Dalam sejarah umat manusia, Islam dianggap sebagai penerima wahyu terakhir sampai datangnya hari kiamat. Di sini perlu dijelaskan mengenai urutan proses dan tingkatan diri wahyu tersebut. proses pewahyuan terjadi karena kehendak Tuhan, namun tingkat keimanan seseorang juga mempengaruhi penerimaan wahyu itu sendiri.
Setiap wahyu mempunyai fungsi tersendiri sesuai zaman turunnya wahyu itu. Perubahan kualitas di dalam kehidupan terestrial menuntut perubahan segi pemikiran manusia yang secara otomatis pula menuntut adanya penundaan dan dispensasi baru dari Tuhan. Dispensasi atau keputusan baru itu menandakan awal dari sejarah manusia.
Filsof Karl Jaspers menyebut periode ini sebagai abad primitif. Namun ternyata melahirkan beberapa kebudayaan besar, seperti Konfusius, Lao Tze, Taoisme, agama Shinto, Budha Gautama, Zoroaster dan masih banyak lagi. Selain itu masih ada lagi paham Pitagorianisme yang sangat penting dalam kehidupan spiritual orang Yunani kuno. Banyak pula nabi-nabi Yahudi pada masa ini.
Orang akan mengira bahwa penurunan wahyu akan dihentikan pada abad primitif itu. Akan tetapi, kemunduran agama-agama Yunani dan Romawi di sekitar Laut Tengah serta melemahnya agama-agama Eropa bagian timur menciptakan kekosongan nilai yang hanya dapat diisi dengan wahyu yang baru. Maka ajaran Kristen pun diturunkan. Demikian pula yang terjadi dengan Persia.
Kelemahan internal agama Zoroaster dan agama-agama lain di wilayahnya masing-masing menciptakan kekosongan baru yang harus segera diisi. Karenanya, Islam turun untuk menegaskan kembali doktrin keesaan Tuhan secara utuh dalam skala universal setelah abad primitif dan masa kemunculan agama Kristen. Walaupun kelompok-kelompok keagamaan yang kecil bermunculan di sana-sini, tidak akan ada ajaran yang mapan setelah Islam.
Sebagai agama terakhir dari proses panjang pewahyuan ini, Islam tidak hanya berhubungan erat dengan ajaran-ajaran monoteisme lainnya, Yahudi dan Kristen, tetapi juga memiliki kaitan batin dengan agama-agama abad primitif dan juga Hindu. Persepsi keterkaitan inilah yang memudahkan Islam untuk menggabungkan beberapa ajaran kebaikan dan kebijaksanaan dari berbagai agama.
Al-Quran
Al-Qur’an, yang berarti bacaan, disepakati oleh semua muslim sebagai wahyu Kata-kata literal Tuhan yang diturunkan ke dalam hati, pikiran dan jiwa nabi Muhammad melalui malaikat penjaga wahyu, Jibril. Al-Quran adalah penampakan Tuhan yang utama dalam Islam dan sumber fundamental bagi konsepsi Islam tentang filsafat, kosmologi, teologi, hukum, etika dan sejarah, dan sekaligus menjadi pandangan dunia. Tidak ada satu kitab suci pun yang memiliki pengaruh begitu besar bagi umatnya selain Al-Quran bagi umat Islam.
Bagi umat Islam, Al-Quran adalah Kata-kata Tuhan, kalimat Allah. Segi lahir dan batin Al-Quran adalah sakral. Yang dimaksud dengan segi lahir adalah teks bahasa Arab, sedangkan segi batin adalah jiwa Al-Quran itu sendiri. Al-Quran yang berbhasa Arab adalah seperti tubuh Yesus dalam Kristen.
Seluruh teks Al-Quran berisikan 114 surah dan lebih dari 6.000 ayat diturunkan kepada Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah dalam jangka waktu 23 tahun selama masa kenabiannya. Diyakini bahwa Tuhan memberikan kepada setiap nabi suatu mukjizat sesuai dengan yang dibutuhkan pada zamannya. Maka Tuhan mengirimkan sebuah kitab yang paling indah dan baik dari semua karya sastra Arab. Dan memang mukjizat paling besar dalam Islam adalah keindahan bahasa dan nilai sastra dalam Al-Quran. Karena keindahannya, banyak umat Islam telah dibuatnya menangis karenanya. Keindahan bahasa Arabnya membawa efek psikologis tertentu dan menggerakkan jiwa menuju Allah.
Al-Quran memuat beberapa ajaran pokok. Al-Quran berbicara tentang hakikat realitas, yaitu realitas Tuhan dan hubungannya dengan realitas alam dunia. Al-Quran menjelaskan panjang lebar hakikat alam dan dapat diesbut sebagai pembahasan area kosmos Islam yang terkait dengan proses pewahyuan Al-Quran. Dibicarakan juga tentang kehidupan para nabi sebagai pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup pada zaman ini. Urutan pembahasan berikutnya adalah aturan-aturan bagi individu dan masyarakat yang merupakan sumber paling utama hukum Islam. Selanjutnya, Al-Quran mengulang-ulang ajaran-ajaran etika dan pentingnya menjalani kehidupan yang bermoral dan terhormat. Terakhir, Al-Quran juga berbicara tentang peristiwa-peristiwa hari kiamat, akhir alam dunia, hari pembalasan,surga, kehidupan hari akhirat, dan neraka.
Nabi agama Islam
Al-Quran menjelaskan banyak hal tentang Nabi Muhammad (selanjutnya akan disebut Nabi). Disebutkan bahwa Nabi adalah seorang manusia biasa, bukan Tuhan, tetapi ditekankan bahwa Tuhan telah memilihnya sebagai utusan terakhir, “Nabi Penutup”, sehingga beliau diberi keutamaan dan kemuliaan serta dijadikan model untuk diikuti umat Islam. Seluruh umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah atau kebiasaan-kebiasaan Nabi karena Nabi adalah Manusia Universal (Al-Insân Al-Kâmil).
Muhammad, berarti “yang paling terpuji”, adalah seorang yatim piatu sejak masa mudanya. Ia seorang yang jujur dan tulus sehingga diberi gelar Al-Amin (yang terpercaya). Beliau mempunyai kecenderungan kontemplatif yang kuat yang menyebabkannya sering bertafakur dan berkhalwat di pedalaman gua-gua. Beliau percaya kepada satu Tuhan sejak sebelum diangkat menjadi seorang nabi. Seorang pendeta Kristen, Bahirah, pernah meramalkan bahwa beliau akan menjadi seorang Nabi.
Istri pertamanya adalah seorang saudagar Makkah yang tertarik dengan kejujurannya. Nama perempuan itu Khadijah. Usianya lima belas tahun lebih tua dari Nabi. Sampai usia 50 tahun, Nabi menjalani kehidupan monogami tak terceraikan hingga kematian Khadijah. Hanya pada masa akhir hidupnya, Nabi melakukan poligami yang sebagian besar disebabkan oleh alasan politik, yaitu untuk menyatukan berbagai suku di jazirah Arab.
Nabi mendapat wahyu pada usia 40 tahun. Pertama kali hanya beberapa orang terdekat yang mempercayainya. Ajarannya adalah pesan monoteisme mutlak di satu kota yang menjadi pusat politeisme. Maka terjadi beberapa kali usaha pembunuhan terhadap Nabi dan pengikutnya. Mereka pun akhirnya pindah (al-hijrah), atas perintah Tuhan, dari kota Yastrib ke kota Makkah. Perpindahan ini merupakan titik awal bagi sejarah Islam yang kemudian berkembang dari sekelompok kecil pengikut menjadi satu bentuk komunitas yang sempurna.
Sebelum peristiwa hijrah itu, Nabi mengalami satu peristiwa penting. Peristiwa ini disebut al-mi’raj. Dalam peristiwa ini, Nabi menaiki seekor kuda supernatural yang bernama Al-Buraq melewati semua langit dan menuju ke hadapan Tuhan. Perjalanan ini menjadi idealisasi semua perjalanan spiritual dalam Islam. Dalam pertemuannya dengan Tuhan, Nabi menerima wahyu yang merupakan inti ajaran Islam : “Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman...”
Tiga kota yang suci bagi umat Islam adalah Makkah, Madinah dan Yerusalem. Yerusalem diyakini sebagai tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa eskatologis. Madinah, yang disebut sebagai kota Nabi, dianggap suci karena di situlah terbentuk masyarakat Islam yang pertama. Setelah mengalahkan lawan-lawan perangnya, Nabi kembali ke Makkah untuk melakukan pembersihan Ka’bah terhadap semua berhala. Tindakan ini kemudian diikuti oleh semua orang Islam dan dikenal sebagai ibadah Haji.
Nabi wafat dengan meninggalkan wilayah Arab dalam keadaan bersatu, ia meninggalkan perdamaian di antara suku-suku yang sebelumnya bertikai.
Nabi memberikan keteladanan moral kerendahan hati, kemuliaan, keluhuran budi dan ketulusan. Menurut umat Islam, Nabi adalah model sempurna dari kebaikan total terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia. Cinta kepada Nabi adalah kewajiban semua umat Islam dan bahkan merupakan aspek mendasar bagi keimanan umat Islam. Kecintaan terhadap Nabi, baik Nabi Muhammad maupun nabi-nabi yang hidup di alam Islam, adalah kecintaan terhadap Tuhan.
Umat Islam tidak menganggap ajaran Islam bersifat eksklusif hanya karena ajaran Nabi menjadi agama penyempurna. Dalam pengertian filosofis, Nabi adalah manifestasi dari makrifat dan juga makrifat itu sendiri, yang merupakan awal perjalanan kenabian sekaligus akhirnya. Sebagai akhir dan penutup, Nabi secara esensial dan batiniah menampung ide dan fungsi keseluruhan kenabian dalam dirinya.
Mengucapkan salam kedamaian atas Nabi sangat penting bagi umat Islam. Doa kedamaian adalah satu-satunya doa yang bagi umat Islam dilakukan bersama-sama oleh Tuhan dan manusia.
Menghormati Nabi Muhamad tidak berarti tidak menghormati nabi-nabi sebelumnya sebagaimana tergambar dari banyak hadis. Perkataan-perkataan Nabi (Hadis) dalam bentuk jamaknya Ahadits, dikumpulkan setelah kematian beliau dan setelah melakukan penelitian kritis, disatukan dalam bentuk kitab oleh ulama-ulama sunni dan juga syi’ah. Secara tekhnis, Haddis adalah bagian dari sunnah, yang artinya seluruh perkataan, perbuatan, dan kebiasaan-kebiasaan Nabi. Sunnah merupakan model di mana orang muslim mendasarkan hidupnya.
Sikap Islam Terhadap Agama Lain Dalam Sejarah
Islam merupakan agama wahyu yang mengalmi kontak langsung dengan hampir semua agama mayoritas yang ada. Islam telah berhadapan dengan agama Yahudi dan Kristen di tempat kelahiran Islam sendiri di Arab dan selatan palestina, suriah dan Mesir. Di daerah-daerah lain dia berjumpa denga agama-agama lain seperti Buddha, Hindu, Konhucu, Taoisme, Zoroaster, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya.
Dengan dasar Doktrin Al-Quran tentang universalitas keimanan dan sejumlah pengalaman historis yang bersifat global, budaya islam berkembang ke arah perspektif keagamaan yang mendunia dan kosmopolitan yang sama sekali tidak sebanding dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi dalam agama lain sebelum abad modern.
Dalam konteks keagamaan yang global ini, tentu saja ajaran agama Yahudi dan Kristen merupakan ajaran kemana Islam memiliki keterhubungan yang paling kuat. Orang yang mematuhi Al-Quran dan memahami ajarannya akan menghormati nabi-nabi Yahudi termasuk Yesus dan Maria dalam Kekristenan. Islam melihat dirinya sebagai agama Ibrahim ketiga , yang ketiga-tiganya bersesuaian dalam sejumlah doktrin teologis, etika, dan peristiwa-peristiwa gaib, walaupun satu dengan yang lainnya ditandai dengan perbedaan yang diinginkan Tuhan sendiri. Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan terputuskan dari rumpun agama Ibrahim dan memandang dirinya sangat terkait erat dengan kedua agama monoteis yang mendahuluinya. Islam menggambarkan dirinya sebagai pelengkap kedua agama tersebut dan bentuk terakhir dari monotheisme Ibrahim, memperkuat ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, tetapi menolak segala bentuk ekslusivisme.
Siapakah Orang Beriman dan Siapakah Orang Kafir
Di dalam Al-Quran, iman menunjukkan pelaksanaan agama yang lebih baik dan mendalam, dan malah saat ini hanya orang-orang yang menjalankan agama mereka secara serius dan berbuat baik yang dinamakan mukmin atau orang beriman. Namun Islam tidak membatasi istilah mukmin hanya pada pemeluk agama Islam, tetapi ditunjukkan juga kepada orang yang beriman dari golongan agama lain. Dengan demikian siapa saja yang percaya pada Tuhan yang Esa atau “prinsip tertinggi” adalah orang yang beriman atau mukmin, dan yang tidak percaya adalah seorang yang ingkar atau kafir, terlepas dari apapun suku dan identitas keagamaan eksternal dan nominal orang tersebut.
Akan tetapi terjadi juga beberapa periode sejarah di mana istilah beriman hanya diperuntukkan bagi orang islam dan kafir mengacu pada warga non muslim, seperti pada masa imperum ‘utsmaniayah’ yang di dalamnya urang eropa dipanggil kuffar. Selain itu menjadi lebih sulit juga karena ternyata dalam sejarah ada sekelompok Islam tertentu yang mengecap kelompok muslim lainnya “kafir”, sebagaian menganggap yang lain musuh.
Namun yang menjadi initinya di sini adalah perlulah dilihat kembali permasalahan siapa yang disebut “orang percaya” atau mukmin atau kafir membutuhkan jawaban yang analitis dan mendalam dari pada yang bisa diberikan oleh buku-buku yang pada umumnya tersedia.
Islam dan Pluralisme Agama Sekarang Ini
Kaum muslim terus bersentuhan dengan kehadiran masyarakat agama lain disekeliling mereka sebagaimana halnya pada abad-abad yang lalu. Misalnya, di tengah-tengah Islam terdapat minoritas-minoritas kristen, yang terbesarnya ada di Mesir. Ada juga agama-agama minoritas lain seperti Yahudi, Zoroaster, Hindu, Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme yang menyebar diberbagai agama Islam. Dalam sejarah kehidupan mereka berlangsung baik dan harmonis.
Hanya saja dalam kondisi-kondisi tertentu, ketika terjadi situasi politik yang memanas, hubungan antara kaum muslin dan agama-agama lain kemudian berubah karena diperalat. Selain itu rusaknya hubungan yang harmonis ini dipengaruhi oleh misioaris bebagai agama terutama kristen yang cendrung memaksa orang yang sudah beragama untuk masuk kristen. Hal ini bertentangan dengan yang dilakukan penginjil abad pertenahan yang datang berusaha beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga mereka dihormati dan disegani tanpa usaha mengubah agama penduduk setempat.
Al-Quran mengatakan tidak ada paksaan dalam beragama (QS AL-Baqarah [2]:256). Justru menurut Islam keyakinanyang dipaksakan adalah penghinaan terhadap Tuhan dan marabat yang telah diberikan Tuhan. Mengenai masalah pindah agama (irtida`d) yang akan dihukum mati jika pindah agama. Hukum ini berlaku karena sebelum zaman modern orang menganut agama islam berarti menjadi warga negara Islam. Berarti yang dipersoalkan bukan hanya pindah agama tetapi juga menyangkut kewarganegaraan. Mengenai aturan ini banyak ditentang oleh piak Islam sendiri dan pelaksanaannya pun tidak konsisten.
Intinya bagi mayoritas muslin, doktrin universalitas agama dalam AL-Quran dan beragamnya nabi yang membawa risalah Tuhan yang satu masih menggema kuat di hati dan jiwa mereka. Mereka selalu ingat akan banyaknya ayat Al-Quran yang berkenaan dengan realitas satu Tuhan dan beragam wahyu yang diturunkan-Nya.
Ringakasan Buku: Paper Islamologi; STF Driyarkara

Custom Search
Sabtu, 20 Desember 2008
Agama dan Kekerasan
Dalam perjalanan sejarah, agama memiliki banyak fungsi dalam masyarakat pluralistik. Beberapa intelektual dan pemimpin agama setuju bahwa agama banyak berperan dalam mendukung perdamaian, harmoni dan peradaban. Akan tetapi, ilmuwan lain berpendapat bahwa agama merupakan sumber konflik dan kekerasan. Pandangan terakhir ini didukung oleh banyaknya peristiwa kekerasan agama di seluruh dunia.
Kekerasan yang bersifat keagamaan sangat komplikatif dan untuk memahaminya membutuhkan penyelidikan mendalam. Kekerasan tidak dapat dilepas dari “kejelekan” agama dengan mengacu pada adanya pandangan atau pembedaan oleh masyarakat untuk memberi label agama yang jelek dan agama yang baik. Namun benarkah agama melegitimasi kekerasan dan mengandung kekerasan? Atau adakah faktor-faktor lain yang berperan dibalik?
Agama sumber Kekerasan?
Dunia agama telah membuat sebuah pemisahan antara orang beriman dan tidak beriman yang memungkinkan muncul kekerasan. Kelompok yang merasa diri bahwa agama mereka adalah satu-satunya yang benar memiliki sedikit simpati atau toleransi bagi kelompok yang berbeda. Sangat jelas dalam Perjanjian Lama memerintahkan melawan dengan kekerasan kelompok lain yang tidak percaya. Contohnya dalam Bilangan 13:7-18 dan dalam Ulangan 13:6-9.
Islam juga, mewarisi kemutlakan monastik Yudaisme dan Kristianitas, menyetujui kekerasan atas nama agama. Hal ini ditunjukkan dalam Sura 9: 5,28,123. kekerasan dapat dilakukan demi membela diri apabila hukum mereka diganggu dan adanya penyalagunaan kekuasanan dalam masyarakat(bandingkan juga dalam Sura 2.217)
Agama Hindu juga dalam kitab klasik muncul dalam Bhagavad Gita, di dalamnya melegalkan kekerasasn dan perang di mana Arjuna berperan sebagai kesatria yang memimpin perang. Dalam hal ini dan jalan ini, kekerasan adalah hukum dan benar-benar diberi kuasa dalam agama. ( Ortner, 1978).
Hampir semua kelompok keagamaan mempunyai sejarah episode kelam kelompok mereka karena kekerasan yang mereka alami. Tapi tidak semuanya melakukan perang, tidak semua membuat institusi militer yang dipakai baik untuk mempertahan diri maupun untuk menyerang kelompok lain, bahkan untuk menduduki suatu wilayah tertentu, atau untuk membasmi kelompok kepercayaan lain.
Perang suci akhirnya malah menjadi agama universal. Yang bukan hanya cara untuk mempertahankan kebenaran yang diyakini, tetapi malah menjadi objek kompetisi dengan agama lain. (dengan segala hormat saya kepada saudara-saudari umat Islam) Islam adalah agama yang paling dekat dengan asosiasi kekerasan dengan doktrin jihad mereka. Tapi konsep Kristen tentang Crusade juga kurang lebih sama dengan jihad. Dua-duanya berakar pada doktrin yang dalam bahasa Ibrani disebut milhemet mitzvah, yaitu kewajiban perang. Milhemet mitzvah juga diizinkan untuk mempertahankan diri, untuk mencegah serangan. Meluaskan wilayah kekuasaan Tuhan adalah kewajiban. Perang kuno di Ibrani pertama-tama dimaksudkan untuk menawarkan perdamaian dengan musuh, kalau penawaran ini diterima berarti musuh menyerah dan bersedia diperbudak oleh penyerangnya. Siapa yang mau diperbudak? Demikianlah perang suci dimaksudkan untuk menjaga keutuhan agama dan terbebas dari pengaruh asing.
Argumen klasik penentang kekerasan di bawah panji agama adalah bahwa semua agama menjunjung tinggi doktrin suci anti kekerasan dan mendukung perdamaian. Oleh karena itu, ketika kekerasan agama terjadi, para pemimpin agama sering secara sepihak menuding bahwa militan agama merupakan penyebab timbulnya aksi kekerasan. Setelah menganalisis berbagai kasus kekerasan agama, penulis mengatakan bahwa kedua hipotesis di atas harus diperiksa lagi melalui aspek-aspek kekerasan dalam doktrin keberagamaan dan penyalahgunaan doktrin oleh para militan agama untuk membenarkan kekerasan. Keduanya sama berpotensi untuk menyebabkan kekerasan. Yang pertama menunjukkan sumbangan agama terhadap aksi-aksi kekerasan dan yang kedua merujuk pada budaya kekerasan yang diciptakan oleh para militan agama.
Konflik Etno-Religius
Sebagai fenomena sosial, agama selalu bersentuhan dengan berbagai identitas dan kepentingan yang lain. Ketika kepentingan suatu kelompok agama diganggu, konflik dan kekerasan tentu akan terpercik. Meski demikian tak dapat disimpulkan dengan tergesa-gesa bahwa agamalah penyebab konflik tersebut. Agama lebih sebagai pembungkus kelompok-kelompok yang bertikai dan bukanlah poin utama penyebab kekacauan dalam masyarakat. Kebetulan saja, kelompok-kelompok yang berperang berbeda agamanya. Akan lebih tepat untuk melihat kasus-kasus tersebut sebagai konflik antar komunitas dan kepentingan identitas daripada konflik antaragama.
Secara sosiologis radikalisme kerap muncul ketika masyarakat mengalami anomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para warga masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu, sehingga radikalisme dapat muncul ke permukaan. Tentu banyak faktor yang mendorong munculnya radikalisme. Sosiolog Max Rudd mengingatkan bahwa fungsi politik yang konfrontatif dapat mendorong proses radikalisme .
Weber melihat radikalisme dalam konteks politik massa. Kapitalime yang mula-mula begitu optimis terhadap masa depan manusia, kemudian telah menimbulkan suasana rutinitas-ritualistis, yang sangat monoton dan fatalisme, dan telah menyeret manusia ke penjara besi (iron cage) yang tanpa jiwa, tanpa nurani. Kapitalisme telah menyebabkan manusia teralienasi (terasing)--meminjam istilah Marx-- dan mendorong godaan radikalisme sebagai solusi utopis. Pudarnya ikatan kelompok primer dan komunitas lokal, tergusurnya ikatan parokial menurut Daniel Bell dalam The End of Ideology juga dapat mendorong munculnya radikalisme. Sedangkan dalam istilah Sigmund Freud, yang dapat mendorong munculnya gagasan radikalisme adalah apa yang dia sebut sebagai melancholia, yaitu kejengkelan mendalam yang menyakitkan (a profoundly painful dejection) .
Ada beberapa sudut pandang lain yang dapat menimbulkan koflik atau kekerasan antarumat beragama.
Dari Politik–agama yang banyak terjadi di negara yang baru merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Armenia, dan Azerbaijan adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa. Kekerasan dilegitimasi oleh negara untuk mempertahakan kekuasaan.
Lebih lanjut, Gejalah kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam, lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme .
Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis .
Jack David Eller mengatakan bahwa agama sangat mudah mengobarkan kekerasan karena di dalam agama mengandung unsur yang potensial untuk memicu kekerasan. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan dan konflik antarumat beragaa dalam masyarakat sering dipacu oleh faktor lain seperti terdapat perbedaan strafikasi sosial ekonomi antarpemeluk agama. Perbedaan yang cukup senjang ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memicu unculnya kekerasan.
Penutup
Banyak yang baik datang dari agama. Banyak kesalahan juga datang dari agama. Dan banyak juga sumber kesalahan datang dari sumber lain dari pada dari agama. Bagaimanapun karateristik agama adalah- kelompok alami, dengan prinsip otoritas, memiliki identitas, tujuan praktis dan ideologi khusus-bisa dan telah menhasilkan kekerasan. Seperti tidak semua filsuf anti agama, Blaise Pascal perna berkata: orang tidak pernah menjadi setan secara penuh dan dengan gembira, seperti ketika mereka melakukannya berdasarkan pendirian agama”
Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman? Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
Dengan demikian, mau tidak mau ataupun suka tidak suka, agama sebagai sebuah institusi sosial akan selalu berhubungan dengan kekerasan dan konflik. Hal ini terjadi karena agama telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kekerasan pun sudah ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga jelaslah agama dan kekerasan pasti akan selalu terjadi.
Daftar Pustaka
Eller, Jack D Introduction Antropology Of Religion. New York: Routledge.2007
Kuswanjono, “Kekerasan dalam Perspektif Etika dan Agama” Relief: Journal of Religion Issue.Vol 1.No.2 Mei 2003
Haryatmoko, “Etika Politik dan Kekerasan”, Jakarta, KOMPAS, 2003, hal 4
Tugas Akhir Sosiologi Agama, STF Driyarkara, Jakarta
Kekerasan yang bersifat keagamaan sangat komplikatif dan untuk memahaminya membutuhkan penyelidikan mendalam. Kekerasan tidak dapat dilepas dari “kejelekan” agama dengan mengacu pada adanya pandangan atau pembedaan oleh masyarakat untuk memberi label agama yang jelek dan agama yang baik. Namun benarkah agama melegitimasi kekerasan dan mengandung kekerasan? Atau adakah faktor-faktor lain yang berperan dibalik?
Agama sumber Kekerasan?
Dunia agama telah membuat sebuah pemisahan antara orang beriman dan tidak beriman yang memungkinkan muncul kekerasan. Kelompok yang merasa diri bahwa agama mereka adalah satu-satunya yang benar memiliki sedikit simpati atau toleransi bagi kelompok yang berbeda. Sangat jelas dalam Perjanjian Lama memerintahkan melawan dengan kekerasan kelompok lain yang tidak percaya. Contohnya dalam Bilangan 13:7-18 dan dalam Ulangan 13:6-9.
Islam juga, mewarisi kemutlakan monastik Yudaisme dan Kristianitas, menyetujui kekerasan atas nama agama. Hal ini ditunjukkan dalam Sura 9: 5,28,123. kekerasan dapat dilakukan demi membela diri apabila hukum mereka diganggu dan adanya penyalagunaan kekuasanan dalam masyarakat(bandingkan juga dalam Sura 2.217)
Agama Hindu juga dalam kitab klasik muncul dalam Bhagavad Gita, di dalamnya melegalkan kekerasasn dan perang di mana Arjuna berperan sebagai kesatria yang memimpin perang. Dalam hal ini dan jalan ini, kekerasan adalah hukum dan benar-benar diberi kuasa dalam agama. ( Ortner, 1978).
Hampir semua kelompok keagamaan mempunyai sejarah episode kelam kelompok mereka karena kekerasan yang mereka alami. Tapi tidak semuanya melakukan perang, tidak semua membuat institusi militer yang dipakai baik untuk mempertahan diri maupun untuk menyerang kelompok lain, bahkan untuk menduduki suatu wilayah tertentu, atau untuk membasmi kelompok kepercayaan lain.
Perang suci akhirnya malah menjadi agama universal. Yang bukan hanya cara untuk mempertahankan kebenaran yang diyakini, tetapi malah menjadi objek kompetisi dengan agama lain. (dengan segala hormat saya kepada saudara-saudari umat Islam) Islam adalah agama yang paling dekat dengan asosiasi kekerasan dengan doktrin jihad mereka. Tapi konsep Kristen tentang Crusade juga kurang lebih sama dengan jihad. Dua-duanya berakar pada doktrin yang dalam bahasa Ibrani disebut milhemet mitzvah, yaitu kewajiban perang. Milhemet mitzvah juga diizinkan untuk mempertahankan diri, untuk mencegah serangan. Meluaskan wilayah kekuasaan Tuhan adalah kewajiban. Perang kuno di Ibrani pertama-tama dimaksudkan untuk menawarkan perdamaian dengan musuh, kalau penawaran ini diterima berarti musuh menyerah dan bersedia diperbudak oleh penyerangnya. Siapa yang mau diperbudak? Demikianlah perang suci dimaksudkan untuk menjaga keutuhan agama dan terbebas dari pengaruh asing.
Argumen klasik penentang kekerasan di bawah panji agama adalah bahwa semua agama menjunjung tinggi doktrin suci anti kekerasan dan mendukung perdamaian. Oleh karena itu, ketika kekerasan agama terjadi, para pemimpin agama sering secara sepihak menuding bahwa militan agama merupakan penyebab timbulnya aksi kekerasan. Setelah menganalisis berbagai kasus kekerasan agama, penulis mengatakan bahwa kedua hipotesis di atas harus diperiksa lagi melalui aspek-aspek kekerasan dalam doktrin keberagamaan dan penyalahgunaan doktrin oleh para militan agama untuk membenarkan kekerasan. Keduanya sama berpotensi untuk menyebabkan kekerasan. Yang pertama menunjukkan sumbangan agama terhadap aksi-aksi kekerasan dan yang kedua merujuk pada budaya kekerasan yang diciptakan oleh para militan agama.
Konflik Etno-Religius
Sebagai fenomena sosial, agama selalu bersentuhan dengan berbagai identitas dan kepentingan yang lain. Ketika kepentingan suatu kelompok agama diganggu, konflik dan kekerasan tentu akan terpercik. Meski demikian tak dapat disimpulkan dengan tergesa-gesa bahwa agamalah penyebab konflik tersebut. Agama lebih sebagai pembungkus kelompok-kelompok yang bertikai dan bukanlah poin utama penyebab kekacauan dalam masyarakat. Kebetulan saja, kelompok-kelompok yang berperang berbeda agamanya. Akan lebih tepat untuk melihat kasus-kasus tersebut sebagai konflik antar komunitas dan kepentingan identitas daripada konflik antaragama.
Secara sosiologis radikalisme kerap muncul ketika masyarakat mengalami anomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para warga masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu, sehingga radikalisme dapat muncul ke permukaan. Tentu banyak faktor yang mendorong munculnya radikalisme. Sosiolog Max Rudd mengingatkan bahwa fungsi politik yang konfrontatif dapat mendorong proses radikalisme .
Weber melihat radikalisme dalam konteks politik massa. Kapitalime yang mula-mula begitu optimis terhadap masa depan manusia, kemudian telah menimbulkan suasana rutinitas-ritualistis, yang sangat monoton dan fatalisme, dan telah menyeret manusia ke penjara besi (iron cage) yang tanpa jiwa, tanpa nurani. Kapitalisme telah menyebabkan manusia teralienasi (terasing)--meminjam istilah Marx-- dan mendorong godaan radikalisme sebagai solusi utopis. Pudarnya ikatan kelompok primer dan komunitas lokal, tergusurnya ikatan parokial menurut Daniel Bell dalam The End of Ideology juga dapat mendorong munculnya radikalisme. Sedangkan dalam istilah Sigmund Freud, yang dapat mendorong munculnya gagasan radikalisme adalah apa yang dia sebut sebagai melancholia, yaitu kejengkelan mendalam yang menyakitkan (a profoundly painful dejection) .
Ada beberapa sudut pandang lain yang dapat menimbulkan koflik atau kekerasan antarumat beragama.
Dari Politik–agama yang banyak terjadi di negara yang baru merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Armenia, dan Azerbaijan adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa. Kekerasan dilegitimasi oleh negara untuk mempertahakan kekuasaan.
Lebih lanjut, Gejalah kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam, lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme .
Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis .
Jack David Eller mengatakan bahwa agama sangat mudah mengobarkan kekerasan karena di dalam agama mengandung unsur yang potensial untuk memicu kekerasan. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan dan konflik antarumat beragaa dalam masyarakat sering dipacu oleh faktor lain seperti terdapat perbedaan strafikasi sosial ekonomi antarpemeluk agama. Perbedaan yang cukup senjang ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memicu unculnya kekerasan.
Penutup
Banyak yang baik datang dari agama. Banyak kesalahan juga datang dari agama. Dan banyak juga sumber kesalahan datang dari sumber lain dari pada dari agama. Bagaimanapun karateristik agama adalah- kelompok alami, dengan prinsip otoritas, memiliki identitas, tujuan praktis dan ideologi khusus-bisa dan telah menhasilkan kekerasan. Seperti tidak semua filsuf anti agama, Blaise Pascal perna berkata: orang tidak pernah menjadi setan secara penuh dan dengan gembira, seperti ketika mereka melakukannya berdasarkan pendirian agama”
Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman? Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
Dengan demikian, mau tidak mau ataupun suka tidak suka, agama sebagai sebuah institusi sosial akan selalu berhubungan dengan kekerasan dan konflik. Hal ini terjadi karena agama telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kekerasan pun sudah ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga jelaslah agama dan kekerasan pasti akan selalu terjadi.
Daftar Pustaka
Eller, Jack D Introduction Antropology Of Religion. New York: Routledge.2007
Kuswanjono, “Kekerasan dalam Perspektif Etika dan Agama” Relief: Journal of Religion Issue.Vol 1.No.2 Mei 2003
Haryatmoko, “Etika Politik dan Kekerasan”, Jakarta, KOMPAS, 2003, hal 4
Tugas Akhir Sosiologi Agama, STF Driyarkara, Jakarta
NO TO THE DEATH PENALTY: CITY FOR LIFE
Dalam rangka memperingati Hari Anti Hukuman Mati 30 November 2008, Komunitas Saint Egidio, JPIC-MSC dan JPIC-OFM bekerja sama untuk mengadakan kampanye Anti Hukuman Mati di Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran, minggu 30 November 2008.
Kampanye ini di mulai pukul 10.00 WIB di halaman gereja dihadiri oleh umat paroki Bunda Hati Kemakmuran, diawali dengan pembacaan puisi dan fragmen singkat tentang hukuman mati. Kemudiaan, Rm. Kristo Tara, OFM sebagai wakil dari JPIC-OFM menyampaikan orasi singkat menyampaiakn beberapa pokok pikiran, mengapa kita harus menolak adanya hukuman mati. Pertama hidup manusia adalah anugerah Allah. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun atau lembaga manapun yang berhak memutuskan kematian seseorang. Hukuman mati adalah membunuh seseorang, karena hanya Allahlah yang memutuskan mati-hidupnya seorang manusia. Kedua, dalam iman katolik, membunuh adalah dosa karena melanggar hukum cinta kasih Allah yang mengasihi sesama, sekalipun dia musuh. Ketiga, masih ada cara lain untuk menghukum para narapidana yang bisa memberikan efek jerah tanpa adanya hukuman mati.
Teguh, selaku coordinator Komunitas Saint Egidio menekankan bagaimana membangun City For Life. Dalam City For Life akan tercipta suasana yang penuh keadilan dan perdamaian. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa budaya kematian dengan cara hukuman mati akan hilang jika kita mewujudkan City For Life.
Kampanye Anti Hukuman Mati ini ditutup dengan doa bersama sambil menyalakan lilin sebagai simbol penerangan bagi dunia. Selain itu, juga ada pengumpulan tanda tangan untuk menolak pelaksanaan hukuman Mati di dunia. (Majalah HIDUP Bastian Gaguk, OFM)
Kampanye ini di mulai pukul 10.00 WIB di halaman gereja dihadiri oleh umat paroki Bunda Hati Kemakmuran, diawali dengan pembacaan puisi dan fragmen singkat tentang hukuman mati. Kemudiaan, Rm. Kristo Tara, OFM sebagai wakil dari JPIC-OFM menyampaikan orasi singkat menyampaiakn beberapa pokok pikiran, mengapa kita harus menolak adanya hukuman mati. Pertama hidup manusia adalah anugerah Allah. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun atau lembaga manapun yang berhak memutuskan kematian seseorang. Hukuman mati adalah membunuh seseorang, karena hanya Allahlah yang memutuskan mati-hidupnya seorang manusia. Kedua, dalam iman katolik, membunuh adalah dosa karena melanggar hukum cinta kasih Allah yang mengasihi sesama, sekalipun dia musuh. Ketiga, masih ada cara lain untuk menghukum para narapidana yang bisa memberikan efek jerah tanpa adanya hukuman mati.
Teguh, selaku coordinator Komunitas Saint Egidio menekankan bagaimana membangun City For Life. Dalam City For Life akan tercipta suasana yang penuh keadilan dan perdamaian. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa budaya kematian dengan cara hukuman mati akan hilang jika kita mewujudkan City For Life.
Kampanye Anti Hukuman Mati ini ditutup dengan doa bersama sambil menyalakan lilin sebagai simbol penerangan bagi dunia. Selain itu, juga ada pengumpulan tanda tangan untuk menolak pelaksanaan hukuman Mati di dunia. (Majalah HIDUP Bastian Gaguk, OFM)
Rabu, 03 Desember 2008
Agama dan Perubahan Sosial: (Sebuah Telaah Pemikiran Karl Marx dan Emile Durkheim)
I. Pengantar
Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak dari pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang sebagian besar berada diluar kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghentikannya. Di sini, disposisi agama, pada satu sisi dapat menjadi penentang perubahan dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial.
Perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia tertentu dapat berakibat atau berdampak positif maupun negatif. Kenyataan perubahan itulah yang kemudian menarik minat para pemikir dan pengamat sosial untuk merumuskan dan menjelaskan mengapa hal tersebut sampai bisa terjadi. Uraian berikut ini merupakan suatu bentuk pemaparan yang mencoba menelaah dan mendalami pandangan Karl Marx dan Emile Durkheim tentang agama dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
II. Agama dan Masyarakat
Keberadaan agama atau kepercayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Manusia pada awalnya menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang ada pada dirinya. Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan dinamisme mulai berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan ini, manusia lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka menciptakan karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat dilepaskan dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk masyarakat atau kelompok manusia. Seorang individu menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia mengalami manusia lain yang ada di luar dirinya. Karya seni, juga agama, adalah hasil dari proses kreatif-produktif masyarakat melalui pengembangan kemampuannya sebagai mahluk rasional (homo sapiens) tetapi sekaligus manusia spiritual (homo religius). Agama sebagai kepercayaan kolektif dapat dikatakan terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama tidak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang berusaha mengenali kekuatan di luar dirinya lepas dari masyarakat. Pokok tersebut menjadi jelas bahwa agama dapat dibedakan dari kepercayaan pribadi dalam hal sifat sosial-kolektif yang dimilikinya. Agama dalam pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan masyarakat.
Masyarakat muncul ketika ada pergeseran cara hidup manusia dari nomaden menjadi manusia menetap, dari berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi bercocok tanam. Saat itulah manusia mulai berkelompok dan menemukan dirinya berada dalam ketegangan antara kepentingannya dengan kepentingan orang lain dalam kelompok itu. Di satu sisi masyarakat yang terbentuk itu mendorong terbentuknya peradaban manusia yang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk berakal budi ke tingkat yang lebih tinggi. Akan tetapi di sisi lain, masyarakat yang terbentuk itu membawa dampak negatif berupa persaingan sumber daya alam yang berfungsi vital demi kelangsungan hidup bangsa manusia itu sendiri, lebih khusus lagi bagi kelompoknya masing-masing.
Dua macam dampak kemunculan masyarakat ini dapat menjadi kunci kepada dua corak teori asal-usul agama. Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang kemunculan agama secara positif sejalan dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan individu melainkan representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan bahwa agama pertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam bentuk ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-larangan praktis dari pada keimanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif berperan dalam terbentuknya atau munculnya agama.
Di lain pihak pemikir seperti Marx memandang kemunculan agama sebagai reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang ‘rusak’. Kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasadnya.” Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau merugikan masyarakat itu sendiri.
III. Karl Marx : Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama.
A. Agama Sebagai Alat Penindasan
Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa ”agama adalah candu rakyat.” Pernyataan Marx ini menyatakan dan memuat suatu serta sering diartikan sebagai tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya.
Kenyataan yang demikian dengan jelas menggambarkan suatu warna atau gejaka ketertindasan. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan ”kelas atas, para pemilik modal” terhadap mereka yang dikategorikan dalam ”kelas bawah, para buruh”. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka; agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri.
Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya –kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Tanggapan Marx bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas.
B. Agama dan keterasingan Manusia
Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memang menawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan.
Marx juga mengatakan bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal itu terjadi karena di dalam agama, manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri. Menurut Marx, agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya adalah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Pada titik ini, Marx melihat bahwa hal tersebut hanya merupakan ciptaan masyarakat, ciptaan penguasa, untuk memperkuat hegemoni dan melanggengkan kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Marx, dalam tindakan serta praksis keagamaan semacam itu memungkinkan orang tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak lagi otonom. Manusia dalam agama hanyalah orang-orang yang takluk di bawah otoritas orang yang lebih berkuasa daripadanya.
Lepas dari kritik terhadap gagasan Marx tentang agama sebagai proyeksi manusia belaka, menurut saya teori Marx tentang agama mengandung kebenaran. Kebenaran terori Marx terletak pada sifat menghibur, menyemangati dan memotivasi yang ada pada agama. Jika, menurut Marx, agama adalah proyeksi manusia yang mencari penghiburan dari kenyataan hidup yang represif maka dapat dikatakan agama sebagai tempat pelarian itu bersifat menghibur dan menyemangati kembali manusia yang mengalami keterpurukan nasib, bahkan andaipun penghiburan itu hanya ilusi dan tidak nyata.
Misalnya gerakan keagamaan di India. Gerakan keagamaan yang terjadi di India pada masa pra penjajahan Inggris dan pasca penjajahan Inggris merupakan perwujudan dari protes masyarakat kasta rendah atas ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh sistem kasta. Gerakan keagamaan yang menuntut perubahan keadaan, khususnya terhadap sistem kasta, muncul sebagai penyimpulan artikulasi kepentingan kelompok kasta rendah yang menghendaki kesetaraan status sosial. Keadaan mayoritas masyarakat yang direpresi oleh elit kecil dalam masyarakat mendorong mayoritas masyarakat untuk ‘melarikan diri’ dalam gerakan keagamaan yang menghibur dan memberi harapan. Akan tetapi tidak seperti teori Marx. ‘Pelarian ke dalam agama’ tersebut tidak memperlemah masyarakat India pada waktu itu untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Pelarian pada agama justru menguatkan mereka untuk berjuang. Inilah kekecualian yang tidak dilihat oleh Marx dalam teorinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama di satu sisi, agama menurut analisa Marx, dapat secara terus menerus ‘mengamankan’ kelompok masyarakat kelas atas dan tidak mendatangkan perubahan sosial, sebab agama hanya melanggengkan kekuasaan masyarakat kelas atas. Dapatlah dikatakan bahwa dalam agama yang terus ‘menidurkan’ masyarakat kelas bawah tidak akan terjadi perubahan sosial. Hemat saya, yang dituntut atau yang menandakan adanya perubahan sosial adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat di mana ada kesetaraan dan perubahan nasib serta tatanan hidup para anggotanya. Sementara itu, di sisi lain, struktur yang dibentuk oleh agama dapat pula melahirkan kesadaran akan ketertindasan dan memunculkan gerakan untuk memberontak atau melakukan perubahan terhadap struktur masyarakat yang tidak adil. Pendobrakan terhadap struktur dan tatanan masyarakat yang telah ‘mantap’ di tangan para penguasa memungkinkan suatu perubahan sosial.
Tidak hanya itu, pandangan Marx yang menyatakan bahwa agama melanggengkan hegemoni kelas atas memiliki kelemahan. Fenomen yang ada dan justru terjadi dewasa ini adalah bahwa orang yang beragama turut berpatisipasi dan terjun langsung ke lapangan dan secara bersama berupaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Agama sungguh menjadi suatu realitas sosial, yang hidup dalam dunia real manusia, dan bersama dengan pemeluknya bergelut dengan kemelut real kemasyarakatan. Maksudnya bahwa agama sungguh berpijak pada dunia real, dengan kompleksitasnya. Di situlah agama tampil sebagai instrumen pembebasan dan bukan sebagai bagian dari penindasan yang mempermiskin dan mengasingkan manusia dari diri dan dunia realnya.
Anggapan bahwa agama dapat menjadi salah satu faktor yang memicu konflik dalam masyarakat ala Marx tidak seluruhnya benar, sebab pada dasarnya agama mengajarkan dan mewartakan perdamaian, kehidupan yang harmonis demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa agama memberikan sumbangan besar bagi masyarakat yang memungkinkan masyrakat tersebut dapat hidup secara baik serta berkembang dalam kedamaian. Dengan demikian, bila penghayatan ajaran agama dijalankan secara baik dan benar maka konflik maupun pertentangan sedapat mungkin dihindari dan tidak mungkin terjadi. Lebih dari itu, kebenaran yang diajarkan agama mendapat tempat perwujudan ajarannya pada dunia masyarakat yang real. Agama berupaya untuk menerjemahkan pandangannya dalam masyarakat yang nyata. Dari sinilah kesetaraan dan keharmonisan dapat terjadi asalkan para penganutnya mau dan setia melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Sehingga agama bukanlah menjadi instrumen penindas, alat pelanggeng kekuasaan, melainkan sebagai lembaga yang membangun dan menghidupkan masyarakat bersama menuju bonum commune.
IV. Emile Durkheim: Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah "sifat kudus" agama dan "praktek-praktek ritual" agama.
Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa agama bukan semata-mata ditilik dari substansi isinya, melainkan dari bentuknya, yang melibatkan cirinya yang bersifat kudus dan yang terungkapkan dalam “praktek-praktek ritual” agama. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
a. ‘Sifat Kudus’ Agama
‘Sifat kudus’ yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama tidak dalam artinya yang bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengudusan ini dengan perkembangan masyarakat. Durkheim kemudian menjelaskan fenomena totemisme untuk menjelaskan fenomen keagamaan. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Totemisme Australia tidak memisahkan secara jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Lain halnya dengan Totemisme di Amerika Utara dan Melanesia. Di wilayah ini, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut berdasarkan nama yang disematkan padanya.
Totemisme yang ada pada masyarakat tertentu, oleh Durkheim, dikembangkan dan dijadikan suatu titik pijak untuk menjelaskan fenomena moralitas yang ada dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa ‘Sifat kudus’ itu juga terdapat dalam aturan moral. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat "kudus", sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich, tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
b. Ritual Agama
Agama juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat satu sama lain. Pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi. Pemisahan ini menjadi dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek tersebut menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dan yang "profan" tidak saling mengganggu atau menekan satu sama lain. Contohnya adalah liburan pada hari raya besar keagamaan tertentu. Kedua, praktek ritual yang positif. Hal ini berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Adapun praktek-praktek ritual yang positif -yang adalah upacara keagamaan itu sendiri-, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusuk, dan dengan demikian berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
c. Fungsi Agama
Teori keagamaan Emile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatan-kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial .
Dengan berdasar pada pandangan Emile Durkheim di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, agama dengan segala ritual yang ada dan hidup serta yang dijalankan oleh para pemeluknya sesungguhnya dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang terintegrasi. Fenomena agama dalam dari perspektif Durkheim menjadi sangat positif yang mana melekatkan agama dengan penciptaan suatu masyarakat yang harmonis dan yang mengutamakan serta membangkitkan semangat kebersamaan dalam perkembangan dan perubahan kehidupan bermasyarakat.
V. Penutup
Agama memang tidak dapat bertahan jika agama tidak berani menggaungkan suaranya dan mempunyai disposisi yang memihak masyarakat. Faktanya mayoritas masyarakat adalah orang biasa, ‘tidak mempunyai kekuatan’ yang didominasi oleh sekelompok kecil saja kalangan elit. Agama dengan demikian tidak dapat dipandang melulu sebagai tempat pelarian kaum terdesak dan akan hilang dengan membaiknya keadaan masyarakat dengan alasan: Pertama, dari pengalaman gerakan keagamaan, di mana suatu wilayah kekuasaan hanya dihidupi oleh kaum elit atau masyarakat kelas atas, kita mengetahui bahwa justru agama adalah sumber motivasi dan kekuatan yang membebaskan orang dari keadaan tertindas menuju keadaan merdeka. Kecenderungan merosotnya penghayatan keagamaan dalam masyarakat mapan menjadi petunjuk bahwa agama harus senantiasa memperbaharui dan membenahi diri agar ‘pesan kenabiannya’ tetap dapat diterima masyarakat dari berbagai jaman. Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Kedua, agama sebagai kekuatan pemersatu masyarakat justru amat dibutuhkan saat ini dimana nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama dan nilai-nilai sejati hanya dan justru akan mempertahankan diri apabila mampu menghadapi dan menyikapi perubahan sosial secara positif.
VI. Kepustakaan
*. Armstrong, Karen. 1993. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan
*. Elster, Jon. (Sudarmaji-penerj.) 2000. Marxisme: Analisis Kritis. Jakarta: PT Prestasi Pustaka *. Raya Hamilton, Malcolm B.1995.The Sociology of Religion, London: Routledge
*. Imam Muhni, Djuretna A. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim&Henry Bergson. Yogyakarta: Kanisius
*. Magnis-Suseno, Franz. 2000.Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
_________________. 2001. Kuasa dan Moral .Jakarta: Gramedia
_________________. 2006. Menalar Tuhan.Jogjakarta: Kanisius
*. Sugiharto, I. Bambang. 2000.Wajah Baru Etika dan Agama. Jogjakarta: Kanisius
Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak dari pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang sebagian besar berada diluar kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghentikannya. Di sini, disposisi agama, pada satu sisi dapat menjadi penentang perubahan dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial.
Perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia tertentu dapat berakibat atau berdampak positif maupun negatif. Kenyataan perubahan itulah yang kemudian menarik minat para pemikir dan pengamat sosial untuk merumuskan dan menjelaskan mengapa hal tersebut sampai bisa terjadi. Uraian berikut ini merupakan suatu bentuk pemaparan yang mencoba menelaah dan mendalami pandangan Karl Marx dan Emile Durkheim tentang agama dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
II. Agama dan Masyarakat
Keberadaan agama atau kepercayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Manusia pada awalnya menyadari bahwa ada kekuatan yang melampaui kekuatan yang ada pada dirinya. Karenanya manusia mulai menyembah dewa-dewa; animisme dan dinamisme mulai berkembang. Bersamaan dengan kesadaran dan tindakan penyembahan ini, manusia lalu menciptakan agama dan secara serentak pula bersamaan mereka menciptakan karya-karya seni. Kesadaran diri sebagai manusia jelas tidak dapat dilepaskan dari adanya manusia lain di luar dirinya yang kemudian membentuk masyarakat atau kelompok manusia. Seorang individu menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia mengalami manusia lain yang ada di luar dirinya. Karya seni, juga agama, adalah hasil dari proses kreatif-produktif masyarakat melalui pengembangan kemampuannya sebagai mahluk rasional (homo sapiens) tetapi sekaligus manusia spiritual (homo religius). Agama sebagai kepercayaan kolektif dapat dikatakan terbentuk setelah adanya masyarakat. Agama tidak dapat dipandang sebagai kepercayaan individu belaka yang berusaha mengenali kekuatan di luar dirinya lepas dari masyarakat. Pokok tersebut menjadi jelas bahwa agama dapat dibedakan dari kepercayaan pribadi dalam hal sifat sosial-kolektif yang dimilikinya. Agama dalam pengertian inilah yang hendak dihubungkan dengan masyarakat.
Masyarakat muncul ketika ada pergeseran cara hidup manusia dari nomaden menjadi manusia menetap, dari berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi bercocok tanam. Saat itulah manusia mulai berkelompok dan menemukan dirinya berada dalam ketegangan antara kepentingannya dengan kepentingan orang lain dalam kelompok itu. Di satu sisi masyarakat yang terbentuk itu mendorong terbentuknya peradaban manusia yang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk berakal budi ke tingkat yang lebih tinggi. Akan tetapi di sisi lain, masyarakat yang terbentuk itu membawa dampak negatif berupa persaingan sumber daya alam yang berfungsi vital demi kelangsungan hidup bangsa manusia itu sendiri, lebih khusus lagi bagi kelompoknya masing-masing.
Dua macam dampak kemunculan masyarakat ini dapat menjadi kunci kepada dua corak teori asal-usul agama. Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang kemunculan agama secara positif sejalan dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan individu melainkan representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan bahwa agama pertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam bentuk ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-larangan praktis dari pada keimanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif berperan dalam terbentuknya atau munculnya agama.
Di lain pihak pemikir seperti Marx memandang kemunculan agama sebagai reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang ‘rusak’. Kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasadnya.” Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau merugikan masyarakat itu sendiri.
III. Karl Marx : Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Dalam kerangka memahami dan menganalisa hubungan antara agama dan perubahan sosial, menurut Karl Marx, maka terlebih dahulu perlulah melihat garis besar gagasan dan pandangannya tentang agama.
A. Agama Sebagai Alat Penindasan
Pemahaman terhadap pemikiran Marx mau tidak mau perlu memahami dan mengikuti pemikirannya dan memasukkan agama ke dalam suatu kerangka kehidupan bermasyarakat. Marx memang bahwa agama hanyalah merupakan suatu gejala sosial yang berupaya meyakinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian berdampak pada kelanggengan kekuasaan kelas atas atau kelompok yang berkuasa. Dengan jelas ia katakan bahwa ”agama adalah candu rakyat.” Pernyataan Marx ini menyatakan dan memuat suatu serta sering diartikan sebagai tuduhan bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya.
Kenyataan yang demikian dengan jelas menggambarkan suatu warna atau gejaka ketertindasan. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatif-ekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan ”kelas atas, para pemilik modal” terhadap mereka yang dikategorikan dalam ”kelas bawah, para buruh”. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka; agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri.
Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya –kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Tanggapan Marx bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas.
B. Agama dan keterasingan Manusia
Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memang menawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan.
Marx juga mengatakan bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal itu terjadi karena di dalam agama, manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri. Menurut Marx, agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya adalah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Pada titik ini, Marx melihat bahwa hal tersebut hanya merupakan ciptaan masyarakat, ciptaan penguasa, untuk memperkuat hegemoni dan melanggengkan kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bagi Marx, dalam tindakan serta praksis keagamaan semacam itu memungkinkan orang tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak lagi otonom. Manusia dalam agama hanyalah orang-orang yang takluk di bawah otoritas orang yang lebih berkuasa daripadanya.
Lepas dari kritik terhadap gagasan Marx tentang agama sebagai proyeksi manusia belaka, menurut saya teori Marx tentang agama mengandung kebenaran. Kebenaran terori Marx terletak pada sifat menghibur, menyemangati dan memotivasi yang ada pada agama. Jika, menurut Marx, agama adalah proyeksi manusia yang mencari penghiburan dari kenyataan hidup yang represif maka dapat dikatakan agama sebagai tempat pelarian itu bersifat menghibur dan menyemangati kembali manusia yang mengalami keterpurukan nasib, bahkan andaipun penghiburan itu hanya ilusi dan tidak nyata.
Misalnya gerakan keagamaan di India. Gerakan keagamaan yang terjadi di India pada masa pra penjajahan Inggris dan pasca penjajahan Inggris merupakan perwujudan dari protes masyarakat kasta rendah atas ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh sistem kasta. Gerakan keagamaan yang menuntut perubahan keadaan, khususnya terhadap sistem kasta, muncul sebagai penyimpulan artikulasi kepentingan kelompok kasta rendah yang menghendaki kesetaraan status sosial. Keadaan mayoritas masyarakat yang direpresi oleh elit kecil dalam masyarakat mendorong mayoritas masyarakat untuk ‘melarikan diri’ dalam gerakan keagamaan yang menghibur dan memberi harapan. Akan tetapi tidak seperti teori Marx. ‘Pelarian ke dalam agama’ tersebut tidak memperlemah masyarakat India pada waktu itu untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Pelarian pada agama justru menguatkan mereka untuk berjuang. Inilah kekecualian yang tidak dilihat oleh Marx dalam teorinya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa agama di satu sisi, agama menurut analisa Marx, dapat secara terus menerus ‘mengamankan’ kelompok masyarakat kelas atas dan tidak mendatangkan perubahan sosial, sebab agama hanya melanggengkan kekuasaan masyarakat kelas atas. Dapatlah dikatakan bahwa dalam agama yang terus ‘menidurkan’ masyarakat kelas bawah tidak akan terjadi perubahan sosial. Hemat saya, yang dituntut atau yang menandakan adanya perubahan sosial adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat di mana ada kesetaraan dan perubahan nasib serta tatanan hidup para anggotanya. Sementara itu, di sisi lain, struktur yang dibentuk oleh agama dapat pula melahirkan kesadaran akan ketertindasan dan memunculkan gerakan untuk memberontak atau melakukan perubahan terhadap struktur masyarakat yang tidak adil. Pendobrakan terhadap struktur dan tatanan masyarakat yang telah ‘mantap’ di tangan para penguasa memungkinkan suatu perubahan sosial.
Tidak hanya itu, pandangan Marx yang menyatakan bahwa agama melanggengkan hegemoni kelas atas memiliki kelemahan. Fenomen yang ada dan justru terjadi dewasa ini adalah bahwa orang yang beragama turut berpatisipasi dan terjun langsung ke lapangan dan secara bersama berupaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat. Agama sungguh menjadi suatu realitas sosial, yang hidup dalam dunia real manusia, dan bersama dengan pemeluknya bergelut dengan kemelut real kemasyarakatan. Maksudnya bahwa agama sungguh berpijak pada dunia real, dengan kompleksitasnya. Di situlah agama tampil sebagai instrumen pembebasan dan bukan sebagai bagian dari penindasan yang mempermiskin dan mengasingkan manusia dari diri dan dunia realnya.
Anggapan bahwa agama dapat menjadi salah satu faktor yang memicu konflik dalam masyarakat ala Marx tidak seluruhnya benar, sebab pada dasarnya agama mengajarkan dan mewartakan perdamaian, kehidupan yang harmonis demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa agama memberikan sumbangan besar bagi masyarakat yang memungkinkan masyrakat tersebut dapat hidup secara baik serta berkembang dalam kedamaian. Dengan demikian, bila penghayatan ajaran agama dijalankan secara baik dan benar maka konflik maupun pertentangan sedapat mungkin dihindari dan tidak mungkin terjadi. Lebih dari itu, kebenaran yang diajarkan agama mendapat tempat perwujudan ajarannya pada dunia masyarakat yang real. Agama berupaya untuk menerjemahkan pandangannya dalam masyarakat yang nyata. Dari sinilah kesetaraan dan keharmonisan dapat terjadi asalkan para penganutnya mau dan setia melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Sehingga agama bukanlah menjadi instrumen penindas, alat pelanggeng kekuasaan, melainkan sebagai lembaga yang membangun dan menghidupkan masyarakat bersama menuju bonum commune.
IV. Emile Durkheim: Tentang Relasi Agama dan Perubahan Sosial
Agama, menurut Durkheim, didefinisikan sebagai suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah "sifat kudus" agama dan "praktek-praktek ritual" agama.
Bertitik tolak dari pengertian atau pengartian yang dikatakan sebelumnya, agama dengan demikian tidak serta merta melibatkan konsep adanya suatu makhluk supranatural. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa agama bukan semata-mata ditilik dari substansi isinya, melainkan dari bentuknya, yang melibatkan cirinya yang bersifat kudus dan yang terungkapkan dalam “praktek-praktek ritual” agama. Durkheim juga melihat agama sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
a. ‘Sifat Kudus’ Agama
‘Sifat kudus’ yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama tidak dalam artinya yang bersifat teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengudusan ini dengan perkembangan masyarakat. Durkheim kemudian menjelaskan fenomena totemisme untuk menjelaskan fenomen keagamaan. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Totemisme Australia tidak memisahkan secara jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Lain halnya dengan Totemisme di Amerika Utara dan Melanesia. Di wilayah ini, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut berdasarkan nama yang disematkan padanya.
Totemisme yang ada pada masyarakat tertentu, oleh Durkheim, dikembangkan dan dijadikan suatu titik pijak untuk menjelaskan fenomena moralitas yang ada dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa ‘Sifat kudus’ itu juga terdapat dalam aturan moral. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat "kudus", sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengan demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich, tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
b. Ritual Agama
Agama juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat satu sama lain. Pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi. Pemisahan ini menjadi dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek tersebut menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dan yang "profan" tidak saling mengganggu atau menekan satu sama lain. Contohnya adalah liburan pada hari raya besar keagamaan tertentu. Kedua, praktek ritual yang positif. Hal ini berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Adapun praktek-praktek ritual yang positif -yang adalah upacara keagamaan itu sendiri-, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusuk, dan dengan demikian berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
c. Fungsi Agama
Teori keagamaan Emile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalam agama, yaitu melalui ketaantan kepada aturan-aturan keagamaan, misalnya dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu karena agama sebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi kekuatan-kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi, dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen moral maupun sosial .
Dengan berdasar pada pandangan Emile Durkheim di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, agama dengan segala ritual yang ada dan hidup serta yang dijalankan oleh para pemeluknya sesungguhnya dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang terintegrasi. Fenomena agama dalam dari perspektif Durkheim menjadi sangat positif yang mana melekatkan agama dengan penciptaan suatu masyarakat yang harmonis dan yang mengutamakan serta membangkitkan semangat kebersamaan dalam perkembangan dan perubahan kehidupan bermasyarakat.
V. Penutup
Agama memang tidak dapat bertahan jika agama tidak berani menggaungkan suaranya dan mempunyai disposisi yang memihak masyarakat. Faktanya mayoritas masyarakat adalah orang biasa, ‘tidak mempunyai kekuatan’ yang didominasi oleh sekelompok kecil saja kalangan elit. Agama dengan demikian tidak dapat dipandang melulu sebagai tempat pelarian kaum terdesak dan akan hilang dengan membaiknya keadaan masyarakat dengan alasan: Pertama, dari pengalaman gerakan keagamaan, di mana suatu wilayah kekuasaan hanya dihidupi oleh kaum elit atau masyarakat kelas atas, kita mengetahui bahwa justru agama adalah sumber motivasi dan kekuatan yang membebaskan orang dari keadaan tertindas menuju keadaan merdeka. Kecenderungan merosotnya penghayatan keagamaan dalam masyarakat mapan menjadi petunjuk bahwa agama harus senantiasa memperbaharui dan membenahi diri agar ‘pesan kenabiannya’ tetap dapat diterima masyarakat dari berbagai jaman. Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Kedua, agama sebagai kekuatan pemersatu masyarakat justru amat dibutuhkan saat ini dimana nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama dan nilai-nilai sejati hanya dan justru akan mempertahankan diri apabila mampu menghadapi dan menyikapi perubahan sosial secara positif.
VI. Kepustakaan
*. Armstrong, Karen. 1993. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan
*. Elster, Jon. (Sudarmaji-penerj.) 2000. Marxisme: Analisis Kritis. Jakarta: PT Prestasi Pustaka *. Raya Hamilton, Malcolm B.1995.The Sociology of Religion, London: Routledge
*. Imam Muhni, Djuretna A. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim&Henry Bergson. Yogyakarta: Kanisius
*. Magnis-Suseno, Franz. 2000.Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
_________________. 2001. Kuasa dan Moral .Jakarta: Gramedia
_________________. 2006. Menalar Tuhan.Jogjakarta: Kanisius
*. Sugiharto, I. Bambang. 2000.Wajah Baru Etika dan Agama. Jogjakarta: Kanisius
CINTA ITU BUTA
Kenangan ini terlalu indah untuk kita kenang, suatu kenyataan getar dan kepiluan menusuk dalam, hingga merobek rasa.
hati meronta namun sia-sia…
TAKDIR telah menyongsong… agar kita harus berpisah.
Kerinduan ini bagaikan anak panah yang ingin lepas dari busurnya, melesat jauh jatuh dalam pelukan mesra… bermanja, dan menatap matamu yang menyimpan berjuta rasa dan keegoanmu....
Kenapa sulit untuk mencintai
dan kenapa sulit juga untuk dicintai…
hidup mesti dijalani saja tidak semuanya dengan cinta..
cinta terlahir sebelum kamu lahir
cinta telah tumbuh sebelum kamu menanam bibitnya..
Kenapa mudah jatuh cinta..
dan kenapa juga sulit jatuh cinta…
Begitu banyak yang hilang karena cinta
Begitu banyak yang terbunuh karena cinta
Tapi begitu banyak yang lahir karena bercinta…...
Indah kata manjamu…
kian menyayat-nyayat, bila seberkas kenangan itu singgah dalam jiwa, tiada daya dan upaya untuk menyibak ada apa diantara kita…?
Q baru sadar ternyata teman memang berharga....janganla h kau nodai persahabatan....jangan kau ingat-ingat setitik noda hitam yang pernah dia lakukan padamu, tapi lihat lembaran putih lilin
Terdiamku di sudut ke hampaan
Kau berada tepat di depan
Tapi dekat jarak ini menjadi dinding penghalang
Karena tak pernah bisa ku ungkap rasa yang hilang
Wahai kau yang meluluhkan hatiku
Kau cairkan hati begitu cepat
Mengapa hanya hati yang bicara
Kau buat hilang logika yang kupunya
Kau membuatku tak karuan
Dalam kehidupan yang telah kususun dengan indah
Kau datang dengan impian
Dan kau bermain didalam perasaan
Tapi tak sedetikpun kau hiraukan
Hati ini yang terus mengharapkan
Impian, rasa ini terlalu indah
Kenyataan terlalu pahit kenyataan
Kau yang terus kupuja
hati meronta namun sia-sia…
TAKDIR telah menyongsong… agar kita harus berpisah.
Kerinduan ini bagaikan anak panah yang ingin lepas dari busurnya, melesat jauh jatuh dalam pelukan mesra… bermanja, dan menatap matamu yang menyimpan berjuta rasa dan keegoanmu....
Kenapa sulit untuk mencintai
dan kenapa sulit juga untuk dicintai…
hidup mesti dijalani saja tidak semuanya dengan cinta..
cinta terlahir sebelum kamu lahir
cinta telah tumbuh sebelum kamu menanam bibitnya..
Kenapa mudah jatuh cinta..
dan kenapa juga sulit jatuh cinta…
Begitu banyak yang hilang karena cinta
Begitu banyak yang terbunuh karena cinta
Tapi begitu banyak yang lahir karena bercinta…...
Indah kata manjamu…
kian menyayat-nyayat, bila seberkas kenangan itu singgah dalam jiwa, tiada daya dan upaya untuk menyibak ada apa diantara kita…?
Q baru sadar ternyata teman memang berharga....janganla h kau nodai persahabatan....jangan kau ingat-ingat setitik noda hitam yang pernah dia lakukan padamu, tapi lihat lembaran putih lilin
Terdiamku di sudut ke hampaan
Kau berada tepat di depan
Tapi dekat jarak ini menjadi dinding penghalang
Karena tak pernah bisa ku ungkap rasa yang hilang
Wahai kau yang meluluhkan hatiku
Kau cairkan hati begitu cepat
Mengapa hanya hati yang bicara
Kau buat hilang logika yang kupunya
Kau membuatku tak karuan
Dalam kehidupan yang telah kususun dengan indah
Kau datang dengan impian
Dan kau bermain didalam perasaan
Tapi tak sedetikpun kau hiraukan
Hati ini yang terus mengharapkan
Impian, rasa ini terlalu indah
Kenyataan terlalu pahit kenyataan
Kau yang terus kupuja
Kamis, 27 November 2008
SESEORANG YANG MENCINTAIMU
(1)
Tak bisa beri alasan mengapa mencintaimu. Yang dia tau, di mata dia, kamu tuh gak ada duplikat-nya.
(2)
Sebenarnya selalu buat kamu marah/gila/jengkel/stres. Tapi ia gak pernah tau hal bodoh apa yg sudah ia lakukan,karna semua yg ia lakukan adalah utk kebaikanmu.
(3)
Jarang memujimu, tetapi di dlm hatinya kamu adalah yg terbaik, hanya ia yg tau.
(4)
Akan marah-marah atau mengeluh jika kamu tdk membalas pesannya atau telp nya, karna ia peduli dan ia tdk ingin sesuatu terjadi padamu.
(5)
Hanya menjatuhkan airmatanya di hadapanmu. Ketika kamu mencoba utk menghapus air matanya, kamu telah menyentuh hatinya, dimana hatinya selalu berdegup/berdenyut/bergetar utk kamu.
(6)
Akan mengingat setiap kata yg kamu ucapkan, bahkan yg tdk sengaja dan ia akan selalu menggunakan kata2 itu tepat waktunya.
(7)
tdk akan memberikan janji apapun dgn mudah,karna ia tdk mau mengingkari janjinya. Ia ingin kamu utk mempercayainya dan ia ingin memberikan hidup yg paling bahagia dan aman selama lamanya.
(8)
mungkin tdk bisa mengingat kejadian/ kesempatan istimewa, seperti perayaan hari ulang tahunmu, tp ia tau bhw setiap detik yg ia lalui, ia mencintai kamu, tdk peduli hari apakah hari ini.
(9)
tdk mau berkata I LOPHE U BIBEHH dgn mudah, karna segalanya yg ia lakukan utk kamu adalah utk menunjukkan bhw ia siap mencintaimu, tetapi hanya ia yg akan mengatakan ICH MOMANG DICH pada situasi yg spesial, karna ia tdk mau kamu salah mengerti, dia mau kamu mengetahui bhw ia mencintai dirimu. Ia merasa bhw sesuatu harus dikatakan sekali saja krn ia berpikir bhw kamu telah mengerti dirinya. Jika berkata terlalu banyak, ia akan merasa bhw tdk ada yg akan membuatnya bahagia/tersenyum.
(10)
akan pergi ke airport utk menjemput kamu, dia tdk akan membawa seikat mawar dan memanggilmu sayang seperti yg kamu harapkan.Tetapi, ia akan membawakan kopermu dan menanyakan: Mengapa kamu menjadi lebih kurus dalam waktu 2 hari? Dengan hatinya yg tulus.
(11)
tdk tahu apakah ia harus menelponmu ketika kamu marah, tetapi ia akan mengirimkan pesan setelah bbrp jam. Jika kamu menanyakan: mengapa ia telat menelepon, ia akan berkata: Ketika kamu marah penjelasan dari dirinya semua hanyalah sampah. Tetapi, ketika kamu sudah tenang, penjelasannya baru akan benar2 bekerja/manjur/berguna.
(12)
akan selalu menyimpan semua benda yg telah kamu berikan, bahkan kertas kecil bertuliskan ' I LOVE U ' ada di dalam dompetnya dan Seseorang yg mencintaimu, jarang mengatakan kata2 manis. Tp kamu tau, 'kecupannya'sudah menyalurkan semua...
(13)
akan selalu berusaha membuatmu tersenyum dan tertawa walau terkadang caranya membingungkanmu...???
(14)
akan membalut hatimu yang pernah terluka dan menjaganya dengan setulus hati agar tidak terluka lagi...dan ia akan memberikanmu yang terbaik walau harus menyakiti hatinya sendiri
(15)
...akan rela melepaskan mu pergi bila bersamanya kamu tidak bahagia...dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang dicintainya bahagia bersama orang lain
*
**
***
Pernahkah kamu mencintai seperti itu???
****
*****
maka Berbahagialah orang yg dicintai oleh dirimu...
Tak bisa beri alasan mengapa mencintaimu. Yang dia tau, di mata dia, kamu tuh gak ada duplikat-nya.
(2)
Sebenarnya selalu buat kamu marah/gila/jengkel/stres. Tapi ia gak pernah tau hal bodoh apa yg sudah ia lakukan,karna semua yg ia lakukan adalah utk kebaikanmu.
(3)
Jarang memujimu, tetapi di dlm hatinya kamu adalah yg terbaik, hanya ia yg tau.
(4)
Akan marah-marah atau mengeluh jika kamu tdk membalas pesannya atau telp nya, karna ia peduli dan ia tdk ingin sesuatu terjadi padamu.
(5)
Hanya menjatuhkan airmatanya di hadapanmu. Ketika kamu mencoba utk menghapus air matanya, kamu telah menyentuh hatinya, dimana hatinya selalu berdegup/berdenyut/bergetar utk kamu.
(6)
Akan mengingat setiap kata yg kamu ucapkan, bahkan yg tdk sengaja dan ia akan selalu menggunakan kata2 itu tepat waktunya.
(7)
tdk akan memberikan janji apapun dgn mudah,karna ia tdk mau mengingkari janjinya. Ia ingin kamu utk mempercayainya dan ia ingin memberikan hidup yg paling bahagia dan aman selama lamanya.
(8)
mungkin tdk bisa mengingat kejadian/ kesempatan istimewa, seperti perayaan hari ulang tahunmu, tp ia tau bhw setiap detik yg ia lalui, ia mencintai kamu, tdk peduli hari apakah hari ini.
(9)
tdk mau berkata I LOPHE U BIBEHH dgn mudah, karna segalanya yg ia lakukan utk kamu adalah utk menunjukkan bhw ia siap mencintaimu, tetapi hanya ia yg akan mengatakan ICH MOMANG DICH pada situasi yg spesial, karna ia tdk mau kamu salah mengerti, dia mau kamu mengetahui bhw ia mencintai dirimu. Ia merasa bhw sesuatu harus dikatakan sekali saja krn ia berpikir bhw kamu telah mengerti dirinya. Jika berkata terlalu banyak, ia akan merasa bhw tdk ada yg akan membuatnya bahagia/tersenyum.
(10)
akan pergi ke airport utk menjemput kamu, dia tdk akan membawa seikat mawar dan memanggilmu sayang seperti yg kamu harapkan.Tetapi, ia akan membawakan kopermu dan menanyakan: Mengapa kamu menjadi lebih kurus dalam waktu 2 hari? Dengan hatinya yg tulus.
(11)
tdk tahu apakah ia harus menelponmu ketika kamu marah, tetapi ia akan mengirimkan pesan setelah bbrp jam. Jika kamu menanyakan: mengapa ia telat menelepon, ia akan berkata: Ketika kamu marah penjelasan dari dirinya semua hanyalah sampah. Tetapi, ketika kamu sudah tenang, penjelasannya baru akan benar2 bekerja/manjur/berguna.
(12)
akan selalu menyimpan semua benda yg telah kamu berikan, bahkan kertas kecil bertuliskan ' I LOVE U ' ada di dalam dompetnya dan Seseorang yg mencintaimu, jarang mengatakan kata2 manis. Tp kamu tau, 'kecupannya'sudah menyalurkan semua...
(13)
akan selalu berusaha membuatmu tersenyum dan tertawa walau terkadang caranya membingungkanmu...???
(14)
akan membalut hatimu yang pernah terluka dan menjaganya dengan setulus hati agar tidak terluka lagi...dan ia akan memberikanmu yang terbaik walau harus menyakiti hatinya sendiri
(15)
...akan rela melepaskan mu pergi bila bersamanya kamu tidak bahagia...dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang dicintainya bahagia bersama orang lain
*
**
***
Pernahkah kamu mencintai seperti itu???
****
*****
maka Berbahagialah orang yg dicintai oleh dirimu...
Rabu, 12 November 2008
ARTI HIDUP
Arti dari hidup dapat
ditemukan lewat peristiwa dan
pengalaman sehari-hari.
Tuhan terus berkarya dan
membuat setiap saat dalam
hidup kita sarat dengan makna
Dalam jaman yang bergerak
Dan berubah-ubah dengan cepat ini,
Kita perlu memandang dengan
tenang segala kejadia didalam
diri dan di sekitar kita
Salah satu krisis dari jaman ini ialah krisis cinta. Demikian banyak orang tidak merasakan dan mengalami cinta. Mengapa ini terjadi?
Sebab utamanya bukan karena tidak ada cinta di dunia ini, tetapi pada kekeliruan kita tentang cinta dan bagaimana memperolehnya.
Erich Fromm dala bukunya “The Art of Loving” menulis bahwa manusia tidak mengalami cinta bukan karena tidak dicintai, melainkan karena tidak mencintai. Banyak pria mengira mereka akan dicintai bila mereka sukses dan kaya. Sedangkan wanita berpendapat bahwa mereka bakal dicintai bila tampak cantik dan aktraktif. Semua ini membuat manusia menderita dan sulit merasakan cinta. Mereka meletakan landasan cinta di luar diri manusia. Akibatnya, para lelaki berlombah untuk sukses dan para wanita berusaha tampak memikat untuk mendapatkan cinta.
Bila itu benar, celakalah pria yang gagal dan wanita yang tidak cantik, karena mereka tidak mungkin dan tak akan dicintai. Syukurlah bahwa manusia dicintai bukan karena prestasi atau penampilan tetapi karena dia mencinta. Mari mencinta supaya kita bisa dicintai.
ditemukan lewat peristiwa dan
pengalaman sehari-hari.
Tuhan terus berkarya dan
membuat setiap saat dalam
hidup kita sarat dengan makna
Dalam jaman yang bergerak
Dan berubah-ubah dengan cepat ini,
Kita perlu memandang dengan
tenang segala kejadia didalam
diri dan di sekitar kita
Salah satu krisis dari jaman ini ialah krisis cinta. Demikian banyak orang tidak merasakan dan mengalami cinta. Mengapa ini terjadi?
Sebab utamanya bukan karena tidak ada cinta di dunia ini, tetapi pada kekeliruan kita tentang cinta dan bagaimana memperolehnya.
Erich Fromm dala bukunya “The Art of Loving” menulis bahwa manusia tidak mengalami cinta bukan karena tidak dicintai, melainkan karena tidak mencintai. Banyak pria mengira mereka akan dicintai bila mereka sukses dan kaya. Sedangkan wanita berpendapat bahwa mereka bakal dicintai bila tampak cantik dan aktraktif. Semua ini membuat manusia menderita dan sulit merasakan cinta. Mereka meletakan landasan cinta di luar diri manusia. Akibatnya, para lelaki berlombah untuk sukses dan para wanita berusaha tampak memikat untuk mendapatkan cinta.
Bila itu benar, celakalah pria yang gagal dan wanita yang tidak cantik, karena mereka tidak mungkin dan tak akan dicintai. Syukurlah bahwa manusia dicintai bukan karena prestasi atau penampilan tetapi karena dia mencinta. Mari mencinta supaya kita bisa dicintai.
Minggu, 09 November 2008
Bahagia
Banyak orang sulit mendapatkan kebahagiaan
Memang kebahagiaan itu tak ternilai harganya.
Harta, prestasi, prestise…..belum tentu membuat orang bahagia selamanya. Paling sesaat……………………..
Namun, aku tidak pernah pesimis dengan kata bahagia
Paling tidak itu yang aku rasakan saat ini.
Kebahagiaan harus datang dari dalam diri
Bukan dari luar, yang tergantung pada orang lain
Apa sich sebenarnya yang bisa membuat orang bahagia?
Banyak cara yang bisa membuat bahagia.
Menikmati hidup apa adanya………
Membuat suasana kamar nyaman…..
Selalu senyum….
Mau menerima orang lain sebagai sahabat….
Memberikan perhatian kepada orang lain…
Jangan lupa mengembangkan bakat yang miliki……
Namun, kesulitannya pada saat kita mengalami peristiwa yang paling menyedikan. Apakah kita tetap bahagia dengan situasi yang seperti itu?
Bisa kale….
Kebahagiaan itu muncul dari dalam diri dan dari luar
Kita bisa bahagia kalo kita membangunnya dari dalam diri bukan hanya factor dari luar.
Caranya: mengembangkan apa yang kita miliki(bakat) dengan baik dan kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa…
Memang kebahagiaan itu tak ternilai harganya.
Harta, prestasi, prestise…..belum tentu membuat orang bahagia selamanya. Paling sesaat……………………..
Namun, aku tidak pernah pesimis dengan kata bahagia
Paling tidak itu yang aku rasakan saat ini.
Kebahagiaan harus datang dari dalam diri
Bukan dari luar, yang tergantung pada orang lain
Apa sich sebenarnya yang bisa membuat orang bahagia?
Banyak cara yang bisa membuat bahagia.
Menikmati hidup apa adanya………
Membuat suasana kamar nyaman…..
Selalu senyum….
Mau menerima orang lain sebagai sahabat….
Memberikan perhatian kepada orang lain…
Jangan lupa mengembangkan bakat yang miliki……
Namun, kesulitannya pada saat kita mengalami peristiwa yang paling menyedikan. Apakah kita tetap bahagia dengan situasi yang seperti itu?
Bisa kale….
Kebahagiaan itu muncul dari dalam diri dan dari luar
Kita bisa bahagia kalo kita membangunnya dari dalam diri bukan hanya factor dari luar.
Caranya: mengembangkan apa yang kita miliki(bakat) dengan baik dan kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa…
BUSYET
Jika benih di bumi yang hitam bisa menjadi bunga mawar yang begitu indah,
Apa yang mencegah hati seorang manusia berubah menjadi bintang
dalam perjalanannya yang panjang?
Chesterton…………….bersabda…………….
Perjalanan hidup manusia dari waktu-ke waktu
Tanpa di sadari terus berubah….
Aduh badan…..udah tinggi ni……
Aduh udah ada jenggot lagee
Dinamika itu terus berjalan
Menurut mekanismenya sendiri
Jika ada Ah….uh…ah gelap………
Pasti nanti ada terang, tergantung sich…
Apakah kita menginginkan terang?
Tapi yang pasti jiwa akan terus berperang melawan keadaan.
Keadaan membuat kita merefleksikan diri
Apakah hidupku berguna hari ini atau tidak?
Apakah aku berubah dari kemarin dan lebih baik pada hari ini?
Ibarat biji bungan mawar yang hitam, yang berjuang untuk tumbuh di bumi …klo dia berhasil dia akan menjadi bunga yang terindah di muka bumi.
Manusia pun demikian…………
Meskipun dia lemah dan terus jatuh
Klo dia berjuang untuk berubah pasti bisa!
Change, we need….kata Barac Obama..
Aku akan berubah karena aku butuh perubahan dalam hidup………………
So pasti aku akan lebih berguna dan bernilai bagi orang lain
Apa yang mencegah hati seorang manusia berubah menjadi bintang
dalam perjalanannya yang panjang?
Chesterton…………….bersabda…………….
Perjalanan hidup manusia dari waktu-ke waktu
Tanpa di sadari terus berubah….
Aduh badan…..udah tinggi ni……
Aduh udah ada jenggot lagee
Dinamika itu terus berjalan
Menurut mekanismenya sendiri
Jika ada Ah….uh…ah gelap………
Pasti nanti ada terang, tergantung sich…
Apakah kita menginginkan terang?
Tapi yang pasti jiwa akan terus berperang melawan keadaan.
Keadaan membuat kita merefleksikan diri
Apakah hidupku berguna hari ini atau tidak?
Apakah aku berubah dari kemarin dan lebih baik pada hari ini?
Ibarat biji bungan mawar yang hitam, yang berjuang untuk tumbuh di bumi …klo dia berhasil dia akan menjadi bunga yang terindah di muka bumi.
Manusia pun demikian…………
Meskipun dia lemah dan terus jatuh
Klo dia berjuang untuk berubah pasti bisa!
Change, we need….kata Barac Obama..
Aku akan berubah karena aku butuh perubahan dalam hidup………………
So pasti aku akan lebih berguna dan bernilai bagi orang lain
NOSTALGIA
Cinta tak pernah bisa dibeli
Cinta tak pernah bisa disangkal
Cinta tak pernah mengenal untung rugi
Cinta hanya bisa dinyatakan
Cinta hanya bisa diungkapkan
Cinta pasti bisa segalanya
Tapi, cinta itu bagai mawar
Engkau dapat merasakan harumnya
Jika telah melalui durinya
Kosong
Pernahkah engkau merasa tanpa rasa?
Aku pernah………………
Rasanya tak terasa
Bagaikan roti tawar tanpa selesai…
Hidup ini kadang kosong
Tanpa makna
Bagaikan hati yang terbelah
Perih laksana ditusuk simbilu
Saat aku butuh dimengerti
Semua justru menyalahkanku
Saat aku butuh didengar….
Semua justru ingin berbicara
Saat tak ada lagi yang bisa kau harapkan
Saat itulah ada kekosongan……………….
Semua bagai mati……….
Semuanya hampa…….
Tapi akan selalu ada yang mengisi
Jangan biarkan diri menjadi kosong…
Alkisah perjalanan hidup manusia
Meskipun penuh kedustaan selalu ada
Harapan……………….
Harapan itu akan menjadi kekuatan untuk berubah
Cinta tak pernah bisa disangkal
Cinta tak pernah mengenal untung rugi
Cinta hanya bisa dinyatakan
Cinta hanya bisa diungkapkan
Cinta pasti bisa segalanya
Tapi, cinta itu bagai mawar
Engkau dapat merasakan harumnya
Jika telah melalui durinya
Kosong
Pernahkah engkau merasa tanpa rasa?
Aku pernah………………
Rasanya tak terasa
Bagaikan roti tawar tanpa selesai…
Hidup ini kadang kosong
Tanpa makna
Bagaikan hati yang terbelah
Perih laksana ditusuk simbilu
Saat aku butuh dimengerti
Semua justru menyalahkanku
Saat aku butuh didengar….
Semua justru ingin berbicara
Saat tak ada lagi yang bisa kau harapkan
Saat itulah ada kekosongan……………….
Semua bagai mati……….
Semuanya hampa…….
Tapi akan selalu ada yang mengisi
Jangan biarkan diri menjadi kosong…
Alkisah perjalanan hidup manusia
Meskipun penuh kedustaan selalu ada
Harapan……………….
Harapan itu akan menjadi kekuatan untuk berubah
Kamis, 06 November 2008
Happy Bitrhday bro!!!!!!!!
Pagi cukup rame, soalnya
pada kerjaain si Andre.
dia ulang tahun hari ini yang ke berapa bro?
24 lah.....
so... 24 gayung air dong...........
ciur.........r..................
kasihan juga dia, hari bahagia ko dikerjain.
aku jadi takut nic, soalnya hari minggu aku juga ulang tahun
berarti 23 gayung air dong?....
aku kunci pintu kamar de... supaya teman-teman tidak masuk pagi-pagi
klo siangkan sekalian mandi..hi...
mat ulang tahun Andre, moga umur panjang!!!!!!
pada kerjaain si Andre.
dia ulang tahun hari ini yang ke berapa bro?
24 lah.....
so... 24 gayung air dong...........
ciur.........r..................
kasihan juga dia, hari bahagia ko dikerjain.
aku jadi takut nic, soalnya hari minggu aku juga ulang tahun
berarti 23 gayung air dong?....
aku kunci pintu kamar de... supaya teman-teman tidak masuk pagi-pagi
klo siangkan sekalian mandi..hi...
mat ulang tahun Andre, moga umur panjang!!!!!!
Senancour
Seandainya hanya untuk mata maka bunga itu
Indah, mereka akan tetap mempesona; tetapi terkadang
Wangi mereka, seperti ungkapan yang tepat atas keberadaan, seperti panggilan yang tiba-tiba, yang mengarah pada kembalinya kehidupan yang lebih dalam….
Senancour…filsuf atw psikolog ya….
Ga ngaruh kale…. Yang penting dia memberikan inspirasi buat aku.
Cie….ide-idenya bagus sic…
Dia bilang hidup itu seperti bunga yang indah
Keindahannya membuat orang yang melihatnya terpesona……
Wow……indah banget……
Jika kita seperti bunga yang indah itu…..
Pastilah dunia akan terpesona dengan apa yang kita miliki.
Ya…. Mungkin kita perlu melihat pesona-pesona yang ada didalam diri kita kale…
Pesona(bakat) apa yang saya miliki ya…?
Banyak juga sic tapi kadang aku tidak mengembangkannya dengan baik.
So…orang tidak bisa melihatnya..
Aku harap ke depan aku bisa mengembangkan
Indah, mereka akan tetap mempesona; tetapi terkadang
Wangi mereka, seperti ungkapan yang tepat atas keberadaan, seperti panggilan yang tiba-tiba, yang mengarah pada kembalinya kehidupan yang lebih dalam….
Senancour…filsuf atw psikolog ya….
Ga ngaruh kale…. Yang penting dia memberikan inspirasi buat aku.
Cie….ide-idenya bagus sic…
Dia bilang hidup itu seperti bunga yang indah
Keindahannya membuat orang yang melihatnya terpesona……
Wow……indah banget……
Jika kita seperti bunga yang indah itu…..
Pastilah dunia akan terpesona dengan apa yang kita miliki.
Ya…. Mungkin kita perlu melihat pesona-pesona yang ada didalam diri kita kale…
Pesona(bakat) apa yang saya miliki ya…?
Banyak juga sic tapi kadang aku tidak mengembangkannya dengan baik.
So…orang tidak bisa melihatnya..
Aku harap ke depan aku bisa mengembangkan
Felling
Dan kupegang erat:
cahaya langit berwarna safir,
kedamaian bukit sunyi,
keteduhan hutan,kedamaian rumput
Nyanyin burung, riak aliran sungai
Bayangan awam berlalu begitu cepat
Dan setelah hujan turun,
Wangi bebungaan
Dan bumi indah yang kecoklatan
Dan yang terbaik dari semuanya, persahabatan dan kebahagiaan
Hidup begitu indah
Aku ga tahu, mengapa terpesona with my fell
Kayaknya aku ga pernah salah tafsir kale…
Dunia filosofiku mungkin hanya sebesar genggaman tangan
Felling kadang membuat orang gila
Tapi kadang membuat bahagia
I sure it’s wonderfull
Perasaan itu anugerah yang harus disyukuri
Bayangkan klo orang ga punya perasaan
Apa kata dunia? Komentar nagabonar….
Perasaan itu membuat aku mengerti hidup sebenarnya
Perasaan itu …..
Tapi kesalahan yang sering dilakukan adalah
Memendam harta yang berharga itu dlam hati.
Keindahan Mutiara itu sebenarnya layak untuk dinikmati
Orang lain. Terlalu egois kalo aku menyimpannya.
Mengapa aku pikir tentang felling ya…………………………..?
Oya…..aku hari ini bertemu dengan sobat lama, sewaktu sma(Erik d Edward)
Mereka bilang aku paling bego di dunia
Why? Ya//,,,,,about my choose to my life.
Kayaknya ga efek kaleee…. Soalnya aku happy dengan my choose ko…
Friends,…..kita memang sahabat tetapi tentang hidup tetapi soal choose kita berbeda.
Kita memiliki rasa yang berbeda dengan pilihan kita masing-masing.
Aku yakin rasa itu membuat kita kuat dalam hidup………tapi itu akan berhasil klo kita konsisten dengan apa yang kita rasakan…
cahaya langit berwarna safir,
kedamaian bukit sunyi,
keteduhan hutan,kedamaian rumput
Nyanyin burung, riak aliran sungai
Bayangan awam berlalu begitu cepat
Dan setelah hujan turun,
Wangi bebungaan
Dan bumi indah yang kecoklatan
Dan yang terbaik dari semuanya, persahabatan dan kebahagiaan
Hidup begitu indah
Aku ga tahu, mengapa terpesona with my fell
Kayaknya aku ga pernah salah tafsir kale…
Dunia filosofiku mungkin hanya sebesar genggaman tangan
Felling kadang membuat orang gila
Tapi kadang membuat bahagia
I sure it’s wonderfull
Perasaan itu anugerah yang harus disyukuri
Bayangkan klo orang ga punya perasaan
Apa kata dunia? Komentar nagabonar….
Perasaan itu membuat aku mengerti hidup sebenarnya
Perasaan itu …..
Tapi kesalahan yang sering dilakukan adalah
Memendam harta yang berharga itu dlam hati.
Keindahan Mutiara itu sebenarnya layak untuk dinikmati
Orang lain. Terlalu egois kalo aku menyimpannya.
Mengapa aku pikir tentang felling ya…………………………..?
Oya…..aku hari ini bertemu dengan sobat lama, sewaktu sma(Erik d Edward)
Mereka bilang aku paling bego di dunia
Why? Ya//,,,,,about my choose to my life.
Kayaknya ga efek kaleee…. Soalnya aku happy dengan my choose ko…
Friends,…..kita memang sahabat tetapi tentang hidup tetapi soal choose kita berbeda.
Kita memiliki rasa yang berbeda dengan pilihan kita masing-masing.
Aku yakin rasa itu membuat kita kuat dalam hidup………tapi itu akan berhasil klo kita konsisten dengan apa yang kita rasakan…
Langganan:
Komentar (Atom)