguh memberikan terobosan baru terutama dalam memandang kegiatan pewartaan Injil. Dokumen ini secara tegas dan jelas telah mengamanatkan pada Gereja (ke dalam dan ke luar) untuk segera bertindak, mengintegrasikan keadilan dalam diri karena keadilan sungguh dinilai sebagai unsur hakiki dari pewartaan Injil. Dengan tindakan keadilan yang selalu harus diusahakan, para pengikut Kristus akan sungguh menjadi pewarta kabar sukacita-Nya. Dengan demikian, harapan yang dikemukakan dalam dokumen ini akan sungguh menjadi kenyataan. Orang-orang Kristiani akan menemukan Kerajaan Allah sebagai buah panggilan mereka dan usaha mereka; Allah sekarang sedang mempersiapkan kerajaan-Nya .
Paper Ajaran Sosial Gereja: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan; Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Aman, Peter. ”Ditepi Sungai Babel Kami Duduk dan Menangis”. Makalah Diskusi panel ”Membongkar Mitos kesejahteraan Di Balik Usaha-usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata. NTT
Eddy Kristiyanto, A.. Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XII, Malang: Dioma. 2003
Jordan , Melanius. Paper UAS ASG, STF Driyarkara. 2004
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Dokpen KWI: Jakarta, 1999
Kieser, B.. Solidaritas. 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1992
Regus, Max . Sketsa Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2005
Schultheis, Michael J., DeBerri, Ed.P., Henriot, Peter. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja.Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Tim JPIC-OFM. Kertas Posisi “Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Pertambangan Emas Di Kabupaten Lembata, NTT. Jakarta, 2007
.
Dokumen Iustitia in Mundo merefleksikan misi dan peranan Gereja dalam memajukan keadilan di dunia, sebab keadilan adalah ungkapan hakiki cinta kasih kristiani (amanat Injil). Dengan peka melihat “tanda-tanda zaman” (art.2), Gereja perlu bersaksi demi keadilan lewat gaya dan cara hidupnya yang khas: menciptakan dan memelihara keadilan. Gereja perlu berpartisipasi dalam pengubahan dunia, turut memerdekakan “pribadi manusia” dari setiap situasi tertekan dan tertindas (art. 5).
Dengan bertitik tolak dari refleksi di atas, maka, kami mencoba melihat konteks dan kekhasan dokumen ini. Kemudian, kami mencoba mengembangkan tesis “Keadilan Sebagai Unsur Hakiki Pewartaan Injil”. Selanjutnya melihat relevansi dokumen ini dalam perjuangan masyarakat Lembata untuk menolak tambang. Sebagai penutup, akan disampaikan kesimpulan umum sebagai hasil pembacaan dan analisa sederhana dari dokumen ini.
Iustitia in Mundo Selayang Pandang
Iustitia in Mundo merupakan salah satuhasil Sinode II Para Uskup sedunia . Sinode tersebut diusulkan oleh Paus Paulus VI agar Gereja memiliki semacam pedoman untuk mengusahakan keadilan global. Sinode ini dihadiri lebih dari 170 uskup dan para ahli awam yang menjadi anggota komisi kepausan Iustitia et Pax . Para uskup yang hadir dalam sinode tersebut memiliki latar sosial, ekonomi,budaya dan konteks politik yang berbeda. Lebih dari separuh uskup peserta sinode berasal dari negara-negara dunia ketiga, sehingga mereka dengan baik membahasakan masalah-masalah (keadilan) di negara-negara dunia ketiga .
Tema keadilan dalam dunia diperkenalkan melalui laporan Mgr. Albertoy Valderrama, Ketua Konferensi Uskup-uskup Filipina . Keprihatinan muncul dalam situasi masyarakat Amerika Utara dan Eropa Barat yang mengalami perkembangan ekonomi industri, namun menelan dampak negatif. Selama dekade 70-an ada sebuah kejutan yaitu bom petrolium(1973). Gejolak revolusioner muncul dengan simbolisasi Che Guevara, menteri perdagangan yang mendukung gerakan gerilya dan dibunuh pada tahun 1967.
Dengan melakukan sinode dan mengeluarkan dokumen Iustitia in Mundo, Gereja diharapkan mampu mengambil sikap atas berbagai macam tindak ketidakadilan yang terjadi. Dokumen ini bukan hanya menjadi sebuah pernyataan tetapi sungguh menjadi sebuah “panggilan untuk bertindak” . Sasaran dari dokumen ini kiranya bukan hanya sesuatu yang berada “di luar” Gereja, namun terlebih dialamatkan bagi Gereja sendiri. Yang penting dalam Iustitia in Mundo adalah prinsip “keadilan dengan partisipasi, partisipasi dengan pembebasan” mesti diterapkan juga pada situasi dalam Gereja . Dokumen ini kiranya menjadi “penelitian batin” bagi para uskup. Pemahaman akan keadilan ke dalam Gereja sendiri akan semakin meyakinkan bahwa keadilan itu sungguh menjadi unsur hakiki dalam pewartaan Injil.
Keadilan sebagai Dimensi Konstitutif Pewartaan Injil
Ada beberapa alasan mengapa keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pertama, usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Kedua, antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Ketiga, Kegiatan demi kadilan itu integral (termasuk) mewartakan Kabar sukacita. Maksudnya, kegiatan itu satudan hanya satudimensi dari pewartaan” . Keempat, tindakan demi keadilan dalam rangka pewartaan Injil itu tidak semata-mata merupakan deduksi etis dari iman, melainkan juga syarat mutlak bagi kebenaran iman, sebagai mana yang diungkap Peter Vicent Cusmao, .
Kami menilai bahwa sinode mengangkat keadilan sebagai unsur hakiki atau konstitutif pewartaan Injil karena dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan: pertama, keadilan sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan Allah sebagai Allah yang penuh cinta kasih. Dalam Perjanjian Lama, Allah mewahyukan diri sebagai pembebas kaum tertindas dan pembela kaum miskin (Art.30). Tindakan cinta kasih Allah itu mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus, lewat ajaran dan tindakan-Nya. Dalam tindakan-Nya, Yesus selalu mengutamakan orang-orang kecil, seperti orang sakit, orang berdosa, dan juga orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan (Luk 6:21-30). Ajaran Yesus tentang hukum cinta kasih sebagai hukum terutama memperlihatkan perhatian-Nya pada arti pentingnya cinta kasih.
Cinta kasih Allah adalah dasar hidup sekaligus inspirasi perjuangan demi keadilan. Cinta kasih ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan mengangkat harkat dan martabat manusia. Cinta kasih menuntut keadilan yaitu kesadaran akan martabat dan hak sesama manusia. Dalam hal ini keadilan adalah tuntutan pertama dan utama bagi cinta kasih . Hal serupa ditegaskan oleh sinode yang mengutip pandangan Santo Paulus:”Seluruh hidup Kristiani dirangkum dalam iman yang membuahkan cinta kasih dan pengabdian terhadap sesama dan itu mencakup pemenuhan tuntutan-tuntutan keadilan” (Art.33).
Kedua, Keadilan memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sinode melihat sistem-sistem dan struktur-struktur ketidakadilan yang menyebabkan kekerasan dan penindasan terhadap hak dan martabat manusia . Akumulasi modal dan alat-alat industri pada orang-orang tertentu menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, tinggal dalam gubuk-gubuk yang tidak layak guna dan buta huruf(Art.10). Dengan kata lain, ketidakadilan terjadi ketika sentralisasi dilakukan di segala bidang kehidupan. Sumber-sumber daya alam banyak diambil oleh negara-negara kaya ketimbang negara-negara dunia ketiga (Art.11). Dan yang lebih parah lagi, kerusakan lingkungan hidup seluruh umat manusia terjadi akibat limbah pabrik dari negara-negara industri.
Melalui uraian tadi kita diajak untuk melihat bahwa ketidakadilan merupakan tindakan yang tidak berpihak pada hal dan martabat manusia. Sebaliknya, keadilan menjadi sebuah tindakan perjuangan hak dan martabat manusia. Persis di titik ini ajaran Kristiani tentang saling mengasihi sesama manusia mendapat tempatnya (Yoh 13:31-35).
Ketiga, keadilan membawa situasi pembebasan bagi manusia. Sikap Yesus dalam pewartaan-Nya dengan jelas memperlihatkan bahwa Ia menaruh perhatian begitu besar pada mereka yang menderita, tersisihkan dan terpinggirkan akibat dari belenggu praktik-praktik ketidakadilan. Pewartaan-Nya memang nyata dalam tindakan dan perbuatan-Nya: membuat mukjizat, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati dan mengusir roh-roh jahat. Semua karya-Nya itu hanya mau mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan dan membebaskan “orang-orang kecil” dari belenggu ketidakadilan. Gereja dalam hal ini harus melaksanakan fungsi kenabiannya, kritis dan peka terhadap situasi yang ada di sekitarnya dan seharusnya tidak boleh mentolerir setiap tindak ketidakadilan sebab praktik ketidakadilan merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap hakekat Gereja .
Keadilan: Perjuangan Masyarakat Lembata
Berdasarkan agenda pembangunan IV, Pemerintah Daerah Lembata melalui surat Keputusan Bupati Lembata nomor 37 tahun 2005 tanggal 9 Mei 2005 dan Keputusan Bupati Lembata nomor 111 tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005, memberikan ijin kegiatan penyelidikan umum Pertambangan dan eksplorasi bahan galian tembaga, emas dan mineral pengikutnya kepada PT. Pukuafu Indah, salah satuanak perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation . Untuk menindaklanjuti surat keputusan bupati Lembata no. 37 tahun 2005 dan nomor 111 tahun 2005, maka Pemerintah Daerah Lembata menandatangani sebuah nota kesepahaman (memorandum of Understanding) dengan Perusahaan PT. Merukh Enterprises Corporation, sabtu, 12 Nopember 2005 di Jakarta .
Dalam kasus rencana pertambangan Lembata, ada beberapa hal yang merupakan bentuk ketidakadilan. Pertama, partisipasi masyarakat. Rencana pembangunan dan program pertambangan yang dirancang pemerintah dan pengusaha dilakukan secara tertutup. Hal ini menjadi jangkal karena pemerintah daerah merancang program masyarakat tanpa sepengetahuan masyarakat. Akses informasi rencana pertambangan ditutup oleh pemerintah. Masyarakat sebenarnya harus menerima sosialisasi dari pemerintah karena rencana itu untuk kesejateraan masyarakat. Proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan proses pembodohan. Hal ini dapat dilihat dari materi sosialisai yang mengatakan bahwa limbah pertambangan itu bukan racun karena dapat diolah kembali untuk memneuhi kebutuhan air minum masyarakat .
Kedua, rakyat sebagai subjek pembangunan. Pemerintah merupakan fasilitator pembangunan dan masyarakat merupakan pelakunya. Tugas pemerintah adalah mempermudah, membantu, mendorong dan memotivasi supaya masyarakat mengembangkan sumber-sumber yang ada untuk kesejahteraan. Namun, pemerintah Lembata melihat masyarakat sebagai objek pembangunan. Peran masyarakat diambilalih oleh para pemegang modal yang tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat .
Ketiga, keadilan antar-generasi. Masyarakat Lembata sangat menjujung nilai adat-istiadat yang telah diwariskan leluhur, sehingga mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk generasi berikutnya. Latar belakang mata pencaharian masyarakat Lembata adalah pertanian dan nelayan. Orang tua menyediakan tanah dan aset kepada anak cucu untuk diolah sesuai dengan tradisi sehingga warisan leluhur tetap ada. Masyarakat Lembata akan melanggar keadilan antar-generasi, jika mereka menyerahkan tanah Lembata untuk membangun industri pertambangan . Keempat, keadilan ekologi. Perusahan pertambangan merupakan salah satu pelaku utama dalam masalah kerusakan ekologi . Bahaya industri pertambangan yang menghasilkan banyak limbah berbahaya menghacurkan keadaan ekologis.
Gereja: Harapan dan Embun Segar Bagi Masyarakat Lembata.
Gereja dan negara adalah dua lembaga yang masing-masing berkarakter otonom. Namun, keduanya tidak boleh mati-matian dengan otonomitas yang ada. Gereja dan negara mempunyai otonomitas korelatif, khususnya dalam keprihatinan terhadap martabat manusia, keadilan sosial dan kehidupan bermasyarakat . Otonomitas korelatif itu harus terjadi dalam relasi timbal balik yang bisa berfaedah bagi keduanya, demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang semakin damai dan bahagia.
Tindakan demi keadilan serta keterlibatan dalam pengubahan dunia tampak bagi kami sebagai dimensi konstitutif pewartaan kabar gembira. Dengan kata lain merupakan pengutusan Gereja demi penebusan umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi tertekan dan tertindas ( IM 6). Kasus Ketikdakdilan yang dialami oleh masyarakat Lembata merupakan salah satu contoh kasus yang hadapi warga Gereja.
Masyarakat Lembata sangat mendambakan suapaya Gereja berpihak pada mereka. Masyarakat merasa bahwa Gereja memiliki kekuatan (dalam konteks kehidupan masyarakat di Flores) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dokumen Iustitia in Mundo menjadi dasar pijak Gereja untuk membela masyarakat Lambata.
Usaha memajukan keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan Injil. Karena antara pewartaan Injil dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Karena keadilan merupakan tuntutan mutlak bagi pewartaan, maka Gereja lokal harus berada di pihak masyarakat Lembata. Kami melihat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Gereja setempat. Pertama, Gereja setempat seharusnya mensosialisasikan hal-hal baik dan buruk dari industri pertambangan kepada masyarakat. Mengingat Gereja kurang berkompeten berkaitan dengan dunia pertambangan, maka Gereja perlu bekerja sama dengan kelompok atau LSM untuk memberiak informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang pertambangan. Gereja setempat diharapkan menyebarkan permasalahan ini ke luar(lingkungan yang lebih besar) sehingga masalah ini menjadi keprihatinan bersama. Kedua, dalam memperjuangkan keadilan yang berkaitan dengan industri pertambangan di Lembata, Gereja setempat perlu memberikan sebuah solusi alternatif untuk mencegah adanya industri pertambangan. Misalnya; menawarkan pengembangan di bidang kelauatan dan pariwisata.
Pentutup
Dari pembacaan serta analisa sederhana atas Iustitia in Mundo, kami sepakat bahwa dokumen ini sungguh memberikan terobosan baru terutama dalam memandang kegiatan pewartaan Injil. Dokumen ini secara tegas dan jelas telah mengamanatkan pada Gereja (ke dalam dan ke luar) untuk segera bertindak, mengintegrasikan keadilan dalam diri karena keadilan sungguh dinilai sebagai unsur hakiki dari pewartaan Injil. Dengan tindakan keadilan yang selalu harus diusahakan, para pengikut Kristus akan sungguh menjadi pewarta kabar sukacita-Nya. Dengan demikian, harapan yang dikemukakan dalam dokumen ini akan sungguh menjadi kenyataan. Orang-orang Kristiani akan menemukan Kerajaan Allah sebagai buah panggilan mereka dan usaha mereka; Allah sekarang sedang mempersiapkan kerajaan-Nya .
Paper Ajaran Sosial Gereja: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Antoncich, Ricardo. Iman dan Keadilan; Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman. Yogyakarta: Kanisius. 1991
Aman, Peter. ”Ditepi Sungai Babel Kami Duduk dan Menangis”. Makalah Diskusi panel ”Membongkar Mitos kesejahteraan Di Balik Usaha-usaha Pertambangan: Menyoroti Kasus Penolakan Masyarakat Lembata. NTT
Eddy Kristiyanto, A.. Diskursus Sosial Gereja sejak Leo XII, Malang: Dioma. 2003
Jordan , Melanius. Paper UAS ASG, STF Driyarkara. 2004
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. Dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Dokpen KWI: Jakarta, 1999
Kieser, B.. Solidaritas. 100 tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1992
Regus, Max . Sketsa Anak Bangsa. Jakarta: Obor, 2005
Schultheis, Michael J., DeBerri, Ed.P., Henriot, Peter. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja.Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Tim JPIC-OFM. Kertas Posisi “Membaca Penolakan Warga Atas Rencana Pertambangan Emas Di Kabupaten Lembata, NTT. Jakarta, 2007
.
Dialog Agama dan Situasi Sosial
I. Pengantar
No peace among the nations
Without peace among religions.
No peace among religions
Without dialogue between the religions
No peace among the nations
Without investigation of the foundation of the religions.
(Hans Kung).
Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog Liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen. Secara sosiologi kita sekarang ini sudah berada dalam lingkungan globalisme dan pluralisme etnis dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima. Kenyataan antropologis inilah barangkali yang ikut mengatar lahirnya sebuah klausal dalam konsili Vatikan II bahwa di luar tradisi dan iman kristiani juga terdapat keselamatan karena kasih Tuhan mengatasi batas-batas doktrin teologis .
Mengingat pluralitas agama di Indonesia adalah fakta historis-sosiologis serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, maka salah satu agenda penting yang muncul adalah bagaimana usaha kita supaya pluralistas menjadi aset bangsa? Dan hal ini jangan sampai malah menjadi sumber konflik dan friksi sosial-politis yang menggerogoti persatuan dan kemajuan bangsa.
Dialog kontemporer antar-antar agama ditengah masyarakat dewasa ini memang berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama. Pluralisme menjadi konteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada gilirannya akan memberikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar-agama di masa lalu. Corak pertemuan antar-agama yang baru akan dipengaruhi oleh tantangan yang baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus oleh kesadaran yang baru tentang pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kiprah agama-agama di masyarakat.
Paper ini mencoba melihat perkembangan dialog antar-agama di Indonesia maupun di negara-negara yang lain dalam konteks penelitihan teks. Teks-teks yang dipakai adalah beberapa surat kabar dan majalah selama bulan Agustus 2004.
II. Uraian Kliping
Politik
Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia . Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama digunakan untuk mengalih perhatian atau membakar persoalan yang baru .
Campur tangan pemerintah dalam urusan hidup umat beragama kembali dipertanyakan kembali oelh sejumlah tokoh agama. Hal ini berkaitan dengan Penpres No1/1965 tentang pencegahan penodaan Agama. Dalam pandangan para tokoh agama, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan masing-masing . Penpres ini tidak relevan lagi karena saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya.
Dampak kebijakan politik negara dengan munculnya berbagai macam peraturan membuat negara terlalu ikutcampur dalam persoalan agama. Persoalan yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi terhadap agama tertentu. Misalanya, pada Penpres No 1/1965 ayat 1 yang berbunyi, ” ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu” . Dan beberapa aliran dilarang oleh pemerintah. Di sini jelas-jelas memuat peranan politik, karena sebenarnya negara Indonesia mengakui keberadaan agama dan keyakinan seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Namun dibalik permasalah campur tangan negara dalam kehidupan beragama, Indonesia masih memiliki Pancasila. Pancasila oleh bangsa Indonesia telah diterima sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yan terbuka dan inklusif memungkinkan masyarakat yang majemuk untuk bersatu padu.
Semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” digunakan dengan pengandaian adanya kerukunan nasional yan inheren. Munculnya semboyan itu bukan hanya menggambarkan apa yanag telah ada, tetapi terlebih-lebih mengingat bahwa ada suatu kerja keras yang harus dilakukan untuk memeliharanya, karena kerukunan dalam kemajemukan bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kemantapan kerukunan agama-agama dalam hidup bernegara adalah prasyarat keberhasilan baik untuk mengatasi krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan nasional. Umat beragama justru perlu memberikan sumbangannya secara positif dan bukan sebaliknya mencuatkan perbedaan sempit yang dapat memicu konflik, yang mempersulit keadaan serta mengancam persatuan bangsa.
Moral
Tokoh dari lintas agama melakukan pertemuan dengan calon presiden dari PDI-P, Megawati Sukarnoputri dan dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menyodorkan Kerangkat Kebersamaan Minimal(KKM) yang disebut SBY sebagai kontrak moral .
Kepedulian para tokoh agama terhadap kehidupan moral masyarakat merupakan bentuk kesadaran semua agama akan penting nilai-nilai moral. Mereka meminta para calon presiden untuk membuat komitmen minimal. Komitmen minimal ini berkaitan dengan kehidupan moral para pemimpin.
Kehidupan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai terpaan badai krisis multidimensional. Mengapa? Perilaku moral para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah sistem yang selalu ada dan akan terus ada dalam pemerintahan.
Implementasi kontrak moral bukan untuk para pemimpin bangsa tetapi juga untuk masyarakat seluruhnya . Kehidupan moral masyarakat Indonesia semakin hari semakin suram. Banayak contoh yang bisa diambil seperti; pornografi dan pornoaksi. Menghadapi fenomena ini perlu pemikiran yang matang dari para pemimpin. Fenomena pronografi dan pornoaksi yang sangat terbuka dapat melunturkan nilai-nilai dan norma dalam hidup masyarakat Indonesia. Di sini para tokoh agama dalam kontrak moralnya mengharapakan agar pemerintah membuat sebuah regulasi yang mampu menjawab keresahan-keresahan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kehidupan moral para penerus bangsa.
Pendidikan Agama Multikultural
Pendidiakn agama di sekolah-sekolah umum sering mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Pendidikan agama dipandang tidak berhasil dalam membentuk perilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan imtak( iman dan takwa), juga dipandang kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaan-perbedaan diantara umat beragama.
Dikalangan umat Islam sendiri terdapat banyak perbedaan dalam hal-hal keagamaan, khususnya menyangkut masalah cabang bukan hal-hal pokok . Meski demikian, pertikaian dan konflik bisa muncul jika perbedaan-perbedaan itu tidak disikapi umat secara bijaksana. Kebijaksanaan dan kearifan untuk secra toleran melihat perbedaan dan keragaman, tidak bisa datang dan tumbuh sendiri, melainkan harus ditanamkan dan dikembangkan. Di sini peran sekolah dan lemabaga pendidikan lainnya menjadi sangat krusial.
Karena itulah pendidikan agama tetap dibutuhkan, tentu dengan orientasi baru . Pertama, dengan menekan perspektif multikulturalisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakan umat beragama manapun. Kedua, memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikultural tersebut, dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada afektif dan psikomotorik. Ketiga, peningkatan kualitas guru baik dari sudut pemahaman atas agamanya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikultural yang tepat.
Wacana tentang pendidikan agama dalam perspektif multikulturalis merupakan sesuatu yang baru. Gagasan dan pembahasan tentang pendidikan agama multikultural, bahkan dalam segi-segi tertentu bisa dikatakan masih cukup sensitif, khususnya mengingat terjadi kontroversi sangat tajam menjelang penetapan UU No.20 tentang Sisdiknas 2003 lalu.
III. Analisis dari Beberapa Sudut Pandang
Gambaran kenyataan situasi tidak mengenakan dalam hubungan antar umat beragama yang dikemukakan di atas, kiranya perlu mendapat analisa dari beberapa sudut pandang. Pada pokok ini penulis berusaha memaparkannya, dengan harapan dapat memperjelas peran dialog antar agama khususnya di Indonesia.
Politik
Pembicaraan tentang politik tentu tidak jauh kaitannya dengan tata pemerintahan, dan kekuasaan . Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, kiranya kita perlu melihat lagi isi dari pasal 29 UUD 1945 (ayat 1 dan 2), yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa negara kita tidak didasarkan atas agama tertentu tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengannya. Kebijaksanaan ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari hidupnya beberapa ajaran agama di Indonesia. Dalam tatanan ini jelas bahwa kebebasan memeluk agama (atau bahkan untuk tidak beragama ?) merupakan hak asasi manusia yang bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menghadapkan konsep ini dengan pelbagai kenyataan yang terjadi di Indonesia, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Di mana peran negara dalam menjalankan kuasanya menjamin kebebasan beragama ? atau, justru karena berusaha melanggengkan kekuasaan negara atau berbagai pihak lain menggunakan agama sebagai alatnya ? atau gejala lain yang dapat disebutkan adalah gejolak politik masyarakat yang sebenarnya sudah tidak puas dan tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sedang berlangsung. Ini berarti agama tidak lagi berada dalam ruang privat sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945. Agama telah masuk dalam ruang publik di mana tidak ada lagi rasa aman dalam memeluk atau bahkan menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya. Kejadian yang sama yang berlangsung terus menerus di beberapa daerah di Indonesia menandakan secara institusi agama sudah ditunggangi maksud-maksud kotor politik. Hal ini juga berarti agama atau umat beragama sendiri tidak lagi mampu mengaktualisasikan ke- agama-annya dalam berbagai bidang kehidupan.
Sosiologi
Secara sosiologis agama sebenarnya lebih dipandang dari sisi institusi, ia merupakan kelompok orang yang terorganisasi dan secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama tertentu . Dalam sosiologi agama yang mengamati dan mempelajari hubungan antara lembaga agama dengan lembaga sosial lainnya sebenarnya tampak bahwa agama tidak sama seperti kebanyakan lembaga sosial. Ia lebih didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supra natural atau Yang Transenden. Maka, kekuatan mengikatnya lebih kuat dibanding lembaga sosial biasa. Melihat hal ini dalam sosiologi diakui juga bahwa adanya banyak agama yang berbeda-beda cenderung mengakibatkan konflik (disamping dapat juga mengalami kecenderungan yang lain yaitu kerja sama). Salah satu kenyataan yang dapat kita lihat adalah di Indonesia, meski sekali lagi mesti diklarifikasi apakah itu betul konflik antar agama.
Dari sudut pandang sosiologis, sebenarnya dimungkinkan juga bahwa dalam konflik antar agama biasanya tidak secara langsung berhubungan dengan doktrin atau ajaran agama tertentu, melainkan merupakan permainan politik memperebutkan kekuasaan. Dalam tatanan ini kiranya agama menjadi alat atau sasaran empuk permainan politik, dengan sedikit mengutak-atik rasa fanatisme. Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang berbau agama kiranya memunculkan gejala yang sama. Kebanyakan orang tidak tahu secara persis apa permasalahannya sehingga ikut membakar masjid atau gereja dan sebagainya. Dalam hal ini agama telah menjadi sebuah institusi yang kekuatannya begitu dahsyat untuk menghancurkan kelompok lain.
Antropologi
Bicara tentang kajian antropologis, kita tidak dapat meninggalkan unsur kultural atau budaya. Kajian Antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya masyarakat dan kebudayaannya . Dalam kajian ini jelas kita akan melihat begitu banyak perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bahkan, mungkin perbedaan itu nampak meski dua orang manusia berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama. Dalam kaitannya dengan berbagai macam kasus kekerasan yang melanda Tanah Air, Antropologi hampir dapat memastikan bahwa kolektivitas yang kuat sehingga membentuk kebudayaan yang menyimpang kiranya dapat diamati dalam berbagai macam kasus tersebut. Budaya kekerasan yang tampil merupakan produk spontan dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam perkembangan antropologisnya manusia yang satu mengalami berbagai macam tekanan dan suasana ketidakpastian yang membuat mereka tidak puas dengan produk budaya yang birokratis dan lamban. Gerakan “revolusioner” dalam arti tertentu lebih mendapat perhatian, apalagi dalam suasana kemajemukan di mana kepentingan setiap orang berbeda-beda dan selalu dapat bersinggungan satu sama lain.
Filosofi
Sebuah pertanyaan yang sering terlontar berkaitan dengan berbagai kerusuhan antar agama yang terjadi di tanah air adalah, “Apakah benar ini konflik agama ?”. Dalam arti tertentu pertanyaan ini merupakan awal pengupasan masalah dari sudut pandang filosofis. Apakah mungkin sesama Bangsa Indonesia, sanak saudara, saling bunuh hanya karena ia berbeda agama dengan kita. Banyak yang mengatakan tidak mungkin, tapi itu yang menjadi kenyataan. Dipandang dari sisi filsafat manusia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah hakekat manusia itu sendiri. Salah satu gambaran manusia dapat dilihat bahwa manusia selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi kongkrit . Manusia adalah bagian dari sejarah dan dalam arti tertentu ikut menentukan sejarah. Dalam usahnya itu ia berusaha bergerak secara dinamis dan berusaha memperoleh pengertian tentang kebenaran. Agama menjadi salah satu usaha pencarian manusia dalam mencapai kebenaran, maka tentu ia akan tetap berpegang teguh pada apa yang dianggapnya akan membawanya pada kebenaran, dan dengan sigap berusaha mempertahankannya dari serangan pihak luar.
IV. Dokumen Gereja tentang Dialog
“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra dan kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.” (Nostra Aetate art. 5). Pernyataan ini kiranya bukan dikonsepsikan secara sembarangan. Dari sini sebenarnya tampak sekali bahwa Gereja sungguh menyadari “locus”nya. Gereja sadar betul tempatnya berpijak adalah dunia, sebuah tempat baginya dan umat lainnya berziarah menuju Kebenaran Abadi. Dalam perjalanan peziarahannya itu Gereja membuka mata dalam hubungannya dengan umat lain, yang juga berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini. Berhubungan dengan mereka, Gereja mengambil sikap mulia sesuai dengan ajaran Yesus Sang Guru Utama, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu, dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti seperti dirimu sendiri” (Mat 22 : 37- 38), dan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Hubungan cinta menjadi sesuatu yang dapat mengalahkan segalanya. Dan, hanya orang yang mampu mencintai yang kiranya berhak disebut sebagai Anak-anak Allah (1 Yoh 4 - 8).
Berangkat dari berbagai pemahaman mulia dan menengok beberapa kasus konflik yang terjadi di Tanah Air, Gereja Katolik Indonesia baik dalam skala nasional maupun lokal, banyak kali mengeluarkan seruan (entah lewat surat gembala atau dalam bentuk lain), untuk terus mengusahakan kasih lewat dialog antar agama dan lintas iman. Dalam surat gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta tahun 1999, misalnya. Persaudaraan sejati menjadi menjadi salah satu pokok penting yang dibicarakan. Sekali lagi dengan bersandar pada semangat kasih dan tidak melupakan unsur manusiawi (humanitas), Gereja hendaknya terus mengusahakan pembangunan persaudaraan sejati dengan dialog.
Bahkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, 2000 lalu, dialog antar agama mendapat perhatian yang cukup. Harapan yang sempat dicatat oleh seorang teolog Indonesia, Banawiratma adalah sebagai berikut, “Dalam komunitas basis lintas iman, penghayatan iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama berusaha mencari dan menemukan rahasia dari yang menghendaki dan menentukan hidup serta mengikutiNya. Pada tingkat ini terjadi suatu interreligious dialogue, dimana seseorang memasuki pengalaman iman lain dan mengalami transformasi internal. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman lain akan saling memperkaya untuk memasuki rahasia iman itu sendiri (Symbiosis Synergy)
V. Pendirian Semifinal(Hipotesis) Pluralitas Diterima, Dialog Diusahakan
Mencermati seluruh paparan dan analisis panjang lebar di atas, agaknya ada satu hal yang harus kita akui bersama sebagai kenyatan yang tidak dapat kita hindari dalam realita kehidupan beragama. Hal tersebut adalah pluralitas agama. Ada berbagai macam agama hidup dan berkembang di Tanah Air, dan kiranya ini menjadi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak dapat dihindari. Sebuah konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, mau atau tidak mau kita yang hidup bersama di Bumi Indonesia ini, harus menjalin hubungan dengan mereka yang tidak se-agama dengan kita. Ini merupakan hal yang wajar dan mesti terjadi. Memang ada banyak kendala dan halangan dalam berhubungan namun, bukan berarti itu tidak perlu atau tidak dapat diusahakan. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi begitu penting ketika kita umat Kristen Katolik mau menjalin hubungan dengan pihak lain yang tidak sealiran. Maka, kiranya kita tidak dapat mengatakan tidak, pada dialog sebagai salah satu solusi pluralitas. Dialog terutama antar agama, di satu pihak menjadi tantangan di tengah berbagai macam suasana chaos negeri ini. Keberanian umat Katolik menyebarkan kasih dalam hal ini mendapatkan ujiannya karena “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16). Namun, di lain pihak dialog antar agama merupakan peluang yang harus terus dicari dan dimanfaatkan untuk menjadikan suasana negeri ini menjadi lebih baik.
Sebuah rekomendasi pastoral yang kiranya perlu diungkapkan di sini adalah pembentukan wadah atau komisi khusus dalam tiap paroki untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan dialog antar agama. Kebutuhan semacam ini kiranya menjadi penting karena sekali lagi kita berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Maka tidak cukup sebenarnya jika paroki hanya sekedar mengadakan sarasehan, seminar, workshop atau kegiatan lain yang sifatnya hanya aksidental. Umat dalam paroki Gereja Katolik kiranya harus juga mulai membentuk wadah atau komisi khusus dalam dewan paroki yang memperhatikan khusus masalah dialog antar agama. Dari sini sebenarnya dapat dengan mudah difasilitasi berbagai macam kegiatan yang akan diadakan, baik inisiatif dari umat anggota paroki yang bersangkutan atau kelompok umat beragama lain yang diajak dialog. Sebagai umat Katolik, kiranya kita perlu juga membuka diri, berani berinisiatif, dan dengan hati tulus bermaksud mewujudkan persaudaraan sejati dengan mulai berdialog dengan agama lain. Menjadi orang Katolik bukan sekedar ikut perayaan ekaristi atau berbagai macam kegiatan lain yang sifatnya altar-sentris, tetapi juga berani “terjun ke pasar”, berani membawa kasih kepada semua orang yang membutuhkan.
Akhirnya harus dikatakan sekali lagi bahwa perbedaan (pluralitas) kiranya dapat menjadikan dunia lebih indah, jika disusun sedemikian rupa dan menghasilkan harmoni. Perbedaan tidak perlu ditonjolkan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perpecahan, namun baiklah kalau kita lebih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mempersatukan dan menguatkan. Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita refleksikan sebuah pernyataan Hans Küng dalam pengantar karya Paul Knitter, One Earth Many Religions:
“Agama-agama dunia dari pada membuat garis pemisah satu sama lain,
lebih baik mengakui tangung jawab mereka untuk bekerja sama,
demi terciptanya keadilan yang menyeluruh, damai yang lebih mendalam,
dan sebuah hubungan yang lebih dapat dipertahankan dengan keseluruhan hidup.”
Paper mata kuliah Dialog Antaragama: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Sumber Utama
CSIS. 2004. Toleransi Kehidupan Beragama( Kliping). Jakarta.
Kompas Bulan Agustus 2004
TEMPO, Bulan Agustus 2004.
Sumber tambahan
Banawiratma, J.B., Komunitas Basis Gerejani, Komisi Kateketik KWI, 2000
Drijarkara, N.J., Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, 2003
Hardawiryana, SJ.,R.(terjemahan), Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan, Dokumentasi dan Penerangan KWI dan Penerbit Obor, 1993.
Hunt, Chester L., dan Horton, Paul B., Sosiologi, Penerbit Erlangga 1991.
Knitter, Paul F., One Earth Many Religion: Multifaith Dialog and Global Responsibility, Orbis Book, New York, 1996.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia jilid 1 dan 5, Penerbit A.N. B.I. K.I Ichtiar Baru- Van Holve, 1984.
No peace among the nations
Without peace among religions.
No peace among religions
Without dialogue between the religions
No peace among the nations
Without investigation of the foundation of the religions.
(Hans Kung).
Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog Liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen. Secara sosiologi kita sekarang ini sudah berada dalam lingkungan globalisme dan pluralisme etnis dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima. Kenyataan antropologis inilah barangkali yang ikut mengatar lahirnya sebuah klausal dalam konsili Vatikan II bahwa di luar tradisi dan iman kristiani juga terdapat keselamatan karena kasih Tuhan mengatasi batas-batas doktrin teologis .
Mengingat pluralitas agama di Indonesia adalah fakta historis-sosiologis serta memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum, maka salah satu agenda penting yang muncul adalah bagaimana usaha kita supaya pluralistas menjadi aset bangsa? Dan hal ini jangan sampai malah menjadi sumber konflik dan friksi sosial-politis yang menggerogoti persatuan dan kemajuan bangsa.
Dialog kontemporer antar-antar agama ditengah masyarakat dewasa ini memang berangkat dari asumsi mendasar tentang kenyataan pluralisme kehidupan beragama. Pluralisme menjadi konteks baru bagi kehidupan agama-agama, yang pada gilirannya akan memberikan corak yang sama sekali berbeda dengan pertemuan antar-agama di masa lalu. Corak pertemuan antar-agama yang baru akan dipengaruhi oleh tantangan yang baru yang muncul dari konteks pluralisme agama dan sekaligus oleh kesadaran yang baru tentang pluralisme tersebut. Berdasarkan kesadaran tersebut dibutuhkan pula basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas, serta seluruh kiprah agama-agama di masyarakat.
Paper ini mencoba melihat perkembangan dialog antar-agama di Indonesia maupun di negara-negara yang lain dalam konteks penelitihan teks. Teks-teks yang dipakai adalah beberapa surat kabar dan majalah selama bulan Agustus 2004.
II. Uraian Kliping
Politik
Berbagai tindakan kekerasan politik negara yang berselubung isu agama, telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan beragama di Indonesia . Konflik di sejumlah daerah, seperti Poso dan Ambon adalah kekerasan politik. Agama digunakan untuk mengalih perhatian atau membakar persoalan yang baru .
Campur tangan pemerintah dalam urusan hidup umat beragama kembali dipertanyakan kembali oelh sejumlah tokoh agama. Hal ini berkaitan dengan Penpres No1/1965 tentang pencegahan penodaan Agama. Dalam pandangan para tokoh agama, Penpres No 1/1965 bisa menjadi ancaman terhadap hak masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan masing-masing . Penpres ini tidak relevan lagi karena saat ini karena terlalu memberikan kewenangan kepada pemerintah kepada pemerintah untuk ikut campur dalam persoalan keyakinan warga negaranya.
Dampak kebijakan politik negara dengan munculnya berbagai macam peraturan membuat negara terlalu ikutcampur dalam persoalan agama. Persoalan yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi terhadap agama tertentu. Misalanya, pada Penpres No 1/1965 ayat 1 yang berbunyi, ” ...Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu” . Dan beberapa aliran dilarang oleh pemerintah. Di sini jelas-jelas memuat peranan politik, karena sebenarnya negara Indonesia mengakui keberadaan agama dan keyakinan seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Namun dibalik permasalah campur tangan negara dalam kehidupan beragama, Indonesia masih memiliki Pancasila. Pancasila oleh bangsa Indonesia telah diterima sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi negara yan terbuka dan inklusif memungkinkan masyarakat yang majemuk untuk bersatu padu.
Semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” digunakan dengan pengandaian adanya kerukunan nasional yan inheren. Munculnya semboyan itu bukan hanya menggambarkan apa yanag telah ada, tetapi terlebih-lebih mengingat bahwa ada suatu kerja keras yang harus dilakukan untuk memeliharanya, karena kerukunan dalam kemajemukan bukan sesuatu yang sendirinya ada.
Kemantapan kerukunan agama-agama dalam hidup bernegara adalah prasyarat keberhasilan baik untuk mengatasi krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia untuk melanjutkan pembangunan nasional. Umat beragama justru perlu memberikan sumbangannya secara positif dan bukan sebaliknya mencuatkan perbedaan sempit yang dapat memicu konflik, yang mempersulit keadaan serta mengancam persatuan bangsa.
Moral
Tokoh dari lintas agama melakukan pertemuan dengan calon presiden dari PDI-P, Megawati Sukarnoputri dan dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menyodorkan Kerangkat Kebersamaan Minimal(KKM) yang disebut SBY sebagai kontrak moral .
Kepedulian para tokoh agama terhadap kehidupan moral masyarakat merupakan bentuk kesadaran semua agama akan penting nilai-nilai moral. Mereka meminta para calon presiden untuk membuat komitmen minimal. Komitmen minimal ini berkaitan dengan kehidupan moral para pemimpin.
Kehidupan bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai terpaan badai krisis multidimensional. Mengapa? Perilaku moral para pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sebuah sistem yang selalu ada dan akan terus ada dalam pemerintahan.
Implementasi kontrak moral bukan untuk para pemimpin bangsa tetapi juga untuk masyarakat seluruhnya . Kehidupan moral masyarakat Indonesia semakin hari semakin suram. Banayak contoh yang bisa diambil seperti; pornografi dan pornoaksi. Menghadapi fenomena ini perlu pemikiran yang matang dari para pemimpin. Fenomena pronografi dan pornoaksi yang sangat terbuka dapat melunturkan nilai-nilai dan norma dalam hidup masyarakat Indonesia. Di sini para tokoh agama dalam kontrak moralnya mengharapakan agar pemerintah membuat sebuah regulasi yang mampu menjawab keresahan-keresahan masyarakat, hal ini berkaitan dengan kehidupan moral para penerus bangsa.
Pendidikan Agama Multikultural
Pendidiakn agama di sekolah-sekolah umum sering mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Pendidikan agama dipandang tidak berhasil dalam membentuk perilaku dan sikap keagamaan yang mencerminkan imtak( iman dan takwa), juga dipandang kurang berhasil dalam menumbuhkan sikap toleran dalam menghadapi perbedaan-perbedaan diantara umat beragama.
Dikalangan umat Islam sendiri terdapat banyak perbedaan dalam hal-hal keagamaan, khususnya menyangkut masalah cabang bukan hal-hal pokok . Meski demikian, pertikaian dan konflik bisa muncul jika perbedaan-perbedaan itu tidak disikapi umat secara bijaksana. Kebijaksanaan dan kearifan untuk secra toleran melihat perbedaan dan keragaman, tidak bisa datang dan tumbuh sendiri, melainkan harus ditanamkan dan dikembangkan. Di sini peran sekolah dan lemabaga pendidikan lainnya menjadi sangat krusial.
Karena itulah pendidikan agama tetap dibutuhkan, tentu dengan orientasi baru . Pertama, dengan menekan perspektif multikulturalisme yang pada dasarnya menekankan adanya pengakuan dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan yang memang tidak bisa dielakan umat beragama manapun. Kedua, memperbaiki metode pembelajaran yang berorientasi multikultural tersebut, dari penekanan yang terlalu kuat pada aspek kognitif kepada afektif dan psikomotorik. Ketiga, peningkatan kualitas guru baik dari sudut pemahaman atas agamanya sendiri maupun agama lain, sehingga mereka sendiri dapat memiliki perspektif multikultural yang tepat.
Wacana tentang pendidikan agama dalam perspektif multikulturalis merupakan sesuatu yang baru. Gagasan dan pembahasan tentang pendidikan agama multikultural, bahkan dalam segi-segi tertentu bisa dikatakan masih cukup sensitif, khususnya mengingat terjadi kontroversi sangat tajam menjelang penetapan UU No.20 tentang Sisdiknas 2003 lalu.
III. Analisis dari Beberapa Sudut Pandang
Gambaran kenyataan situasi tidak mengenakan dalam hubungan antar umat beragama yang dikemukakan di atas, kiranya perlu mendapat analisa dari beberapa sudut pandang. Pada pokok ini penulis berusaha memaparkannya, dengan harapan dapat memperjelas peran dialog antar agama khususnya di Indonesia.
Politik
Pembicaraan tentang politik tentu tidak jauh kaitannya dengan tata pemerintahan, dan kekuasaan . Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, kiranya kita perlu melihat lagi isi dari pasal 29 UUD 1945 (ayat 1 dan 2), yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa negara kita tidak didasarkan atas agama tertentu tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengannya. Kebijaksanaan ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari hidupnya beberapa ajaran agama di Indonesia. Dalam tatanan ini jelas bahwa kebebasan memeluk agama (atau bahkan untuk tidak beragama ?) merupakan hak asasi manusia yang bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menghadapkan konsep ini dengan pelbagai kenyataan yang terjadi di Indonesia, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Di mana peran negara dalam menjalankan kuasanya menjamin kebebasan beragama ? atau, justru karena berusaha melanggengkan kekuasaan negara atau berbagai pihak lain menggunakan agama sebagai alatnya ? atau gejala lain yang dapat disebutkan adalah gejolak politik masyarakat yang sebenarnya sudah tidak puas dan tidak percaya lagi pada pemerintahan yang sedang berlangsung. Ini berarti agama tidak lagi berada dalam ruang privat sebagaimana yang dicita-citakan UUD 1945. Agama telah masuk dalam ruang publik di mana tidak ada lagi rasa aman dalam memeluk atau bahkan menjalankan ibadah menurut ajaran agamanya. Kejadian yang sama yang berlangsung terus menerus di beberapa daerah di Indonesia menandakan secara institusi agama sudah ditunggangi maksud-maksud kotor politik. Hal ini juga berarti agama atau umat beragama sendiri tidak lagi mampu mengaktualisasikan ke- agama-annya dalam berbagai bidang kehidupan.
Sosiologi
Secara sosiologis agama sebenarnya lebih dipandang dari sisi institusi, ia merupakan kelompok orang yang terorganisasi dan secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama tertentu . Dalam sosiologi agama yang mengamati dan mempelajari hubungan antara lembaga agama dengan lembaga sosial lainnya sebenarnya tampak bahwa agama tidak sama seperti kebanyakan lembaga sosial. Ia lebih didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supra natural atau Yang Transenden. Maka, kekuatan mengikatnya lebih kuat dibanding lembaga sosial biasa. Melihat hal ini dalam sosiologi diakui juga bahwa adanya banyak agama yang berbeda-beda cenderung mengakibatkan konflik (disamping dapat juga mengalami kecenderungan yang lain yaitu kerja sama). Salah satu kenyataan yang dapat kita lihat adalah di Indonesia, meski sekali lagi mesti diklarifikasi apakah itu betul konflik antar agama.
Dari sudut pandang sosiologis, sebenarnya dimungkinkan juga bahwa dalam konflik antar agama biasanya tidak secara langsung berhubungan dengan doktrin atau ajaran agama tertentu, melainkan merupakan permainan politik memperebutkan kekuasaan. Dalam tatanan ini kiranya agama menjadi alat atau sasaran empuk permainan politik, dengan sedikit mengutak-atik rasa fanatisme. Beberapa kasus kerusuhan di Indonesia yang berbau agama kiranya memunculkan gejala yang sama. Kebanyakan orang tidak tahu secara persis apa permasalahannya sehingga ikut membakar masjid atau gereja dan sebagainya. Dalam hal ini agama telah menjadi sebuah institusi yang kekuatannya begitu dahsyat untuk menghancurkan kelompok lain.
Antropologi
Bicara tentang kajian antropologis, kita tidak dapat meninggalkan unsur kultural atau budaya. Kajian Antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya masyarakat dan kebudayaannya . Dalam kajian ini jelas kita akan melihat begitu banyak perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bahkan, mungkin perbedaan itu nampak meski dua orang manusia berasal dari masyarakat dan kebudayaan yang sama. Dalam kaitannya dengan berbagai macam kasus kekerasan yang melanda Tanah Air, Antropologi hampir dapat memastikan bahwa kolektivitas yang kuat sehingga membentuk kebudayaan yang menyimpang kiranya dapat diamati dalam berbagai macam kasus tersebut. Budaya kekerasan yang tampil merupakan produk spontan dari ketegangan yang telah berlangsung lama. Dalam perkembangan antropologisnya manusia yang satu mengalami berbagai macam tekanan dan suasana ketidakpastian yang membuat mereka tidak puas dengan produk budaya yang birokratis dan lamban. Gerakan “revolusioner” dalam arti tertentu lebih mendapat perhatian, apalagi dalam suasana kemajemukan di mana kepentingan setiap orang berbeda-beda dan selalu dapat bersinggungan satu sama lain.
Filosofi
Sebuah pertanyaan yang sering terlontar berkaitan dengan berbagai kerusuhan antar agama yang terjadi di tanah air adalah, “Apakah benar ini konflik agama ?”. Dalam arti tertentu pertanyaan ini merupakan awal pengupasan masalah dari sudut pandang filosofis. Apakah mungkin sesama Bangsa Indonesia, sanak saudara, saling bunuh hanya karena ia berbeda agama dengan kita. Banyak yang mengatakan tidak mungkin, tapi itu yang menjadi kenyataan. Dipandang dari sisi filsafat manusia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah hakekat manusia itu sendiri. Salah satu gambaran manusia dapat dilihat bahwa manusia selalu hidup dan mengubah dirinya dalam arus situasi kongkrit . Manusia adalah bagian dari sejarah dan dalam arti tertentu ikut menentukan sejarah. Dalam usahnya itu ia berusaha bergerak secara dinamis dan berusaha memperoleh pengertian tentang kebenaran. Agama menjadi salah satu usaha pencarian manusia dalam mencapai kebenaran, maka tentu ia akan tetap berpegang teguh pada apa yang dianggapnya akan membawanya pada kebenaran, dan dengan sigap berusaha mempertahankannya dari serangan pihak luar.
IV. Dokumen Gereja tentang Dialog
“Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah, Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra dan kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.” (Nostra Aetate art. 5). Pernyataan ini kiranya bukan dikonsepsikan secara sembarangan. Dari sini sebenarnya tampak sekali bahwa Gereja sungguh menyadari “locus”nya. Gereja sadar betul tempatnya berpijak adalah dunia, sebuah tempat baginya dan umat lainnya berziarah menuju Kebenaran Abadi. Dalam perjalanan peziarahannya itu Gereja membuka mata dalam hubungannya dengan umat lain, yang juga berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini. Berhubungan dengan mereka, Gereja mengambil sikap mulia sesuai dengan ajaran Yesus Sang Guru Utama, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap akal budimu, dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, kasihilah sesamamu manusia seperti seperti dirimu sendiri” (Mat 22 : 37- 38), dan “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 44). Hubungan cinta menjadi sesuatu yang dapat mengalahkan segalanya. Dan, hanya orang yang mampu mencintai yang kiranya berhak disebut sebagai Anak-anak Allah (1 Yoh 4 - 8).
Berangkat dari berbagai pemahaman mulia dan menengok beberapa kasus konflik yang terjadi di Tanah Air, Gereja Katolik Indonesia baik dalam skala nasional maupun lokal, banyak kali mengeluarkan seruan (entah lewat surat gembala atau dalam bentuk lain), untuk terus mengusahakan kasih lewat dialog antar agama dan lintas iman. Dalam surat gembala Prapaskah Uskup Agung Jakarta tahun 1999, misalnya. Persaudaraan sejati menjadi menjadi salah satu pokok penting yang dibicarakan. Sekali lagi dengan bersandar pada semangat kasih dan tidak melupakan unsur manusiawi (humanitas), Gereja hendaknya terus mengusahakan pembangunan persaudaraan sejati dengan dialog.
Bahkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, 2000 lalu, dialog antar agama mendapat perhatian yang cukup. Harapan yang sempat dicatat oleh seorang teolog Indonesia, Banawiratma adalah sebagai berikut, “Dalam komunitas basis lintas iman, penghayatan iman yang berbeda-beda dapat bersama-sama berusaha mencari dan menemukan rahasia dari yang menghendaki dan menentukan hidup serta mengikutiNya. Pada tingkat ini terjadi suatu interreligious dialogue, dimana seseorang memasuki pengalaman iman lain dan mengalami transformasi internal. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman lain akan saling memperkaya untuk memasuki rahasia iman itu sendiri (Symbiosis Synergy)
V. Pendirian Semifinal(Hipotesis) Pluralitas Diterima, Dialog Diusahakan
Mencermati seluruh paparan dan analisis panjang lebar di atas, agaknya ada satu hal yang harus kita akui bersama sebagai kenyatan yang tidak dapat kita hindari dalam realita kehidupan beragama. Hal tersebut adalah pluralitas agama. Ada berbagai macam agama hidup dan berkembang di Tanah Air, dan kiranya ini menjadi sebuah kenyataan yang sama sekali tidak dapat dihindari. Sebuah konsekuensi logis dari hal tersebut adalah, mau atau tidak mau kita yang hidup bersama di Bumi Indonesia ini, harus menjalin hubungan dengan mereka yang tidak se-agama dengan kita. Ini merupakan hal yang wajar dan mesti terjadi. Memang ada banyak kendala dan halangan dalam berhubungan namun, bukan berarti itu tidak perlu atau tidak dapat diusahakan. Salah satu jalan yang ditawarkan adalah dialog antar agama. Dialog antar agama menjadi begitu penting ketika kita umat Kristen Katolik mau menjalin hubungan dengan pihak lain yang tidak sealiran. Maka, kiranya kita tidak dapat mengatakan tidak, pada dialog sebagai salah satu solusi pluralitas. Dialog terutama antar agama, di satu pihak menjadi tantangan di tengah berbagai macam suasana chaos negeri ini. Keberanian umat Katolik menyebarkan kasih dalam hal ini mendapatkan ujiannya karena “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat. 10:16). Namun, di lain pihak dialog antar agama merupakan peluang yang harus terus dicari dan dimanfaatkan untuk menjadikan suasana negeri ini menjadi lebih baik.
Sebuah rekomendasi pastoral yang kiranya perlu diungkapkan di sini adalah pembentukan wadah atau komisi khusus dalam tiap paroki untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan dialog antar agama. Kebutuhan semacam ini kiranya menjadi penting karena sekali lagi kita berhadapan dengan kenyataan pluralitas agama. Maka tidak cukup sebenarnya jika paroki hanya sekedar mengadakan sarasehan, seminar, workshop atau kegiatan lain yang sifatnya hanya aksidental. Umat dalam paroki Gereja Katolik kiranya harus juga mulai membentuk wadah atau komisi khusus dalam dewan paroki yang memperhatikan khusus masalah dialog antar agama. Dari sini sebenarnya dapat dengan mudah difasilitasi berbagai macam kegiatan yang akan diadakan, baik inisiatif dari umat anggota paroki yang bersangkutan atau kelompok umat beragama lain yang diajak dialog. Sebagai umat Katolik, kiranya kita perlu juga membuka diri, berani berinisiatif, dan dengan hati tulus bermaksud mewujudkan persaudaraan sejati dengan mulai berdialog dengan agama lain. Menjadi orang Katolik bukan sekedar ikut perayaan ekaristi atau berbagai macam kegiatan lain yang sifatnya altar-sentris, tetapi juga berani “terjun ke pasar”, berani membawa kasih kepada semua orang yang membutuhkan.
Akhirnya harus dikatakan sekali lagi bahwa perbedaan (pluralitas) kiranya dapat menjadikan dunia lebih indah, jika disusun sedemikian rupa dan menghasilkan harmoni. Perbedaan tidak perlu ditonjolkan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perpecahan, namun baiklah kalau kita lebih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mempersatukan dan menguatkan. Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita refleksikan sebuah pernyataan Hans Küng dalam pengantar karya Paul Knitter, One Earth Many Religions:
“Agama-agama dunia dari pada membuat garis pemisah satu sama lain,
lebih baik mengakui tangung jawab mereka untuk bekerja sama,
demi terciptanya keadilan yang menyeluruh, damai yang lebih mendalam,
dan sebuah hubungan yang lebih dapat dipertahankan dengan keseluruhan hidup.”
Paper mata kuliah Dialog Antaragama: STF DRIYARKARA
Daftar Pustaka
Sumber Utama
CSIS. 2004. Toleransi Kehidupan Beragama( Kliping). Jakarta.
Kompas Bulan Agustus 2004
TEMPO, Bulan Agustus 2004.
Sumber tambahan
Banawiratma, J.B., Komunitas Basis Gerejani, Komisi Kateketik KWI, 2000
Drijarkara, N.J., Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, 2003
Hardawiryana, SJ.,R.(terjemahan), Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan, Dokumentasi dan Penerangan KWI dan Penerbit Obor, 1993.
Hunt, Chester L., dan Horton, Paul B., Sosiologi, Penerbit Erlangga 1991.
Knitter, Paul F., One Earth Many Religion: Multifaith Dialog and Global Responsibility, Orbis Book, New York, 1996.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia jilid 1 dan 5, Penerbit A.N. B.I. K.I Ichtiar Baru- Van Holve, 1984.
Langganan:
Komentar (Atom)